Unknown
Lian Hearn


Aku melihat para pedagang menghitung kerugian mereka akibat banjir. Aku
menyaksikan orang kota yang mabuk-mabukan dan berjudi sambil dirayu oleh para
pelacur. Aku melihat para orangtua tertidur dengan anak-anak di antara mereka. Aku
memanjat dinding dan pipa saluran, berjalan di atas atap dan di pagar. Sekali-sekali aku
berenang di parit yang mengelilingi kastil, memanjat dinding dan gerbang kastil,
menyaksikan para penjaga dari dekat sehingga aku dapat mencium keringat mereka
yang bau. Bagiku, semua itu terasa sangat menakjubkan karena mereka tak menyadari
kehadiranku. Aku mendengar orang-orang berbincang, terbangun, dan tertidur, aku
mendengar keluhan, sumpah serapah, dan juga doa-doa mereka.
Sebelum fajar, aku sudah sampai di penginapan dalam keadaan basah kuyup.
Kulepaskan pakaian, kemudian aku menyelinap di balik selimut dalam keadaan
menggigil kedinginan. Aku berbaring sambil mendengarkan apa saja yang bisa
kudengar. Diawali dengan ayam jantan yang berkokok, lalu teriakan burung gagak; pelayan
yang terbangun dan langsung pergi mengambil air; langkah kaki orang yang
memakai bakiak di atas jembatan kayu; ringkikan Raku dan kuda lainnya. Aku
menantikan saat-saat aku akan mendengar suara Kaede.


136
Setelah tiga hari berturut-turut hujan selalu turun, kini hujan mulai jarang. Banyak
orang yang datang ke penginapan untuk menemui Shigeru. Aku mendengarkan
percakapan mereka dengan hati-hati dan mencoba mencatat siapa yang benar-benar
setia dan siapa yang hendak berkhianat. Kami mengunjungi kastil untuk mempersembahkan
hadiah bagi Lord Kitano. Di tempat itu, di bawah sinar matahari, aku bisa
melihat dinding dan gerbang yang pernah kupanjat di malam hari.
Lord Kitano menyambut kami dengan sopan dan menyampaikan dukacitanya atas
kematian Takeshi. Tampaknya hal itu menjadi perhatiannya karena dia mengatakan itu
lebih dari sekali. Dia seumur dengan kedua pengawal Shigeru, dan dia mempunyai dua
anak laki-laki yang seumur dengan Shigeru. Tapi mereka tidak hadir dalam pertemuan
itu. Menurut Lord Kitano, anaknya yang sulung sedang bepergian, sedangkan anaknya
yang kerdua sedang kurang sehat. Tapi aku tahu semua itu hanya bohong belaka.
"Mereka tinggal di Hagi saat masih anak-anak," Shigeru memberitahuku. "Kami
berlatih dan belajar bersama. Mereka sering datang ke rumah orangtuaku dan akrab
dengan Takeshi dan aku." Dia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, "Itu sudah
bertahun-tahun lalu. Waktu telah berubah dan kita pun harus mengikuti perubahan
itu."
Aku tidak bisa setenang dia. Aku merasa pedih karena kami semakin dekat di
wilayah Tohan, dan Shigeru pun semakin terasing.
Hari beranjak malam, kami pun telah selesai mandi dan sedang menunggu waktu
makan malam. Kenji ke tempat permandian umum, dan dia mengatakan telah bertemu
gadis yang menarik hatinya. Ruangan kami menghadap ke arah taman kecil. Hujan
deras berganti hujan gerimis dan semua pintu dibuka lebar. Tercium bau tanah dan
daun yang basah.
"Besok cuaca akan cerah," ujar Shigeru. "Kita bisa melanjutkan perjalanan. Tapi,
kita tidak akan sampai di Inuyama sebelum Festival of the Dead. Mungkin kita terpaksa
menginap di Yamagata." Dia tersenyum gundah, "Ingin sekali aku ziarah ke makam
adikku. Tapi aku tidak ingin orang-orang mengetahui perasaanku. Aku harus puraKISAH
KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id


137
pura mengenyampingkan semua pikiran tentang balas dendam."
"Mengapa harus ke Tohan?" tanyaku. "Belum terlambat bagi kita untuk balik. Bila
pengangkatanku yang membuatmu terikat dengan pernikahan, aku bisa pergi jauh
dengan Kenji. Itu yang dia mau."
"Tentu saja tidak!" balasnya. "Aku telah berjanji untuk menjalankan semua rencana
ini dan membuat persetujuan dengan mereka. Kini aku telah tercebur ke sungai, dan
harus mengikuti ke mana arus akan membawaku. Lebih baik mati dibunuh Iida
daripada orang memandang rendah diriku." Dia memandang ke seluruh ruangan
sambil mendengarkan. "Apakah kita benar-benar sendiri? Ada orang lain?"
Aku hanya mendengar suara malam yang biasa aku dengar di penginapan ini:
langkah kaki perlahan seorang pelayan karena membawa makanan atau air; dari dapur
ada bunyi pisau tukang masak yang sedang mencincang; air mendidih; percakapan
pelan antar penjaga di koridor dan taman. Aku tak mendengar suara lain selain desah
napas kami.
"Tidak ada siapa-siapa."
"Mendekatlah. Saat sudah tiba di Tohan, kita tak akan sempat bicara. Ada yang
ingin kukatakan...." Dia tersenyum, "...sebelum sesuatu terjadi di Inuyama!"
"Aku mempertimbangkan untuk mengirimmu jauh. Menurut Kenji, ini semua
demi keselamatanmu, tentu saja kecemasannya bisa dimengerti. Aku harus ke Inuyama,
apa pun yang terjadi. Namun aku meminta sesuatu yang hampir mustahil dapat kau
lakukan. Permintaanku terpisah dari tugas apa pun yang harus kau lakukan padaku,
dan karenanya aku akan memberimu pilihan. Sebelum masuk ke wilayah Tohan dan
setelah mendengar apa yang akan kukatakan, dan kau memutuskan untuk pergi dengan
Kenji dan bergabung dengan Tribe, aku tidak akan melarangnya."
Aku tertolong untuk tidak menjawab karena ada suara perlahan dari arah koridor.
"Ada yang datang." Kami berdua terdiam.
Tak lama kemudian pelayan datang membawa makanan. Setelah mereka pergi,
kami mulai menyantap makanan. Hidangan yang disediakan tidaklah banyak—nasi,




138
acar mentimun, dan ikan yang dilumuri saus—dan kurasa kami berdua tidak
menikmatinya.
"Kau tentu ingin tahu mengapa aku begitu membenci Iida," kata Shigeru. "Aku
membenci pribadinya, kekejaman dan ketidakjujurannya. Setelah perang Yaegahara
dan kematian ayahku, dan juga saat kedua pamanku mengambil alih kekuasaan klan,
banyak orang yang mengira aku akan bunuh diri. Itu adalah tindakan terhormat yang
dapat kulakukan—dan bagi pamanku, bunuh diri adalah solusi yang menguntungkan
karena mereka merasa terganggu oleh kehadiranku. Tapi, di saat Tohan menguasai
wilayah yang menjadi milik Otori dan memaksakan aturan yang merugikan rakyat
jelata, aku memilih jalan yang lebih penting, yaitu tetap hidup dan menuntut balas.
Aku percaya bahwa ujian bagi penguasa adalah kebahagiaan rakyatnya. Jika penguasa
bersikap adil, maka wilayahnya akan mendapat berkah dari Surga. Di wilayah Tohan,
rakyat menderita kelaparan, terlilit hutang, tersiksa karena perbuatan anak buah Iida.
Kaum Hidden dibantai dan dibunuh—dianiaya, digantung dalam posisi terbalik di
tempat penimbunan sampah sambil menunggu burung gagak menyantap tubuh
mereka. Petani harus mempertaruhkan anak-anak mereka yang baru lahir dan menjual
anak gadisnya karena tak memiliki apa-apa untuk membeli makanan."
Shigeru mengambil sepotong ikan dan memakannya dengan perlahan, wajahnya
tidak menunjukkan perasaan apa pun.
"Iida kini menjadi penguasa yang paling kuat di Tiga Wilayah. Kekejaman adalah
legitimasinya. Sebagian besar orang yakin bahwa pemimpin berhak melakukan apa pun
yang dia suka pada klan dan wilayahnya. Aku juga dibesarkan untuk meyakini hal yang
sama. Tapi, Iida mengancam wilayahku, wilayah ayahku, dan aku tak akan
menyerahkannya tanpa berjuang.
"Selama bertahun-tahun aku memikirkan ini. Aku memerankan sisi pribadiku yang
lain. Mereka memanggilku Shigeru sang petani. Aku mengabdikan diri untuk
memperbaiki wilayahku dan hanya berbicara tentang cuaca, pertanian, dan irigasi.
Memang semua ini menarik bagiku, dan itulah alasannya aku pergi mengembara, yaitu



139
untuk mempelajari banyak hal yang belum aku ketahui.
"Aku menghindari wilayah Tohan, kecuali saat aku berziarah ke makam ayah dan
leluhurku di Terayama. Terayama dan Yamagata diserahkan pada Tohan, setelah
perang Yaegahara berakhir. Namun akhir-akhir ini kekejaman Tohan telah
menyinggungku secara pribadi, dan kesabaranku pun mulai menipis.
"Tahun lalu, tidak lama setelah Star Festival*, ibuku sakit demam yang sangat
mematikan. Ternyata ibuku diracun, dan seminggu kemudian ibuku meninggal; tiga
orang yang tinggal di rumahku juga meninggal, termasuk pelayan ibuku. Kemudian
aku juga sakit. Selama empat minggu aku terombang-ambing antara hidup dan mati,
mengigau, tidak sadarkan diri. Tidak ada yang menduga aku akan sembuh, dan ketika
sembuh, aku ingin mati begitu tahu adikku dibunuh.
"Itu terjadi di musim semi yang panas. Mayat Takeshi telah dikubur. Tak seorang
pun tahu kejadian yang sebenarnya. Tidak ada saksi. Kekasih Takeshi juga menghilang.
Aku hanya mendengar kabar bahwa ada seorang pedagang dari Tsuwano yang
menemukan mayatnya di jalan, di Yamagata, lalu dia di kubur di Terayama, Dalam
keadaan putus asa, aku menulis surat kepada Muto Kenji, yang aku kenal waktu perang
Yaegahara. Aku menduga Tribe dapat memberi beberapa Informasi. Dua minggu
kemudian, ada yang datang ke rumahku malam hari, menyampaikan surat yang
dibubuhi cap oleh Kenji. Nama orang itu adalah Kuroda.
"Kekasih Takeshi adalah seorang penyanyi, dan mereka pergi ke Tsuwano untuk
hadir dalam Star Festival. Hanya itu yang kutahu, karena begitu ibuku sakit, aku
mengirim kabar kepada Takeshi agar jangan ke Hagi, Aku ingin dia tetap di Tsuwano,
tapi rupanya gadis itu ingin melanjutkan perjalanan ke Yamagata, tempat kerabatnya
tinggal, dan Takeshi turut menemaninya. Saat di penginapan, Kuroda mengatakan
bahwa Takeshi mendengar komentar yang menghina Otori dan diriku. Perkelahian
pun terjadi. Takeshi jago pedang. Dia membunuh dua orang dan melukai beberapa
orang lainnya. Takeshi balik ke rumah kerabat gadis itu. Namun di tengah malam,
orang-orang Tohan itu membakar rumah itu. Semua orang yang di dalam rumah




140
terbakar hidup-hidup atau tertikam saat keluar dari kobaran api."
Kututup mataku, aku seperti bisa mendengar jeritan mereka.
"Ya, seperti yang terjadi di Mino," ucap Shigeru. "Orang Tohan menuduh adikku
dan kekasihnya orang Hidden, walaupun mereka tahu itu tidak benar. Adikku
memakai pakaian perjalanan. Tidak ada yang tahu identitasnya. Mayatnya terbaring di
jalan selama dua hari."
Shigeru menghela napas panjang. "Sudah pasti ada kejahatan di sana. Klan tidak
dalam keadaan perang. Seharusnya Iida meminta maaf dan menghukum anak buahnya
serta memberi ganti rugi. Namun, Kuroda mengatakan bahwa ketika Iida mendengar
kabar itu, dia mengatakan, "Tinggal satu lagi musuh dari klan Otori yang perlu
dikhawatirkan. Sayang sekali bukan kakaknya yang mati. Bahkan, orang yang
membunuh Takeshi pun terkesima mendengarnya, kata Kuroda. Sebelumnya mereka
tidak tahu siapa Takeshi. Saat mereka tahu, mereka berharap agar dihukum."
"Tapi, Iida tidak melakukan apa pun, begitu juga kedua pamanku. Ketika aku
memberitahukan kabar dari Kuroda, mereka memilih untuk tidak mempercayaiku.
Mereka mengingatkan tentang kecerobohan Takeshi di masa lalu, perkelahian, dan
resiko yang dia ambil. Mereka melarangku mengatakan kejadian itu pada orang lain.
Mereka mengatakan bahwa perang belum usai dan menyarankan aku bepergian untuk
sementara waktu, mengembara ke timur, mencoba kehangatan sumber air panas, dan
berdoa di kuil.
"Aku memang memutuskan untuk mengembara, tapi bukan karena alasan yang
mereka ajukan."
"Kau bertemu denganku di Mino," bisikku.
Dia tidak menanggapi. Saat ini keadaan di luar gelap, hanya ada satu bintang yang
bersinar. Bulan muncul di sela-sela awan yang berserak, tapi kemudian menghilang
lagi. Untuk pertama kalinya aku memperhatikan siluet pegunungan dan pohon pinus,
kegelapan di langit malam.
"Minta pelayan untuk menyalakan lampu," kata Shigeru, dan aku ke pintu untuk




141
memanggil pelayan. Mereka datang dan memindahkan nampan, membawa teh dan
menyalakan lampu di tiang. Setelah mereka pergi kami minum teh dalam keheningan.
Mangkuk tempat kami minum berwarna biru gelap. Shigeru membalikkan mangkuk
itu lalu meletakkannya terbalik untuk membaca nama pembuatnya. "Mangkuk ini tidak
sebagus mangkuk dari Hagi," ucapnya, "Tapi, mangkok ini juga cukup indah."
"Boleh aku tanya sesuatu?" kataku, lalu terdiam lagi, tak yakin jika aku ingin tahu
jawabannya. "Teruskan," desaknya.
"Kau membuat orang percaya kalau kita bertemu secara kebetulan, tapi kurasa kau
tahu di mana harus mencariku. Kau sedang mencariku saat itu."
Dia mengangguk. "Benar, aku tahu siapa dirimu yang sebenarnya segera setelah
melihatmu di jalan setapak itu. Aku ke Mino untuk mencarimu."
"Karena ayahku adalah seorang pembunuh?"
"Itu salah satu alasannya, tapi bukan hanya itu alasanku."
Aku merasa seakan-akan udara di kamar ini tak cukup untuk bernapas. Aku tidak
memikirkan alasan yang lain. Aku perlu berkonsentrasi pada alasan utama tadi.
"Tapi, bagaimana kau bisa tahu, sedangkan aku sendiri tak tahu, begitu juga
dengan Tribe?"
Lord Shigeru berkata lebih pelan, "Sejak perang Yaegahara, aku belajar banyak hal.
Aku masih muda saat itu, dan seperti seorang anak ksatria pada umumnya, aku hanya
tahu pedang dan kehormatan keluarga. Aku bertemu dengan Muto Kenji di
Yaegahara, dan beberapa bulan kemudian dia menyadarkan aku pada kekuatan yang
tersembunyi di balik dominasi kaum ksatria. Aku menemukan sesuatu tentang jaringan
Tribe, dam aku melihat cara mereka mengendalikan para bangsawan dan klan yang
senang berperang. Kenji menjadi sahabatku, dan dari dialah aku mulai bertemu
anggota Tribe yang lain. Mereka senang bersahabat denganku. Mungkin aku
mengetahui lebih banyak tentang mereka dibandingkan orang lain yang ada di luar
Tribe. Tapi aku merahasiakan semua itu, tidak pernah kukatakan pada orang lain.
Ichiro tahu sedikit tentang itu, dan kini kau juga tahu."




142
Aku mendengar paruh burung bangau masuk ke dalam air.
"Kenji salah saat mengatakan di malam dia dating ke Hagi. Aku tahu benar siapa
yang kubawa. Meskipun aku tidak menduga kalau kau memiliki kemampuanmu yang
sangat luar biasa." Dia tersenyum, senyuman yang tulus. "Kemampuanmu adalah
hadiah yang tidak terduga."
Aku tak mampu bersuara. Aku ingin tahu alasan dia mencari dan
menyelamatkanku, tapi lidahku kelu untuk menanyakan hal itu. Aku merasa sisi
gelapku sebagai Tribe bergelora. Aku hanya diam dan menunggu.
Shigeru berkata, "Aku tidak akan tenang selama pembunuh adikku masih hidup.
Orang yang harus bertanggung jawab adalah pemimpin mereka. Lalu keadaan berubah.
Perselisihan antara Arai dan Noguchi membuat klan Seishuu ingin bersekutu dengan
Otori untuk melawan Iida. Semua kejadian itu seperti menuju ke satu titik: sudah tiba
waktunya untuk membunuh Iida, orang yang paling bertanggung jawab atas kematian
adikku."
Begitu mendengar ucapannya, aku langsung bersemangat. Aku terkenang saat-saat
aku masih di desa, saat aku memutuskan untuk tetap hidup agar dapat menuntut
balas—malam itu, saat di Hagi, di bawah sinar bulan di musim dingin, aku sadar kalau
aku mampu dan ingin membunuh Iida. Aku senang Lord Shigeru mencariku dengan
tujuan yang sama. Semua peristiwa seakan membawaku untuk membunuh Iida.
"Hidupku adalah milikmu," kataku. "Akan kulakukan semua perintahmu."
"Aku memintamu untuk melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, sesuatu yang
hampir mustahil dilakukan. Jika tidak mau, kau boleh pergi dengan Kenji besok.
Semua hutang di antara kita akan aku batalkan. Tak akan ada yang menyalahkanmu."
"Jangan memandang rendah diriku," kataku, dan dia tertawa.
Aku mendengar ada langkah kaki di taman dan suara di beranda. "Kenji datang."
Kenji masuk ke kamar, diikuti seorang gadis yang membawa teh segar. Dia
menatap kami berdua saat gadis itu menuangi teh. Ketika gadis itu meninggalkan
ruangan, dia berkata, "Kalian seperti sedang berkomplot. Apa yang kalian rencanakan?"



143
"Kunjungan ke Inuyama," balas Shigeru. "Aku telah mengatakan pada Takeo, dan
dia ikut atas keinginannya sendiri."
Wajah Kenji berubah. "Menuju kematian," kata Kenji gusar.
"Mungkin tidak," kataku ringan. "Aku tak bermaksud menyombongkan diri, tapi
jika ada yang dapat mendekati Iida, maka akulah orangnya."
"Kau masih anak-anak," dengus guruku. "Aku sudah bicarakan hal ini dengan
Lord Shigeru. Dia tahu semua keberatanku soal rencana ceroboh ini. Kini, aku ingin
tanya. Apa kau kira bisa membunuh Iida? Dia lebih banyak lolos dari percobaan
pembunuhan dibandingkan jumlah gadis yang pernah aku punya. Kau belum pernah
membunuh orang! Belum lagi, kemungkinan kau akan dikenali, tidak hanya di ibukota
tapi juga selama di perjalanan. Aku yakin si pedagang keliling itu pasti sudah bercerita
tentang dirimu. Bukan hanya kebetulan Ando ada di Hagi. Tujuan kedatangannya
yaitu untuk memastikan kebenaran berita itu. Menurutku, Iida tahu siapa dan di mana
kau berada. Kau akan segera ditahan begitu masuk ke wilayah Tohan."
"Tidak, jika dia datang bersamaku, karena aku adalah bangsawan Otori yang
datang untuk bersekutu," ujar Lord Shigeru, "Lagi pula, aku telah menawarkan pada
Takeo untuk pergi bersamamu, tapi dia memilih untuk tetap pergi ke Inuyama
bersamaku."
Ada nada bangga dalam suara Lord Otori. Aku berkata kepada Kenji. "Aku akan
pergi. Aku harus pergi ke Inuyama. Lagi pula, aku berhak menentukan nasibku
sendiri."
Kenji mendengus tajam. "Kalau begitu, aku ikut bersama kalian."
"Cuaca sudah cerah. Besok kita berangkat," kata Shigeru.
"Ada satu hal yang harus kusampaikan, Shigeru. Kau memang berhasil membuatku
terkesima karena dapat menyimpan rahasia tentang hubunganmu dengan Lady
Maruyama. Namun, saat di tempat permandian, ada lelucon yang membuat aku yakin
kalau hubunganmu dengan Lady Maruyama bukan lagi rahasia."
"Apa yang kau dengar?"




144
"Seorang laki-laki yang sedang mandi berkata pada seorang gadis bahwa Lord
Otori berada di kota ini dengan calon isterinya, dan gadis itu membalas, 'Juga bersama
isterinya.' Banyak yang tertawa seakan tahu maksud kalimat itu, lalu mereka
meneruskan pembicaraan tentang Lady Maruyama dan hasrat Iida pada nya. Tentu
saja, karena kita masih di wilayah Otori, mereka tidak bermaksud apa-apa kecuali rasa
kagum padamu. Reputasi Otori bisa terangkat, tapi rumor ini bak belati yang menyayat
iga bagi Tohan. Pembicaraan ini akan terus berulang hingga sampai ke telinga Iida."
Bisa kulihat wajah Lord Shigeru di bawah sinar lampu. Raut wajahnya menunjukkan
rasa ingin tahu. Ada rasa bangga sekaligus penyesalan di wajahnya.
"Iida bisa saja membunuhku," ucapnya, "tapi itu tidak mengubah kenyataan kalau
Lady Maruyama lebih memilihku ketimbang dia."
"Kau jatuh cinta pada kematian, seperti semua orang dari kalanganmu," kata Kenji.
Belum pernah aku dengar nada suara Kenji begitu marah.
"Aku tidak takut mati," balas Shigeru. "Tapi, kau salah bila mengatakan kalau aku
cinta pada kematian. Justru sebaliknya, aku telah membuktikan betapa besar aku
mencintai hidup. Namun aku lebih baik mati daripada hidup menanggung malu, dan
itulah tujuanku satu-satunya."
Mendengar ada langkah kaki yang mendekat, aku menggerakkan kepala seperti
anjing, ini membuat Shigeru dan Kenji terdiam. Terdengar ketukan dan pintunya
tergeser membuka. Sachie duduk berlutut di pintu. Shigeru menghampiri. Sachie
berbisik lalu pergi. Shigeru berbalik ke arah kami, dan berkata, "Lady Maruyama ingin
membahas rencana perjalanan besok. Aku akan menemuinya sebentar."
Kenji diam membisu, dia hanya mengangguk sesaat.
"Mungkin ini terakhir kali kami bisa bersama," ujar Shigeru lembut, dan
melangkah ke koridor, dan menutup pintu.
"Seharusnya aku yang lebih dulu menemukanmu, Takeo," gerutu Kenji. "Kau tak
akan menjadi bangsawan, tidak terikat sumpah setia pada Shigeru. Kau akan selamanya
menjadi anggota Tribe. Kau tidak akan berpikir dua kali untuk pergi dari sini




145
bersamaku sekarang, malam ini."
"Jika tidak diselamatkan oleh Lord Otori, aku pasti sudah mati!" kataku tajam. "Ke
mana Tribe saat Tohan membunuh penduduk desaku dan membakar rumahku? Dia
selamatkan aku. Itu alasannya mengapa aku tak bisa meninggalkannya. Tak akan
pernah. Jangan paksa aku lagi!"
Mata Kenji menatap nanar, "Lord Takeo," ujarnya dengan sinis.
Para pelayan datang membentangkan kasur, dan kami pun tak berkata apa-apa
lagi.
Keesokan harinya jalan jalan di Tsuwano penuh sesak. Banyak pejalan kaki yang
memanfaatkan cuaca yang cerah untuk melanjutkan perjalanan. Langit tampak biru
jernih dan mataliari menghisap kelembaban dari permukaan bumi hingga kering.
Walaupun jembatan batu yang melintasi sungai tidak rusak, tapi arus sungai bergerak
liar, melempar ranting, papan, dan bangkai hewan yang mungkin mati karena terbentur
dermaga. Aku langsung teringat ketika pertama kali melintasi jembatan di Hagi, aku
melihat bangkai burung bangau mengapung di air, bulunya yang putih dan abu-abu
basah kuyup, semua keanggunan bangau itu lenyap dan rusak. Pemandangan itu
membuatku merinding. Kurasa itu pertanda buruk.
Kuda yang telah lama beristirahat nampak sudah tidak sabar ingin segera
melakukan perjalanan. Shigeru nampak tidak cemas, atau berkeinginan untuk
mengatakan kecemasannya padaku. Dia tenang, dan matanya berbinar-binar.
Wajahnya memancarkan semangat hidup. Namun hatiku sedih melihatnya-aku merasa
bahwa hidup dan masa depannya ada di tanganku, tangan seorang pembunuh. Aku
pandangi kedua tanganku yang sedang memegang leher Raku. Aku berpikir, apakah
tangan ini akan membuatku kecewa.
Aku hanya sempat sekilas melihat Kaede, yaitu saat dia melangkah naik ke tandu.
Dia tak melihatku. Lady Maruyama menyambut kehadiran kami dengan anggukkan
singkat, tanpa berkata sepatah kata pun. Wajahnya pucat dengan lingkaran hitam di


146
sekitar matanya, tapi dia terlihat tegar dan tenang.
Perjalanan kami terasa lambat dan sulit. Tsuwano terlindung dari badai karena
kota ini berada di balik gunung, namun ketika kami menuruni lembah, kerusakan
akibat badai terlihat jelas. Rumah dan jembatan tersapu bersih, pohon tercabut dari
akarnya, ladang digenangi air. Penduduk desa melihat kami dengan tatapan marah
karena kami berkuda di tengah-tengah penderitaan mereka, apalagi sewaktu kami
mengambil jerami untuk makanan kuda, dan memakai perahu mereka untuk
menyeberangi sungai yang ganas.
Perlu tiga hari untuk sampai di perbatasan, dua kali lebih lama dari perkiraan.
Sekelompok pengawal telah dikirim untuk menemui kami di sini, yang dipimpin
pengawal utama Iida, Abe, dan anak buahnya yang berjumlah tiga puluh orang, lebih
besar dari rombongan Lord Otori yang jumlahnya hanya dua puluh orang. Sedangkan
Sugita dan para pengawal Lady Maruyama langsung pulang setelah rombongan kami
tiba di Tsuwano.
Sudah seminggu lamanya Abe dan anak buahnya menunggu kami, dan mereka
terlihat tidak sabar, dan juga kesal. Mereka tak ingin membuang-buang waktu untuk
menunggu Festival of the Dead yang akan dirayakan di Yamagata. Sedikit cinta yang
ada di antara kedua Man kini telah sirna; yang tersisa hanyalah suasana tegang.
Pengawal Tohan bersikap sombong dan bertingkah. Rombongan kami diperlakukan
bak orang tertindas, seperti pengemis, bukan kaum yang sejajar. Darahku mendidih,
tapi Lord Shigeru nampak tidak terpengaruh, dia tetap sopan seperti biasa, dan hanya
terlihat agak sedih.
Aku diam membisu seperti ketika aku kehilangan suara. Aku mendengar potongan
percakapan tentang jerami, atau arah mata angin. Di wilayah Tohan, semua orang
tampak pendiam dan tertutup. Mereka tahu ada mata-mata di mana-mana, bahkan
dinding pun bisa mendengar. Dan ketika penduduk Tohan sedang mabuk di malam
hari, mereka diam membisu, tidak ribut seperti orang Otori.
Sejak pembantaian di Mino, belum pernah aku sedekat ini dengan orang Tohan.




147
Aku selalu menunduk dan memalingkan wajah, takut mengenal atau dikenali oleh
orang yang telah membakar desa dan membunuh keluargaku. Aku menyamar sebagai
seniman yang selalu ditemani kuas atau batu tinta. Aku menyembunyikan sifat asliku,
dan berperan sebagai seorang pemuda yang sensitif, lembut, pemalu, dan jarang bicara.
Satu-satunya orang yang kuajak bicara adalah Kenji. Dia pun berubah menjadi pemalu
dan tak menonjolkan diri seperti biasa. terkadang kami berbincang tentang kaligrafi
atau lukisan. Pengawal Tohan memandang kami sebelah mata dan tidak ambil peduli.
Saat-saat di Tsuwano terasa seperti mimpi. Benarkah aku berlatih pedang dengan
Kaede di sana? Apakah aku dan Kaede terperangkap dan terbakar oleh cinta? Sejak saat
itu, aku jarang melihatnya. Semua wanita berada di penginapan yang terpisah dan
mendapat hidangan yang terpisah pula. Aku berusaha melupakannya, tapi saat
inendengar suaranya, jantungku berdebar, dan ketika malam tiba, bayangan dirinya
muncul di bola mataku. Apakah aku telah disihir?
Di malam pertama, Abe tidak memperhatikan aku, tapi di malam yang kedua,
setelah makan malam dan ketika sake telah membuatnya agresif, dia menatapku selama
beberapa saat sebelum bertanya pada Shigeru, ''Anak ini—adalah kerabatmu?"
"Dia sepupu jauh ibuku," jawab Shigeru. "Dia anak nomor dua di keluarga
besarnya, kini dia yatim piatu. Ibuku ingin mengadopsinya, dan setelah ibuku tiada
barulah aku dapat mewujudkan niatnya."
"Dan dia datang kepadamu dengan mengiba-iba," kata Abe sambil tertawa.
"Sedih, mungkin," Shigeru menyetujui ucapannya. "Tapi dia berguna. Dia bisa
berhitung, menulis, dan memiliki bakat seni." Suara Shigeru terdengar sabar, kecewa,
seakan-akan aku adalah beban berat. Aku tahti setiap perkataan Shigeru hanyalah
untuk membentuk karakterku di mata orang itu. Aku menunduk, tidak bicara.
Abe kembali menuang sake dan meminumnya, sambil menatapku dari balik
mangkuk. Matanya yang kecil dan cekung menghiasi wajahnya yang penuh bopeng.
"Keahlian yang kurang berguna di masa sekarang ini!"
"Kini kita bisa mengharapkan perdamaian karena Man kita akan menjadi sekutu,"




148
kata Shigeru perlahan. "dan mungkin kelak muncul seniman-seniman baru."
"Berdamai dengan Otori memang mungkin saja. Otori sudah takluk tanpa harus
berperang. Tapi kini Seishuu yang dipimpin oleh Arai, si pengkhianat, sedang mencari
masalah."
"Arai?" tanya Shigeru.
"Sebelumnya dia adalah pengikut Lord Noguchi. Dia berasal dari Kumamoto.
Wilayahnya berbatasan dengan wilayah keluarga calon isterimu. Dia ternyata sudah
menyusun kekuatan. Kami akan menyerangnya sebelum musim dingin." Abe menelan
lagi minumannya. Ekspresi humor yang kejam muncul di wajahnya, membuat lekukan
di bibirnya terlihat bengis. "Arai telah membunuh penjaga yang mengganggu Lady
Shirakawa, dan dia tersinggung ketika Lord Noguchi mengusirnya." Dia memandangiku
dengan tatapan mabuk untuk yang kedua kalinya. "Aku berani bertaruh
kau belum pernah membhunuh, bukan begitu nak?"
"Belum, Lord Abe," jawabku. Dia tertawa. Aku bisa merasa kalau dia hendak
menggangguku. Aku tak ingin membuat dia gusar.
"Bagaimana denganmu, pak tua?" Dia berbalik ke arah Kenji, yang sedang
berperan sebagai guru biasa. Saat ini Kenji sedang minum sake dengan gembira. Dia
tampak agak mabuk, meskipun tidak semabuk Abe.
"Meski orang bijak mengajarkan bahwa membunuh itu boleh—bahkan harus—
untuk balas dendam," dia berkata dengan nada tinggi dan sok alim, "Aku belum pernah
bertindak terlalu jauh. Sang Pencerah mengajarkan untuk menahan diri agar tidak
mencabut nyawa makhluk hidup, itu alasannya mengapa aku hanya makan tumbuhan."
Kenji berkata sambil mengisi mangkuknya. "Beruntung sake ini terbuat dari tumbuhan
sehingga aku tidak melanggar aturan."
"Tidak adakah ksatria di Hagi hingga kau hanya ditemani mereka?" ejek Abe.
"Aku datang ke Inuyama untuk menikah," balas Lord Shigeru lembut. "Haruskah
aku bersiap-siap untuk berperang?"
"Setiap orang harus selalu siap berperang," balas Abe. "Apalagi bila reputasinya




149
seperti calon isterimu. Kau tidak tahu itu?" Dia menggelengkan kepalanya yang besar.
"Ibarat makan ikan beracun. Satu gigitan saja sudah mematikan. Apakah itu tak
membuatmu cemas?"
"Haruskah?" Shigeru kembali menuang sake.
"Dia sangat cantik, kuakui itu. Memang sudah selayaknya!"
"Lady Shirakawa tidak berbahaya," kata Shigeru, lalu mengarahkan Abe untuk
berbicara tentang keberhasilan misi Iida di Timur. Aku mendengarkan kesombongan
Abe dan berusaha mengira-ngira kelemahannya. Keputusanku sudah bulat, akan
kubunuh dia.
Kami tiba di Yamagata keesokan harinya. Daerah ini hancur akibat badai, begitu
banyak korban jiwa dan para pertani mengalami kerugian besar. Hampir sama luasnya
dengan Hagi, Yamagata sebelumnya merupakan wilayah Otori yang diambil paksa oleh
klan Tohan. Sebuah kastil kembali dibangun dan dihibahkan pada salah satu pengikut
Iida. Tapi sebagian besar penduduk di kota ini tetap menganggap dirinya sebagai
bagian dari klan Otori, dan kehadiran Lord Shigeru menjadi satu alasan timbulnya
keramaian. Abe berharap bisa sampai di Inuyama sebelum Festival of the Dead, dan dia
marah karena tertahan di tempat ini. Melakukan perjalanan selama perayaan akan
dianggap sebagai pertanda buruk, kecuali bila pergi ke tempat suci atau kuil.
Shigeru nampak sangat sedih, mungkin karena inilah pertama kali dia berada di
kota tempat Takeshi dibunuh. "Setiap kali bertemu orang Tohan, aku selalu bertanya
pada diriku: Diakah orang yang membunuh Takeshi?" Lord Shigeru mengungkapkan
ini saat malam telah larut. "Dan kupikir mereka juga bingung mengapa belum
dihukum, dan mereka membenci diriku karena dibiarkan hidup. Ingin rasanya
kupenggal mereka."
Belum pernah aku mendengar Shigeru mengatakan perasaannya selain kesabaran.
"Jika kau bunuh mereka, kita tidak akan pernah mendapatkan Iida," balasku. "Semua
penghinaan Tohan pasti akan ada balasannya."
"Kau semakin bijak, Takeo," ucapnya dengan ringan. "Bijaksana dan bisa




150
mengendalikan diri."
Keesokan harinya Shigeru pergi bersama Abe ke kastil. Mereka diterima oleh
bangsawan setempat. Dia nampak lebih sedih dan gelisah. "Tohan menyalahkan kaum
Hidden atas terjadinya badai ini." Dia memberitahukan secara singkat. "Beberapa
pedagang dan petani ditangkap. Sebagian mad setelah disiksa. Ada empat orang yang
digantung di dinding kastil. Sudah tiga hari mereka digantung."
"Mereka masih hidup?" tanyaku, merinding.
"Mungkin mereka akan tetap di sana selama seminggu atau lebih," kata Shigeru.
"Dan burung gagak akan mematuki mereka sampai mati."
Begitu tahu mereka ada di sana, tak henti-hentinya aku mendengar jeritan mereka,
kadang teriakan pilu yang menyayat hati. Di siang hari, teriakan mereka diiringi
dengan teriakan burung gagak. Aku akan mendengarnya malam ini, dan juga esok. Ini
adalah malam pertama Festival of the Dead.
Tohan menetapkan jam malam, tapi Festival of the Dead adalah tradisi yang sudah
turun-temurun, dan jam malam hanya dapat bertahan hingga tengah malam.
Setelah tengah malam, kami ikut bergabung dengan kerumunan orang yang
menuju kuil lalu ke sungai. Lampu dari lentera batu membentuk garis hingga ke kuil,
dan lilin-lilin diletakkan di atas nisan, pancaran sinar membentuk bayangan tubuh yang
cekung dan semua wajah nampak seperti tengkorak. Iring-iringan berjalan dengan
teratur dan hening sehingga terlihat seperti barisan mayat yang bangkit dari kubur.
Malam terasa begitu hangat. Aku dan Shigeru pergi ke tepi sungai, meletakkan
beberapa lilin menyala di perahu yang terapung sebagai persembahan bagi arwah.
Lonceng kuil berdentang, senandung dan alunannya seperti mengikuti arus air sungai
yang tenang. Kami menyaksikan lilin-lilin yang terapung dibawa arus, berharap arwah
akan tenang dan meninggalkan dunia ini dengan damai.
Hanya saja, tidak ada lagi kedamaian di hatiku. Aku teringat ibu; ayah, ayah tiri,
adik-adikku, dan juga penduduk Mino yang telah meninggal. Tidak diragukan lagi,
Shigeru memikirkan ayah dan adiknya. Arwah mereka seakan tak mau pergi sebelum




151
dendam mereka terbalaskan. Di sekeliling kami orang-orang menyalakan lilin di
perahu sambil menangis terisak-isak, dan hatiku perih dengan kenyataan hidup ini.
Aku teringat ajaran Hidden, tapi kemudian aku sadar kalau mereka yang mengajariku
telah mati.
Cahaya lilin kian lama kian mengecil, lalu nampak seperti kunang-kunang, dan
kemudian nampak seperti bunga api. Bulan purnama menampakkan dirinya yang
berwarna oranye, warna yang biasa muncul di akhir musim panas. Aku takut kembali
ke penginapan, ke kamarku yang pengap, karena aku akan mendengar jeritan orang
Hidden yang sekarat di balik dinding kastil hingga pagi.
Kembang api telah dinyalakan di sepanjang tepi sungai, dan orang-orang mulai
menari, tarian untuk inenyambut dan melepaskan arwah pergi. Gendang ditabuh dan
musik pun dimainkan. Rohku serasa terangkat dan aku berdiri untuk melihat. Di
bawah bayang-bayang pohon willow, aku melihat Kaede.
Dia berdiri dengan Lady Maruyama, Sachie dan Shizuka. Lord Shigeru berdiri,
lalu mendekat ke arah mereka. Lady Maruyama mendekatinya, dan mereka saling
menyapa dalam bahasa yang resmi dan dingin, saling bertukar simpati untuk arwah,
lalu membahas tentang perjalanan ke Inuyama. Mereka membalikkan badan, dalam
gerakan yang wajar, lalu berdiri berdampingan sambil menyaksikan tarian. Tapi ada
kerinduan di balik nada bicara dan dari cara mereka berdiri, dan ini membuatku takut.
Aku tahu mereka bisa menyembunyikan perasaan mereka-itu telah mereka lakukan
bertahun-tahun-tapi saat ini mereka memasuki akhir dari permainan dengan taruhan
nyawa. Aku takut mereka akan bertindak ceroboh sebelum langkah terakhir.
Kini Kaede hanya seorang diri di tepi sungai, terpisah dari Shizuka. Tanpa sadar,
seakan dibawa para arwah, aku telah berdiri di sampingnya. Aku hendak menyapa,
namun aku takut Abe melihat, lalu menuduhku hendak menggoda tunangan Shigeru.
Akhirnya aku memberanikan diri dengan mengatakan tentang malaiii yang panas, tapi
Kaede gemetar seakan kedinginaii, Setelah lama diam, akhirnya dia bertanya. "Pada
siapa kau berduka, Lord Takeo?"




152
"Ibuku, ayahku." Setelah terdiam sejenak, kemudian aku melanjutkan. "Begitu
banyak yang mati."
"Ibuku sedang sekarat," ujarnya. "Kuharap aku bisa bertemu dengannya lagi, tapi
perjalanan kita begitu lambat. Aku takut terlambat menengoknya. Aku berumur tujuh
tahun saat dijadikan tawanan. Hampir separuh hidupku, aku tidak pernah bertemu
ibuku dan juga adikadikku."
"Dan ayahmu?"
"Aku hampir tak pernah bertemu dengannya."
"Dia akan hadir di...?" Aku kaget karena tenggorokanku mengering sehingga aku
tak mampu bicara.
"Di pernikahanku?" katanya pahit. "Tidak, dia tak akan hadir." Matanya terpaku
ke sungai yang penuh dengan cahaya lilin. Kini dia melihat para penari dan kerumunan
di balik punggungku, melihat Shigeru dan Lady Maruyama.
"Mereka saling mencintai," dia berkata seakan-akan sedang berbicara pada dirinya
sendiri. "Itu alasannya kenapa dia membenciku."
Tidak sepantasnya aku berdekatan darr berbicara dengannya, tapi aku tidak dapat
menggerakkan diriku untuk menjauh. Aku berusaha untuk bersikap lembut, malumalu,
dan sopan. "Meskipun pernikahan ini untuk menjalankan tugas dan mengikat
persekutuan, tapi itu bukan berarti tidak akan ada kebahagiaan. Lord Otori sangat
baik."
`Aku lelah mendengar ini semua. Aku tahu dia baik. Aku hanya mengatakan
bahwa dia tak akan mencintaiku." Aku sadar matanya menatapku. "Tapi, aku tahu," dia
melanjutkan, "bahwa cinta bukanlah untuk kalangan kita."
Kini aku yang gemetar. Dan ketika aku mengangkat kepala, tatapan kami bertemu.
"Lalu mengapa aku merasakan cinta?" bisiknya.
Aku tak berani berbicara lagi. Kata-kata yang ingin kuucapkan tertahan dimulutku.
Aku seperti dapat merasakan manis dan kuatnya rasa cinta. Aku ingin mati saja jika
tidak bisa memiliki dirinya.




153
Gendang bertabuhan. Api yang menyala nampak seperti lautan api. Shizuka
memanggil dari tempat gelap. "Malam telah larut, Lady Shirakawa."
"Aku datang," balas Kaede. "Selamat malam, Lord Takeo."
Aku membiarkan diriku menyebut namanya, seperti dia menyebut namaku. "Lady
Kaede."
Saat dia membalikkan badan, wajahnya nampak bersinar, lebih terang dari cahaya
api, lebih cemerlang dari cahaya rembulan yang terpantul dari permukaan sungai.*




154
KAMI mengikuti rombongan Lady Maruyama kembali ke kota, kemudian kami
berjalan ke penginapan yang letaknya terpisah. Di perjalanan, beberapa penjaga Tohan
datang dan mengawal hingga di pintu penginapan. Mereka berjaga-jaga di luar
penginapan, sedangkan seorang pengawal dari pihak Otori tetap mengawasi dari jalan.
"Besok kita ke Terayama," kata Shigeru ketika kami bersiap-siap tidur. "Aku harus
ziarah ke makam Takeshi, dan untuk menyampaikan rasa hormatku pada kepala biara.
Dia teman lama ayahku. Ada beberapa hadiah untuknya."
Kami membawa banyak hadiah di kantung yang ada di kedua sisi kuda. Selain
barang kami sendiri, kami juga membawa pakaian pengantin, dan bekal untuk
perjalanan. Selama ini aku tidak memperhatikan kotak kayu yang akan kami bawa,
apalagi isinya.
Seperti yang kutakutkan, kamar penginapan terasa pengap. Aku tidak dapat
memejamkan mata. Aku mendengar lonceng biara yang berdentang di tengah malam.
Kemudian keriuhan di luar penginapan berangsur-angsur lenyap seiring berlalunya jam
malam, kecuali rintihan orang-orang yang sekarat di dinding kastil.
Akhirnya aku memutuskan untuk bangun. Aku tak mempunyai rencana apa pun.
Aku hanya ingin melakukan sesuatu karena tidak bisa tidur. Kenji dan Shigeru sudah
terlelap, begitu pula penjaga di luar. Aku lalu mengambil sebuah kotak kedap air,
tempat Kenji menyimpan kapsul racun. Kuikat benda itu di pakaian dalamku, lalu aku
mengenakan pakaian perjalanan yang berwarna gelap, dan tak lupa kuambil pedang
pendek, garrotte, sepasang pengait besi dan talinya dari tempat yang tersembunyi di


155
dalam peti kayu. Setiap gerakanku butuh waktu lama karena harus dilakukan tanpa
berbunyi. Tapi, bagi kalangan Tribe, waktu berjalan dengan cara berbeda, waktu dapat
berjalan cepat atau lambat sesuai keinginan. Aku pun tidak tergesa-gesa karena aku
tahu Kenji dan Shigeru tak akan terbangun.
Tubuh penjaga itu bergerak saat aku melangkah di depannya sehingga aku
langsung ke kamar mandi untuk menenangkan diri. Kemudian aku mengirim sosok keduaku
kembali ke kamar dengan melewati pengawal itu. Aku menunggu di kegelapan
hingga si penjaga mendengkur lagi, baru kemudian aku menghilangkan tubuh. Aku
memanjat atap dari halaman penginapan, dan menjatuhkan diri di sisi luar jalan.
Aku mendengar ada beberapa pengawal Tohan di pintu penginapan, dan aku tahu
kalau ada patroli di semua jalan. Meskipun sangat berbahaya, tapi aku ingin
mempraktekkan kemampuan yang Kenji ajarkan sebelum kami tiba di Inuyama. Selain
itu, aku ingin sekali menghentikan rintihan di balik dinding kastil agar aku bisa tidur.
Aku memilih jalan setapak, jalan berliku ke kastil. Hanya sedikit rumah yang
lampunya masih menyala, kebanyakan dalam keadaan gelap. Aku mendengar percakapan
berbisik saat melewati rumah penduduk: suara seorang bapak menenangkan
anaknya yang menangis, ocehan anak yang mungkin sedang demam, pertengkaran
antar pemabuk. Dan akhirnya aku sampai di jalan utama, jalan yang langsung
mengarah ke parit dan jembatan. Sebuah kanal terbentang di sisi jalan, dan banyak
sekali ikan mas. Ikan-ikan mas itu sedang tidur, dan sisiknya bersinar lembut diterangi
bulan. Kadang ada yang terbangun, meloncat lalu menceburkan diri. Mungkin ikan itu
sedang bermimpi.
Aku berjalan dari satu pintu ke pintu lainnya, telingaku selalu waspada -pada setiap
langkah kaki atau dentingan baja. Sebenarnya, aku tidak mencemaskan pengawal yang
sedang patroli karena aku yakin bisa mendengar mereka terlebih dulu, dan selain itu
aku bisa menghilang dan memisahkan diri menjadi dua sosok. Saat berhasil mencapai
ujung jalan dan memandangi permukaan sungai kecil itu diterangi sinar rembulan,
yang terpikir hanyalah rasa senang karena menjadi seorang Kikuta, melakukan apa yang




156
telah menjadi darahku. Hanya Tribe yang tahu perasaanku saat ini.
Di sisi bagian dalam parit ada serumpun pohon willow yang daunnya berguguran
hingga menutupi permukaan air. Untuk keamanan, seharusnya mereka membersihkan
daun-daun itu, tetapi mungkin saja penghuni kastil, seperti isteri dan ibu bangsawan di
kota ini, menyukai indahnya pemandangan ini. Diterangi cahaya bulan, ranting pohon
willow nampak membeku. Malam ini tak ada angin. Aku menyelinap di antara batang
pohon, merunduk, dan memandangi kastil.
Kastil ini lebih besar dari kastil yang ada di Tsuwano maupun di Hagi, tapi bentuk
bangunannya tidak jauh berbeda. Di kejauhan aku melihat siluet keranjang kurungan
yang terletak di menara penjaga, tepatnya di sisi belakang gerbang selatan yang kedua.
Agar bisa sampai ke sana, aku harus menyeberangi parit di sekitar kastil, memanjat
dinding batu, melewati gerbang pertama dan melintasi bailey di sebelah selatan,
memanjat gerbang kedua dan menara penjaga, lalu turun lagi untuk menggapai
keranjang.
Aku mendengar langkah kaki dan getaran tanah di tempatku berpijak. Beberapa
penjaga yang sedang berpatroli mendekati jembatan. Penjaga lain datang dari arah
kastil, dan mereka saling bertegur-sapa ketika berpapasan.
"Ada masalah?"
"Hanya pelanggar jam malam seperti biasa."
"Dasar pengacau!"
"Besok keadaan akan semakin memburuk. Situasi lebih memanas."
Satu grup penjaga itu berjalan ke kota; dan yang lainnya menyeberangi jembatan
dan berjalan ke arah gerbang. Ada yang menegur dari balik gerbang, dan mereka
membalasnya. Pintu gerbang berdecit ketika dibuka dan langkah kaki pun tidak
terdengar lagi.
Di balik pepohonan willow, aku mencium bau busuk air dari parit, dan juga bau
yang menusuk: bau orang hidup yang badannya mulai membusuk.
Tepi parit ditumbuhi rumput dan juga bunga iris yang telah layu. Katak dan




157
jangkrik bernyanyi riuh. Kehangatan udara malam membelai wajahku. Dua ekor angsa
putih tampak seperti melayang ke bulan.
Aku penuhi jantungku dengan udara lalu aku menyelam hingga mendekati dasar
parit, mengikuti arus yang mengalir perlahan agar dapat muncul tepat di bawah
jembatan. Dinding batu raksasa di tepi parit memudahkanku menapak, hanya saja
putihnya batu itu membuatku cemas akan terlihat. Aku tidak bisa menghilangkan diri
terlalu lama. Waktu yang semula terasa lambat, kini mulai berpacu. Aku bergerak lebih
cepat, memanjat dinding layaknya monyet. Di gerbang pertama, aku mendengar suara
penjaga yang kembali dari berpatroli. Aku menempelkan badanku di pipa saluran air,
lalu menghilangkan diri, dan memanfaatkan bunyi langkah kaki mereka untuk
menutupi bunyi pengait besi yang kulempar ke atas dinding.
Aku mengayun ke atas dan, diam di atap selama beberapa saat, kemudian aku
berlari mengitari bailey di selatan. Keranjang yang digunakan untuk mengurung orangorang
sekarat itu tepat berada di atas kepalaku. Orang yang pertama terus-menerus
minta air, orang yang kedua hanya mengerang, dan orang yang ketiga menyebut nama
tuhannya berulangkali, membuat aku merinding. Sedangkan orang yang keempat diam
tak bergerak. Bau darah, air kencing, dan kotoran mereka membuatku mual. Aku
berusaha menutup hidung karena bau busuk, dan aku menutup telinga karena tidak
tahan lagi mendengar semua itu. Diterangi cahaya rembulan, aku memandangi kedua
tanganku.
Aku harus melintas di atas pos jaga. Aku mendengar penjaga di pos itu sedang
membuat teh dan bercakapcakap. Ketika terdengar bunyi ketel tersentuh rantai besi,
aku langsung menggunakan pengait besi untuk memanjat menara penjaga ke parapet*
di mana semua keranjang tergantung.
Keranjang-keranjang itu digantung dengan tali dan tingginya sekitar dua belas
meter dari tanah. Keranjang itu cukup besar untuk menahan orang dalam posisi duduk
berlutut dengan kepala mendongak ke atas, dan dengan kedua tangan terikat ke
belakang. Tali keranjang itu tampaknya cukup kuat untuk menopang berat badanku.




158
Saat aku meraih salah satu keranjang dari atas parapet, keranjang itu bergoyang dan
orang yang ada di dalamnya langsung menjerit ketakutan. Suaranya memecah
keheningan malam. Aku diam membeku. Setelah tersedu-sedan selama beberapa
waktu, kemudian dia merintih lagi, "Air! Air!"
Tak ada suara yang menanggapi teriakan orang itu selain gonggongan anjing di
kejauhan. Seisi kota tetap terlelap. Bulan tak lama lagi akan menghilang di balik
gunung.
Saat bulan menghilang di balik gunung, aku memeriksa pengait besi di atas
parapet, lalu aku mengeluarkan kapsul racun dan menyimpannya di mulut. Setelah itu
aku menuruni dinding dengan menggunakan tali yang kubawa dan merasakan setiap
pijakan kakiku di permukaan dinding batu.
Di keranjang pertama, kubuka ikat kepalaku yang masih basah karena air parit, dan
aku hanya bisa menggapai keranjang itu tanpa bisa mendekat. Aku mendengar desah
napas, juga ocehannya, dia mengeluarkan kata-kata yang tak aku mengerti.
'Aku tak bisa menyelamatkanmu," bisikku, "tapi aku punya racun yang bisa
memberimu kematian tanpa rasa sakit."
Dia menekan wajahnya ke lubang keranjang dan membuka mulutnya untuk
menerima racun.
Orang yang kedua hanya diam, tapi aku dapat menjangkau urat nadinya karena
kepala laki-laki itu merosot di sisi keranjang. Aku menghentikan rintihannya tanpa ada
jeritan.
Setelah itu aku lalu naik kembali ke parapet untuk mengatur ulang posisi tali agar
aku dapat mencapai keranjang lainnya. Lenganku terasa pegal, namun aku bertahan
karena saat aku melihat ke bawah, di sana banyak batu-batu. Ketika berhasil
menjangkau orang ketiga yang sedang berdoa, dia langsung waspada. Tatapan matanya
kelam. Aku menggumamkan doa kaum
Hidden lalu aku keluarkan kapsul racun yang ada di mulutku.
Dia berkata, "Tapi, itu dosa."


159
"Aku yang akan menanggung dosamu," aku berbisik. "Kau tidak bersalah. Kau
akan diampuni."
Sewaktu memasukkan kapsul itu ke mulutnya, dia menggambar simbol Hidden
dengan lidahnya di telapak tanganku. Setelah berdoa, dia pun terdiam untuk selamanya.
Aku tidak mendengar denyut nadi orang yang ke empat, kurasa dia sudah mati,
tapi untuk memastikan, aku menempelkan garrotte untuk mendengar denyut nadinya.
Ayam mulai berkokok.
Aku kembali ke parapet, malam begitu hening. Tak ada rintihan dan teriakan,
kesunyian yang sangat berbeda dari sebelumnya. Aku takut penjaga akan menyadari hal
ini. Detak jantungku bertabuh ibarat genderang.
Aku pulang melalui jalan yang sama ketika aku datang, namun tanpa
menggunakan pengait besi. Aku melompat dari dinding ke tanah, bergerak lebih cepat
dari sebelumnya. Ayam yang lain berkokok dan dibalas oleh ayam lainnya lagi.
Penghuni kota tak lama lagi akan bangun. Keringatku bercucuran, dan air di parit
terasa beku. Karena tak mampu lagi menahan napas selama menyelam, dan aku segera
muncul ke permukaan yang tak jauh dari pepohonan willow sehingga membuat angsaangsa
terbangun dari tidur. Kuhirup udara, lalu menyelam lagi.
Aku muncul di tepi sungai, di depan pohon willow. Aku bermaksud untuk
beristirahat sebentar untuk menormalkan napas. Langit mulai terang. Aku benar-benar
lelah. Konsentrasi dan kesadaran seperti tercabut dari diriku. Aku hampir tidak
mempercayai apa yang telah kulakukan.
Aku kaget saat mendengar ada yang datang. Bukan pengawal, tetapi orang biasa.
Dari bau kulit hewan yang keluar dari badannya, kurasa dia penyamak. Belum sempat
aku memulihkan tenaga agar dapat menghilang, dia telah melihatku. Dengan melihat
sekilas saja, aku sadar kalau dia tahu apa yang telah kulakukan.
Kini aku terpaksa membunuhnya, pikirku. Aku merasa mual karena harus
membunuh. Aku mencium bau darah dan kematian di kedua tanganku. Namun aku




160
memutuskan untuk membiarkan orang itu hidup, lalu aku meninggalkan sosok
tubuhku yang kedua di bawah pohon dan, dalam sekejap, sosokku yang sesungguhnya
telah berada di seberang jalan.
Aku mendengar orang itu berbicara pada bayanganku sebelum bayanganku
berangsur-angsur hilang.
"Tuan," katanya dengan ragu-ragu, "maaf. Aku telah mendengar rintihan kakakku
selama tiga hari ini. Terima kasih. Semoga tuhan memberkatimu."
Ketika sosok keduaku lenyap, dia menjerit kaget dan takjub. "Malaikat!"
Aku dengar napasnya yang kasar, hampir seperti terisak-isak, saat aku berlari dari
pintu ke pintu sambil berharap penjaga yang berpatroli tak bertemu dengan orang itu,
dan juga berharap dia tidak mengatakan apa pun. Aku berusaha meyakinkan diriku
kalau dia adalah orang Hidden yang akan membawa rahasianya hingga ke alam kubur.
Pagar di sekeliling penginapan cukup rendah untuk diloncati. Aku berjalan ke
kamar mandi dan pancuran untuk memuntahkan kapsul yang tersisa, dan membasuh
muka dan tangan seakan-akan aku baru bangun tidur. Penjaga masih setengah sadar
saat aku melewatinya. Dia mengeluh, "Sudah pagi?"
"Hampir pagi," balasku.
"Kau pucat, Lord Takeo. Kau kurang sehat?"
"Hanya sedikit mual. Itu saja."
"Makanan Tohan sialan," dia menggerutu sehingga kami tertawa.
"Mau teh?" dia menawarkan. "Kalau mau, aku akan membangunkan pelayan."
"Nanti saja. Aku akan tidur lagi."
Aku menggeser pintu agar terbuka lalu masuk ke dalam ruangan. Kegelapan telah
berlalu, dan kini berganti menjadi keabu-abuan. Dari napasnya, dapat kupastikan kalau
Kenji sudah bangun.
"Dari mana?" bisiknya.
"Dari kamar mandi. Aku kurang enak badan."
"Sejak tadi malam?" dia bertanya dengan ragu.




161
Kulepaskan pakaianku yang basah dan menyembunyikan senjata di bawah kasur di
saat yang bersamaan, "Hanya sebentar. Kau kan sedang tidur."
Dia menarikku dengan kasar lalu meraba pakaianku, "Pakaianmu basah! Kau dari
sungai?"
"Kan sudah kukatakan, aku merasa kurang enak badan. Mungkin aku akan bangun
agak siang."
Kenji memukul pundakku begitu kerasnya sehingga Lord Shigeru terbangun.
"Ada apa?" bisiknya.
"Takeo di luar semalaman. Aku cemas."
"Aku tidak bisa tidur," kataku. "Aku hanya ingin keluar sebentar. Aku pernah
melakukan ini di Hagi dan Tsuwano."
"Aku tahu itu," kata Kenji. "Tapi itu masih wilayah Otori. Sedangkan di sini jauh
lebih berbahaya."
"Aku kan sudah kembali." Aku masuk ke dalam selimut, menariknya sampai
menutupi kepalaku, dan aku pun tertidur nyenyak, tidur seperti orang mati.
Aku terbangun karena teriakan burung gagak. Meskipun tidur tidak lama, tapi aku
merasa tenang dan damai. Aku tidak lagi memikirkan kejadian tadi malam. Bahkan
aku tidak ingat dengan jelas, seakan-akan aku melakukan itu dalam keadaan tak sadar.
Hari ini adalah hari yang jarang terjadi di akhir musim semi. Langit cerah dengan
warna biru terang, udara pun terasa lembut dan hangat, tidak lembab. Seorang pelayan
datang membawa nampan makanan dan teh, setelah membungkuk hormat dan
menuangkan teh, dia berkata pelan,
"Lord Otori menunggumu di istal. Dia memintamu bergabung secepatnya. Dan
gurumu ingin kau membawa alat lukismu."
Aku mengangguk, mulutku penuh makanan.
Dia berkata, "Akan kukeringkan pakaianmu."
"Nanti saja," balasku, aku tak ingin dia melihat senjata di pakaianku. Setelah dia
pergi, aku segera berdiri, berpakaian, dan menyembunyikan pengait besi dan garrotte di




162
bagian rahasia di peti perjalanan, tempat Kenji menyimpan benda itu. Lalu aku ambil
kantung kuasku, tidak ketinggalan kotak yang berisi batu tinta, kemudian kubungkus
dengan sehelai kain. Aku selipkan pedang di pinggangku, kini aku menjadi Takeo,
seorang seniman terpelajar, lalu aku pergi ke istal.
Saat melewati dapur, aku mendengar pelayan berbhisik, "Mereka mati di kegelapan
malam. Orang-orang mengatakan bahwa ada Malaikat Maut yang datang..."
Aku terus berjalan sambil menatap ke bawah agar gaya berjalanku terlihat agak
kikuk. Rombongan wanita telah di punggung kuda. Shigeru berdiri sambil berbincang
dengan Abe yang akan menemani kami. Seorang pengawal Tohan yang masih muda
berdiri di sampingiiya sambil memegang tali kekang dua ekor kuda. Seorang penjaga
kuda memegang tali kekang kuda Lord Shigeru, Kyu, dan juga kudaku, Raku.
"Cepat," seru Abe ketika melihatku. "Kami tak bisa menunggumu seharian."
"Segera minta maaf pada Lord Abe," kata Shigeru seraya menghela napas.
"Aku sangat menyesal. Tindakanku benar-benar tak bisa dimaafkan," kataku
sambil membungkuk pada Abe dan Lady Maruyama serta Lady Shirakawa, berusaha
untuk tidak menatap Kaede. "Aku belajar hingga larut malam."
Aku berbalik ke arah Kenji dan berkata dengan nada yang berbeda, "Aku sudah
membawa peralatan melukis, guru."
"Ya, bagus," balasnya. "Kau akan melihat beberapa karya seni yang mengagumkan
di Terayama, dan mungkin kau dapat menirunya jika sempat."
Shigeru dan Abe menaiki kuda, dan si penjaga kuda membawa Raku kepadaku.
Raku senang melihatku; din menggosok-gosokkan moncongnya di pundakku. Aku biarkan
gerakan Raku membuatku hilang keseimbangan, sehingga hampir terjatuh. Aku
berjalan ke sebelah kanan Raku dan berpura-pura mengalami masalah sewaktu
menungganginya.
"Semoga kemampuan melukisnya jauh lebih baik daripada caranya berkuda," Abe
tertawa mengejek.
"Sialnya, tak ada satu pun lukisannya yang luar biasa." Kurasa kekesalan Kenji


163
bukan pura-pura.
Aku tidak membalas ucapan mereka, aku hanya menghibur diri dengan mengamati
leher Abe yang tebal di saat dia berkuda di depanku, aku membayangkan bagaimana
aku menjerat lehernya dengan garrotte atau mengiris dagingnya yang berlemak dengan
belati.
Gagasan jahat berhasil membuatku sibuk hingga kami melewati jembatan dan
keluar dari kota. Kemudian, keindahan hari ini mulai menyihirku. Tanah mulai
menyembuhkan dirinya setelah dihantam badai. Bunga morning-glory yang mulai
mekar kini berwarna biru cemerlang, walau beberapa tanaman merambat layu
berguguran. Ikan hilir-mudik di sungai, sedangkan beberapa burung bangau dan
unggas air lainnya berdiri di Air yang dangkal. Lusinan capung yang beraneka ragam
terbang di sekeliling kami, dan kupu-kupu berwarna kuning bercampur warna jingga
terbang mengelilingi kaki kuda.
Kami berkuda di antara sawah yang menghijau. Tumbuh-tumbuhan memaksakan
diri untuk tumbuh setelah layu dihantam badai. Hampir semua orang terlihat bekerja
dengan wajah bahagia, lupa akan kerusakan akibat badai. Aku teringat penduduk di
desaku yang gigih menghadapi bencana, keyakinan mereka tidak tergoyahkan: apa pun
yang menimpa, hidup pada dasarnya baik, dan dunia adalah tempat yang aman.
Sawah memberi kesempatan kepada sayuran untuk tumbuh di lahan yang
bertingkat-tingkat, dan ketika jalan semakin curam, hutan bambu mengiringi kami
dengan cahayanya yang hijau pucat keperakan. Di antara pepohonan bambu ada pohon
pinus dan cedar, ranting-rantingnya yang lebat menghalangi dan memperlambat
langkah kuda.
Di sekitar kami terbentang hutan yang lebat. Terkadang kami bertemu para
peziarah di jalan setapak yang sempit ini, membuat perjalanan kami ke gunung suci
kian sulit. Kami berkuda dengan berbaris sehiiig sulit rasanya bercakap-cakap. Aku
tahu Kenji sudah tidak sabar untuk menanyakan kejadian semalam, tapi aku tidak mau
membicarakan atau pun memikirkan hal itu.




164
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya kami sampai di
beberapa bangunan yan terletak di luar pintu biara. Kami berhenti di sebuah rumah,
tempat menginap para peziarah. Semua kuda dibawa pergi untuk diberi makan dan
minum, dan kami masuk ke rumah itu untuk menyantap hidangan siang berupa sayurmayur
yang disajikan biarawan.
"Aku agak lelah," ujar Lady Maruyama saat kami selesai menyantap makanan.
"Lord Abe, maukah kau di sini saat aku dan Lady Shirakawa beristirahat?"
Lord Abe tidak kuasa menolak, walaupun sebenarnya dia segan melepas Shigeru
dari pandangannya.
Lord Shigeru memintaku untuk mengambil kotak kayu, dan kuambil juga tinta
dan kuas. Si pemuda Tohan yang turut bersama kami seperti agak marah, kesal. Bila
cuaca normal, Shigeru tidak akan sempat ke Terayama untuk ziarah ke makam adiknya
tepat pada saat Festival of the Dead.
Kami mulai mendaki anak tangga yang curam. Biara Terayama dibangun di sisi
gunung, dekat kuil kuno. Beberapa pohon yang tumbuh di hutan suci mungkin sudah
berumur empat atau lima ratus tahun, pohonnyit menyerupai payung raksasa,
sedangkan lilitan akarnya yang menggantung dan menancap ke tanah mirip roh
penunggu hutan. Di kejauhan aku mendengar biarawati sedang melantunkan doa,
memukul gong dan lonceng. Sayup-sayup aku mendengar gemuruh air terjun, hembusan
angin di dedaunan pohon cedar, dan juga kicau burung. Keindahan hari ini
memunculkan perasaan yang mendalam, rasa kagum dan juga pengharapan, seolaholah
ada suatu rahasia besar dan menakjubkan yang akan terungkap.
Kami akhirnya sampai di gerbang kedua, di sini terlihat sekumpulan bangunan
tempat para peziarah dan pengunjung beristirahat. Di tempat ini kami diminta
menunggu sambil minum teh. Tak lama kemudian dua orang biarawan datang. Salah
seorang lebih pendek dan lemah karena sudah termakan usia, namun matanya
cemerlang dan memantulkan kedamaian. Seorang lainnya jauh lebih muda, berotot,
dan raut wajahnya keras.




165
"Kami senang atas kedatanganmu, Lord Otori," kata biarawan yang lebih tua,
membuat orang Tohan yang mengiringi kami semakin cemberut. "Kami sedih karena
memakamkan Lord Takeshi. Tentu kau datang untuk berziarah ke makamnya."
"Kau tunggu di sini dengan Muto Kenji," kata Shigeru kepada pemuda Tohan.
Aku dan Shigeru mengikuti biarawan tua itu ke tempat pemakaman. Di sana tampak
beberapa batu nisan berderet di bawah pohon yang sangat besar. Ada yang sedang
membakar kayu, asapnya yang keluar dari bawah pohon memunculkan cahaya kebiruan
saat menyatu dengan sinar matahari.
Kami bertiga duduk berlutut dalam hening. Tak lama kemudian biarawan yang
lebih muda memberikan lilin dan dupa pada Shigeru yang kemudian meletakkannya di
makam. Keharuman dupa menyebar di sekitat kami. Lilin menyala dengan tenang
karena tidak ada hembusan angin, tapi cahayanya hampir tak terlihat karena matahari
bersinar terang. Lord Shigeru mengeluarkan dua benda dari balik lengan bajunya—
sebuah batu kecil yang berasal dari pantai di Hagi, dan boneka kuda yang terbuat dari
jerami seperti yang sering anak-anak mainkan—lalu dia letakkan di makam Takeshi.
Aku teringat tangisan Shigeru di malam saat pertama kali aku bertemu dengannya.
Kini aku bisa mengerti kesedihannya, tapi kini kami tak lagi menangis.
Setelah beberapa saat, biarawan tua itu bangkit, dan menyentuh bahu Shigeru, lalu
kami mengikutinya ke bangunan utama biara. Bangunan ini dibangun dari pohon
cemara dan pohon cedar, warnanya abu-abu kusam karena sudah termakan waktu.
Ukuran bangunan ini tidak besar, tapi aula utamanya dirancang dengan sempurna
sehingga menciptakan kesan lega, dan pandangan akan terpusat ke Sang Pencerah yang
tampak melayang di antara cahaya lilin seakan dia berada di Surga.
Kami melepas sandal dan melangkah masuk ke aula. Kembali, si biarawan muda
membawa dupa, lalu kami tusukkan dupa itu di tempat yang telah disediakan, di dekat
kaki patung yang berwarna keemasan. Sambil duduk dengan bertumpu pada salah satu
lutut, biarawan itu mulai melantunkan doa bagi para arwah.
Ruangannya suram, dan mataku silau oleh cahaya ilin, aku mendengar napas




166
penghuni lainnya di biara ini, dari balik altar, dan saat mataku mulai bisa menyesuaikan
dengan kegelapan, aku melihat banyak biarawan sedang bermeditasi. Aula ini jauh
lebih besar dari yang kuduga, dan di tempat ini ada banyak sekali biarawan, ratusan.
Meskipun besar di kaum Hidden, tapi hanya sekali ibu membawaku ke kuil dan
biara di wilayah kami, dan aku tidak tahu banyak tentang ajaran Sang Pencerah. Aku
tahu, seperti yang pernah diajarkan, bahwa pada saat berdoa, wajah dan suara biarawan
terlihat sama. Kedamaian di tempat ini menusuk jiwaku. Apa yang sedang kulakukan
di sini, seorang pembunuh dengan hati yang penuh dendam?
Setelah upacara ritual selesai, kami kembali bergabung dengan Kenji yang sedang
terlibat pembicaraan yang serius tentang seni dan agama dengan pengawal Tohan.
"Kami membawa hadiah untuk kepala biara," kata Lord Shigeru seraya meraih
kotak kayu yang kutitipkan pada Kenji.
Secercah sinar muncul di mata biarawan tua itu. "Akan kuantarkan padanya."
"Pengawal ini ingin melihat lukisan yang ada di sini," kata Kenji.
"Makoto akan menunjukkan jalannya. Mari ikut denganku, Lord Otori."
Si pengawal Tohan segera menoleh ke belakang, ke Lord Shigeru dan biarawan tua
yang menghilang di balik altar. Dia seperti ingin mengikuti mereka, tapi Makoto
menghalangi jalan tanpa memberi kesan mengancam.
"Sebelah sini, anak muda!"
Dengan langkah yang hati-hati Makoto memandu kami keluar biara dan
menyusuri sebuah jalan lebar ke arah aula yang lebih kecil.
"Pelukis besar Sesshu pernah tinggal di sini selama sepuluh tahun," dia
menceritakan. "Dia juga yang merancang taman dan melukis pemandangan dan
burung. Lukisan di kasa pintu ini merupakan karyanya."
"Ini baru namanya karya seni," kata Kenji dengan nada menggurui.
"Ya, guru," balasku. Aku tidak perlu berpura-pura merendahkan diri karena aku
memang sangat terkesan pada lukisan yang ada di depanku. Lukisan kuda hitam dan
beberapa bangau putih ini seolah-olah ditangkap dan dibekukan dalam sekejap oleh




167
kemampuan sang pelukis yang menakjubkan. Setiap kata yang diucapkan terasa seperti
merusak lukisan ini, akan membuat kudanya lari, dan bangaunya terbang. Sang pelukis
berhasil melakukan apa yang ingin kulakukan: menangkap sang waktu dan
membuatnya berhenti.
Tidak terlihat lukisan di kasa jendela yang paling dekat dengan pintu. Kutatap
tajam jendela itu karena aku yakin pasti sebelumnya ada lukisan di jendela itu. Makoto
berkata, "Memang ada lukisan burung di situ. Menurut legenda, lukisan burung itu
begitu nyata sehingga burung itu akhirnya terbang."
"Lihatlah, kau masih harus belajar banyak," kata Kenji padaku. Kurasa Kenji terlalu
berlebihan, namun si pengawal Tohan melemparkan pandangan merendahkan ke
arahku, setelah melihat lukisan-lukisan itu secara sambil lalu. Dia kemudian berjalan
keluar dan duduk di bawah pohon.
Aku mengeluarkan tinta, dan Makoto memberiku air. Kusiapkan tinta lalu
kubentangkan kertas. Aku ingin meniru goresan sang pelukis besar ini sambil berharap
agar kemampuan seninya pindah kepadaku.
Cuaca sore semakin panas, cahayanya menyilaukan, apalagi nyanyian jangkrik yang
bersemangat. Udara di aula lebih dingin. Waktu berjalan begitu lambat. Aku
mendengar tarikan napas si pemuda Tohan yang sedang tertidur pulas.
"Taman ini juga karya Sesshu," kata Makoto. Lalu dia dan Kenji duduk di lantai
membelakangiku. Mereka menatap bebatuan dan pepohonan. Di kejauhan, air terjun
bergemuruh, dan dua ekor burung merpati saling bersahutan. Kenji selalu memberi
pendapat atau bertanya soal taman, dan Makoto menjawabnya. Lama-kelamaan
percakapan mereka tidak berujung pangkal dan akhirnya mereka terlihat mengantuk.
Hanya ditemani tinta, kertas, dan lukisan yang luar biasa ini, membuat aku bisa
berkonsentrasi dan kesadaranku tercabut mirip seperti perasaanku yang datang tadi
malam. Aku dalam keadaan setengah sadar. Hal ini membuatku agak sedih karena
ternyata keahlian yang Tribe miliki juga ada dalam bidang seni. Ada keinginan kuat
dalam diriku untuk tinggal di tempat ini selama sepuluh tahun, seperti yang dilakukan


168
si pelukis besar Sesshu, dan aku pun ingin selalu melukis hingga hasil lukisanku bisa
hidup dan terbang jauh.
Karena merasa tidak puas dengan hasil tiruanku, aku lalu melukis burung bersayap
putih yang sedang terbang.
Aku menyatu dengan lukisanku, meski aku masih dapat mendengar pembicaraan
Lord Shigeru dengan biarawan tua itu. Aku tidak serius mendengarkan pembicaraan
mereka: Kurasa dia sedang mencari nasihat spiritual, sesuatu yang pribadi. Tapi
pembicaraan mereka jatuh tepat ke telingaku, dan lambat-laun menjadi jelas kalau
pembicaraan mereka sangat berbeda dari apa yang kuduga. Mereka membahas
pungutan pajak yang baru diberlakukan, kebebasan yang terbatas, rencana Iida untuk
menghancurkan biara, pelatihan ribuan biarawan untuk menjadi prajurit, dan
keinginan untuk mengambil alih kekuasaan Tohan atas kota ini.
Aku menyeringai sambil menyesali diri. Pendapatku tentang biara sebagai tempat
yang damai, dan jauh dari perang, ternyata salah. Para biarawan di sini tidak berbeda
dengan kami, sama-sama telah dirasuki dendam.
Aku melukis lagi satu lukisan tiruan kuda, dan merasa lebih puas dengan hasil
karyaku yang satu ini. Aku menangkap satu kekuatan membara di tempat ini. Roh
Sesshu seakan menyentuhku.
Kemudian aku mendengar suara lain yang membuat jantungku berdebar, suara
Kaede. Para wanita dan Abe sedang mendaki anak tangga di gerbang kedua.
Aku berbisik kepada Kenji, "Ada yang datang."
Makoto langsung berdiri dan menggeser alas duduknya dengan perlahan. Tak lama
kemudian, biarawan tua dan Lord Shigeru berjalan ke aula, tempat aku menyelesaikan
tiruan lukisan kuda.
"Ah, ternyata Sesshu berbicara padamu!" kata biarawan tua seraya tersenyum.
Aku berikan lukisanku pada Shigeru. Dia duduk sambil menatap lukisanku ketika
Lady Maruyama, Kaede dan Abe datang bergabung. Si pengawal Tohan segera bangkit
dan berpura-pura kalau dia tadi tidak tidur. Pembicaraan lalu beralih hanya soal lukisan




169
dan taman. Lady Maruyama meneruskan usahanya untuk memberi perhatian khusus
pada Abe, dia bertanya dan memuji sampai Abe tertarik dengan topik pembicaraannya.
Kaede menatap lukisan burung yang kubuat. "Boleh aku memilikinya?" pintanya.
"Boleh saja bila kau menyukainya, Lady Shirakawa," jawabku. "Aku khawatir
lukisanku ini tidak ada yang mau."
"Lukisanmu sangat bagus," katanya dengan suara rendah. "Membuat aku berpikir
tentang kebebasan."
Tinta lukisan cepat mengering karena cuaca yang panas. Aku gulung lukisan
burung itu lalu kuberikan padanya, jariku menyentuh jarinya. Inilah pertama kalinya
kami bersentuhan. Kami terdiam. Nyanyian jangkrik melengking tinggi. Aku lelah.
Aku pusing karena kurang tidur dan terbawa emosi yang mendalam. Jariku seperti
kehilangan keseimbangan dan gemetar saat aku merapikan alat lukis.
"Mari kita jalan jalan di taman," ajak Shigeru, dan memboyong para wanita ke luar.
Aku merasa kalau biarawan tua itu sedang menatapku.
"Datang lagi kemari," katanya, "Saat semuanya telah berakhir. Akan selalu ada
tempat bagimu di sini."
Aku memikirkan semua kekacauan, dan biara ini nampak berubah, keinginan
berperang telah merasuki biara ini. Sesungguhnya tempat ini penuh kedamaian:
pohon-pohon berdiri tenang selama ratusan tahun, Sang Pencerah duduk di antara lilin
dengan tersenyum tulus. Tapi, bahkan di tempat damai ini pun, orang pencinta damai
sedang bersiap untuk berperang. Aku tak akan pernah bisa menyendiri untuk melukis
dan merancang taman sebelum Iida mati.
"Akankan ini berakhir?" balasku.
"Semua yang berawal, pasti akan berakhir," ujarnya. Aku menyembah di depan
orang tua ini, dan dia menyentuh kepalaku dengan kedua tangannya sambil memberi
pemberkatan.
Makoto berjalan ke taman bersamaku. Dia menatapku dengan tatapan yang aneh.
"Seberapa banyak yang kaudengar?" dia bertanya perlahan.




170
Aku melihat ke sekelilingku. Pengawal Tohan sedang bersama Shigeru di puncak
anak tangga. "Kau bisa mendengar pembicaraan mereka?"
Dia mengira-ngira jaraknya, lalu berkata, "Bila mereka berteriak."
"Aku mendengar setiap kata-kata mereka. Mereka sedang makan di bawah sana.
Aku bisa mengatakan jumlahnya."
Kemudian, aku terkejut karena suara-suara itu terdengar sangat riuh.
Makoto tertawa singkat, kagum dan juga memuji. "Seperti pendengaran anjing?"
"Ya, seperti anjing," ulangku.
"Sangat berguna bagi tuanmu."
Perkataannya mengusik hatiku. Aku memang berguna bagi tuanku: bagi Shigeru,
Kenji, dan Tribe. Aku terlahir dengan bakat yang kelam. Aku tidak pernah
memintanya, tapi aku tak mampu menahan diri untuk tidak menguji atau
mengasahnya. Tanpa itu semua, aku pasti sudah mati. Dengan bakat ini pula aku
ditarik ke dunia yang penuh dengan kebohongan, kesuraman dan dendam. Aku
bertanya-tanya, seberapa banyak yang Makoto tahu, dan berharap aku bisa membagi
perasaanku dengannya. Secara naluri, aku menyukainya—lebih dari sekedar suka: aku
mempercayainya. Sayang, bayangan berangsur-angsur memanjang: hari telah senja.
Kami harus segera ke Yamagata sebelum malam. Tak ada waktu lagi untuk berbincang
dengannya.
Ketika menuruni anak tangga, aku melihat kerumunan orang, mereka berkumpul
di luar penginapan.
"Mereka kemari untuk merayakan Festival of the Dead?" tanyaku pada Makoto.
"Sebagian," jawabnya, lalu dia berbisik kepadaku, "Tapi, sebagian besar mereka
datang karena mendengar Lord Otori ada di sini. Mereka belum lupa keadaain
sebelum perang Yaegahara. Begitu juga kami di sini."
"Selamat tinggal," kata Makoto sewaktu aku menunggangi Raku. "Kita akan
berjumpa lagi."
Di jalan setapak maupun di jalan besar, keadaan sama seperti biasa. Banyak orang


171
yang keluar rumah dan tampaknya mereka ingin melihat Lord Shigeru secara langsung.
Sewaktu kami lewat, mereka langsung menyembah dengan hening. Mereka mengiringi
kepergian kami dengan tatapan sedih, mata mereka tampak berkaca-kaca.
Kedua pengawal Tohan sangat marah, tapi tidak ada yang dapat mereka lakukan.
Meskipun mereka berkuda jauh di depan, tetap saja aku bisa mendengar percakapan
berbisik mereka, seakan-akan kata-kata itu menetes ke telingaku.
"Apa yang Shigeru lakukan di biara?" tanya Abe.
"Sembahyang, berbicara dengan biarawan. Kami diperlihatkan beberapa karya
Sesshu, anak itu pun sempat membuat beberapa lukisannya."
"Aku tidak peduli apa yang dilakukan anak itu! Apakah Shigeru hanya berdua
dengan biarawan?"
"Tidak lama," pengawal Tohan itu berbohong.
Kuda tunggangan Abe meloncat. Dia pasti telah menyentak tali kekang dengan
sangat marah.
"Shigeru tidak merencanakan apa pun," kata pemuda Tohan itu dengan suara
mengambang. "Semuanya terjadi seperti apa yang terlihat. Lagi pula, dia kan hendak
menikah. Aku tidak melihat alasan mengapa kau cemas. Mereka tidak berbahaya.
Mereka itu bodoh juga penakut—dan tak berbahaya."
"Kau bodoh bila menganggap seperti itu," geram Abe. "Shigeru jauh lebih
berbahaya dari yang terlihat. Dia bukan penakut. Dia memiliki kesabaran. Dan tak
seorang pun di Tiga Wilayah ini yang memiliki pengaruh seperti dia!"
Sejenak mereka membisu, lalu Abe menggerutu, "Begitu melihat tanda-tanda dia
berkhianat, kita langsung bertindak."
Kata-kata Abe berhembus ke telingaku di sore hari, di musim panas yang
sempurna ini. Ketika sampai di sungai, hari menjelang senja, cahaya biru bersinar dari
kunang-kunang di sela-sela ilalang. Di tepi sungai, kembang api mulai dinyalakan
untuk memperingati malam kedua Festival of the Dead. Malam sebelumnya penuh
dengan kedukaan dan ketegangan, dan malam ini suasana kian liar. Seperti arus




172
terpendam yang bergejolak dan marah. Jalanan penuh sesak, kerumunan semakin
banyak di tepi sungai. Semua orang berdiri menatap pintu gerbang kastil.
Ketika melewati gerbang kastil, kami melihat ada empat kepala yang digantung di
gerbang. Keranjang untuk mengurung orang Hidden telah diturunkan dari dinding.
"Mereka mati begitu cepat," kata Lord Shigeru. "Mereka sangat beruntung."
Aku tak membalas ucapannya. Aku sedang memperhatikan Lady Maruyama.
Sekilas dia menatap kepala-kepala itu, namun segera berpaling ke tempat lain.
Wajahnya pucat, walaupun tetap tenang. Aku bertanya, tanya apa yang ada di
benaknya bila dia sedang berdoa.
Kerumunan mulai gaduh dan mereka saling mendorong seperti hewan-hewan yang
sedih di tempat pemotongan, ketakutan pada bau darah dan kematian.
"Jalan saja terus," kata Kenji. "Aku akan mencarl tahu rumor tentang peristiwa ini.
Kita bertemu di penginapan. Kalian tetap di kamar." Dia memanggil salah seorang
penjaga kuda, lalu dia turun dari kuda dan memberikan tali kekangnya pada orang itu,
kemudian menghilang di balik kerumunan.
Saat kami berbelok ke jalan lurus yang pernah aku lalui semalam, sekelompok
pasukan Tohan yang berkuda dan membawa pedang mendatangi rombongan kami.
"Lord Abe!" salah seorang di antara mereka memanggil. "Kami hendak
mengosongkan jalan. Kota dalarn keadaan kacau. Bawa tamu ke penginapan dan perintahkan
beberapa orang untuk berjaga-jaga di pintu."
"Ada apa?" tanya Abe, menuntut penjelasan.
"Semua penjahat mati semalam. Beberapa orang mengatakan ada malaikat datang
dan mencabut nyawa mereka!"
"Kehadiran Lord Otori tak akan mampu membantu dalam situasi seperti ini," kata
Abe tajam saat dia menggiring kami ke penginapan. "Kita berangkat besok."
"Festival belum berakhir," Shigeru mengingatkan. "Bepergian di hari ketiga hanya
akan membawa sial."
"Apa boleh buat! Bila ditunda justru akan lebih buruk." Abe menarik pedangnya




173
dan kini pedang itu berdesis di udara saat dia berusaha mengibasnya ke kerumunan.
"Menyingkir!" teriaknya.
Keributan membuat Raku meloncat maju, dan tanpa disengaja lututku bersentuhan
dengan lutut Kaede. Kuda kami berjalan bersisian seakan mereka saling memberi
semangat. Mereka melangkah secara bersamaan.
Sambil terus menatap ke depan, Kaede berbicara dengan suara pelan sehingga tak
akan ada yang bisa mendengar dalam keriuhan ini, selain aku, "Kuharap kita bisa
berdua saja. Aku ingin lebih mengenalmu. Aku bahkan tidak tahu siapa kau
sebenarnya. Kenapa kau berpura-pura bodoh? Kenapa kau menyembunyikan kecerdasanmu?"
Aku sangat senang bila dapat berkuda beriringan dengan Kaede untuk selamanya,
hanya saja jalan ini terlalu sempit, dan aku juga takut menjawab pertanyaannya. Aku
menghentakkan tali kekang kuda agar berjalan lebih cepat, seolah-olah tidak
mengenalinya, meskipun jantungku berdebar keras mendengar perkataannya. Situasi
seperti inilah yang kuimpikan, berduaan dengannya. Ingin kuungkapkan isi hatiku, dan
ingin rasanya kulepaskan semua rahasia dan kebohongan yang ada, lalu berbaring di
sisinya, kulitku bersentuhan dengan kulitnya.
Mungkinkah ini terjadi? Andai saja Iida mati.
Ketika tiba di penginapan, aku mencari penjaga kuda. Pengawal Otori yang
berjaga-jaga di belakang penginapan menyapaku dengan lega. Mereka mencemas kan
keselamatan kami.
"Kota ini sedang bergejolak," kata salah seorang di antara mereka. "Satu orang saja
salah bergerak, perkelahian pasti terjadi."
"Apa yang kaudengar?" tanyaku.
"Tentang orang Hidden yang disiksa para bajingan itu. Ada yang membunuh
mereka semalam. Luar biasa! Banyak yang mengatakan bahwa malaikat yang melakukan
itu!"
"Mereka tahu kedatangan Lord Otori," tambah yang lain. "Mereka masih




174
menganggap diri mereka sebagai penduduk Otori. Kurasa mereka sudah muak dengan
perilaku orang Tohan."
"Kita bisa menguasai kota ini seandainya kita ada seratus orang," gerutu pengawal
yang tadi menyapaku.
"Jangan bicara soal ini lagi. Tidak pada dirimu, atau kepadaku," aku
memperingatkan mereka. "Kita tidak punya seratus pasukan. Kini kita dalam belas
kasih Tohan. Kita seharusnya yang menjadi perekat persekutuan. Kita harus terlihat
seperti sekutu mereka. Nyawa Lord Shigeru adalah taruhannya."
Mereka masih menggerutu sambil menurunkan pelana, lalu memberi makan kuda.
Aku merasakan semangat mereka yang membara, semangat untuk segera menuntaskan
semua penghinaan dan untuk membalas dendam.
"Jika ada di antara kalian yang menghunuskan pedang pada orang Tohan,
nyawanya menjadi urusanku!"
Mereka tidak terkesan pada perkataanku. Mungkin mereka tahu tentang diriku
lebih banyak dibanding Abe dan anak buahnya, tapi tetap saja mereka menganggap aku
Takeo muda yang terpelajar, gemar melukis, tak cakap menggunakan pedang, terlalu
baik hati, dan terlalu lembut. Anggapan bahwa aku dapat membunuh hanya akan
membuat mereka menyeringai.
Aku mencemaskan kecerobohan mereka. Seandainya terjadi perkelahian, maka
pengawal Tohan pasti akan memanfaatkannya untuk menuduh bahwa Lord Shigeru
berkhianat. Tak seorang pun boleh menghalangi kami pergi ke Inuyama.
Setelah meninggalkan istal, kepalaku terasa sakit yang menusuk. Seperti tidak tidur
berminggu-minggu. Aku pergi ke tempat permandian. Gadis pelayan yang tadi pagi
membawakan aku teh dan hendak mencuci pakaianku sedang di sana. Dia menggosok
punggungku dan memijat pelipisku. Gadis itu pergi ketika aku berendam di air panas,
tapi sebelum pergi dia berbisik, "Kau melakukannya dengan sangat bagus."
Semula aku hampir tertidur, namun perkataannya membuatku langsung terbangun.
"Melakukan apa?" tanyaku, tapi dia telah menghilang. Merasa tidak tenang, aku




175
langsung ke luar dari bak mandi dan balik ke kamar, sakit kepala masih terasa
menusuk.
Kenji sudah datang. Aku dengar dia sedang berbincang pelan dengan Shigeru.
Mereka terdiam saat aku datang, keduanya menatapku. Dari wajah mereka aku sadar
kalau mereka sudah tahu yang sebenarnya.
Kenji bertanya, "Bagaimana?"
Kupasang telingaku. Penginapan ini sunyi-senyap, para pengawal Tohan masih di
jalan. Lalu aku berkata lirih, "Dua orang dengan racun, satu dengan garrotte, satu lagi
dengan tanganku."
Kenji menggeleng-gelengkan kepala. "Sulit dipercaya. Di balik dinding kastil?
Hanya sendiri?"
"Aku tidak mengingatnya. Kupikir kau akan marah," jawabku.
"Aku marah," jawabnya. "Lebih dari marah—aku berang karena perbuatan idiotmu
itu. Seharusnya kau dikubur hidup-hidup sekarang ini juga demi menegakkan aturan."
Aku memasang badan untuk menerima pukulannya. Namun ternyata dia tidak
memukulku, dia bahkan memelukku. "Aku bangga padamu," katanya. "Aku takut
kehilangan dirimu."
"Tidak kusangka kau mampu melakukan itu," kata Shigeru. .
Tampaknya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum, "Akhirnya rencana
kita akan berhasil!"
"Orang-orang mengatakan bahwa yang melakukan itu pastilah Shintaro," kata
Kenji, "Walaupun tidak ada orang yang tahu siapa yang menyuruhnya atau apa
alasannya."
"Shintaro sudah mati," kataku.
"Tak banyak orang yang tahu tentang itu. Lagi pula, banyak yang berpendapat
bahwa pembunuhnya adalah roh dari surga."
"Ada orang yang melihatku, dia adalah saudara dari orang yang mati itu. Dia
sempat melihat sosokku yang kedua, dan pada saat sosok keduaku menghilang, dia




176
mengira aku malaikat."
"Orang itu tidak tahu dirimu sebenarnya. Kejadiannya di saat gelap, dia tak
melihatmu dengan jelas. Dia benar-benar mengira kau adalah malaikat."
"Mengapa kau lakukan itu, Takeo?" tanya Lord Shigeru. "Mengapa kau ambil
resiko?"
Lagi-lagi, aku tak ingat. "Aku tidak tahu, aku hanya tidak bisa tidur...."
"Itu karena kelembutan hatinya," kata Kenji. "Dia lakukan itu karena rasa kasihan."
"Ada seorang gadis di penginapan ini," kataku, "Sepertinya dia tahu sesuatu. Tadi
pagi dia mengambil pakaianku yang basah, dan baru saja dia mengatakan..."
"Gadis itu orang kita," Kenji menyela, dan segera saja aku sadar kalau gadis itu
adalah anggota Tribe. "Tentu saja Tribe sudah curiga. Mereka tahu cara Shintaro mati.
Mereka tahu kau ada di sini bersama Lord Shigeru. Tak ada yang percaya kau
bertindak tanpa ketahuan, namun Tribe tahu bahwa tidak ada orang lain yang mampu
melakukan itu."
"Bisakah ini dirahasiakan?" tanya Shigeru.
"Tidak akan ada orang yang menyerahkan Takeo pada Tohan, jika itu maksudmu.
Orang-orang Tohan juga tidak mencurigaimu. Kau sungguh pintar berpura-pura," kata
Kenji padaku. "Bahkan, hingga hari ini, aku masih menganggapmu dungu."
Shigeru kembali tersenyum. Kenji terus berbicara, nada suaranya yang santai
terdengar seperti dibuat-buat.
"Hanya saja, Shigeru, aku tahu rencanamu; aku tahu Takeo setuju membantumu
untuk membunuh mereka. Tapi setelah itu, aku tak yakin Tribe akan mengijinkan
Takeo bersamamu lebih lama lagi. Mereka pasti akan datang menjemput Takeo."
"Kita hanya butuh waktu seminggu lagi," ujar Shigeru lirih.
Aku merasakan kegelapan menjalar di tubuhku seperti tinta hitam yang
membasahi nadiku. Aku menatap Lord Shigeru—tindakan yang jarang sekali
kulakukan. Kemudian kami berdua pun tersenyum. Belum pernah kami sedekat ini,
bahkan di saat kami berdua sepakat untuk membunuh Iida beberapa waktu lalu.




177
Di luar sana aku mendengar teriakan, tangisan, langkah orang yang berlari, derap
kuda, percikan api, kegaduhan, dan jeritan. Pasukan Tohan sedang mengosongkan
jalan, memberlakukan jam malam. Tak lama kemudian, kegaduhan mulai reda dan
malam di musim semi ini kembali tenang. Bulan mulai menampakkan diri, menyinari
kota dengan cahayanya. Aku mendengar derap kaki kuda masuk ke halaman
penginapan, dan juga suara Abe. Disusul langkah halus pelayan yang mendekati pintu
sambil membawa nampan berisi hidangan makan malam. Salah seorang di antara
mereka adalah gadis yang tadi berbicara padaku. Dia tetap melayani kami setelah
pelayan yang lain keluar. Dia berkata pelan pada Kenji, "Lord Abe sudah kembali,
tuan. Akan ada tambahan penjagaan. Pengawal Otori akan diganti dengan pengawal
Tohan."
"Mereka pasti tak akan menyukainya," kataku, teringat kegelisahan para pengawal
Otori tadi.
"Ini provokatif," gerutu Shigeru. "Apakah mereka mencurigai kita?"
"Lord Abe marah dan panik karena kekerasan yang terjadi di kota malam ini,"
jawab gadis itu. "Menurutnya, ini semua untuk melindungimu."
"Bersediakah kau sampaikan pada Lord Abe untuk menemuiku dulu?"
Gadis itu membungkuk lalu pergi. Kami makan dalam suasana hening. Setelah
selesai makan, Shigeru berbicara tentang lukisan Sesshu. Dia membentangkan
gulungan kertas berisikan lukisan kuda yang kubuat. "Lukisan ini bagus," ujarnya.
"Tiruan yang sangat mirip. Sesuatu dalam dirimu tercermin dalam lukisan ini. Kau bisa
menjadi seniman yang hebat..."
Dia tidak melanjutkan, tapi aku juga memikirkan hal yang sama, Andaikan aku
hidup di dunia yang berbeda, dalam kehidupan yang berbeda, di wilayah yang tidak dikuasai
oleh nafsu perang.
"Taman di biara amat indah" kata Kenji. "Meskipun tidak luas, namun lebih
mempesona dibanding lukisan Sesshu."
"Aku setuju," kata Lord Shigeru. "Tentu saja, apalagi ditambah dengan




178
pemandangan Terayama yang begitu indah."
Aku mendengar langkah Abe mendekat. Ketika pintu terbuka, aku langsung
mengalihkan pembicaraan, "Maukah kau jelaskan tentang penempatan batu-batu di
biara tadi, guru."
"Lord Abe," sapa Shigeru. "Silahkan masuk." Dia lalu memanggil pelayan,
"Bawakan kami teh segar dan sake."
Abe membungkuk acuh tak acuh dan bersila di atas alas duduk. "Aku tak akan
lama; aku pun belum makan, dan kita harus berangkat pagi sekali."
"Kami sedang membicarakan tentang Sesshu," ujar Shigeru. Sake telah
dihidangkan, dan Shigeru pun menuangkan sake ke cangkir Abe.
"Dia seniman besar," kata Abe sepakat sambil minum sake. "Tapi di saat genting
seperti ini, seniman tak begitu penting dibanding prajurit." Dia memberi tatapan
mengejek ke arahku. Ini membuatku bertambah yakin penyamaranku masih aman.
"Kini kota sudah tenang, tapi situasinya masih berbahaya. Kurasa anak buahku bisa
melindungi kalian dengan lebih baik."
"Prajurit memang sangat diperlukan," ujar Shigeru. "Itu sebabnya aku lebih suka
bila pengawalku yang berada di dekatku."
Suasana menjadi hening, perbedaan mereka berdua amat mencolok. Abe hanyalah
seorang bangsawan biasa. Sedangkan Shigeru adalah keturunan langsung dari klan
yang telah berkuasa sejak lama. Walaupun enggan, tapi akhirnya Abe pasti akan
menyetujuinya.
Abe menekan keras bibir bawahnya. "Bila itu kehendak Lord Otori..." akhirnya dia
pun menyerah.
"Tentu saja." Shigeru tersenyum tipis dan menuangkan lebih banyak sake.
Setelah Abe pergi, Lord Shigeru berkata, "Takeo dan pengawal berjaga-jaga
malam ini. Beri kesan bahwa di luar sana ada gangguan. Aku sebenarnya setuju untuk
mengalihkan penjagaan pada Abe, sebagai hukuman bagi pengawal Otori. Hanya saja,
aku takut mereka memberontak terlalu dini. Tujuan kita sudah begitu dekat."




179
Hanya itu yang kupikirkan, bukan perkataan Kenji bahwa Tribe akan menuntut
haknya atas diriku. Aku hanya memusatkan perhatian pada Iida Sadamu yang berada
di Inuyama. Akan aku buru dia dengan melintasi nightingale floor. Dan akan kubunuh
dia. Dengan memikirkan Kaede, tekadku justru makin bulat. Aku tak perlu sepintar
Ichiro untuk mengetahui bahwa kalau Iida mati sebelum pernikahan, maka Kaede
bebas menikah denganku.*




180
KEESOKAN hari kami bangun pagi-pagi dan sudah memulai perjalanan saat fajar
menyingsing. Cuaca berawan hari kemarin lenyap tanpa bekas; hari ini cuaca gerah dan
panas.
Penduduk dilarang berkumpul, pasukan Tohan pun memaksakan aturan dengan
pedang. Mereka menebas mati seorang pemulung karena berani berhenti dan memandangi
iring-iringan kami. Mereka juga memukul seorang wanita tua yang tidak
segera menyingkir dari jalan.
Sudah cukup kesialan bagi kami karena melakukan perjalanan pada hari ketiga
Festival of the Dead. Tindakan pasukan Tohan yang kejam dan dinodai darah kematian
tampak menambah pertanda buruk perjalanan kami ini.
Rombongan wanita dibawa dalam tandu sehingga aku sulit melihat Kaede hingga
waktu makan siang. Aku tidak sempat berbicara dengannya, namun aku kaget ketika
melihatnya. Dia begitu pucat, kulitnya tembus pandang, dan ada lingkaran hitam di
sekitar matanya. Hatiku bagai terpilin melihatnya. Semakin lemah dia, semakin tinggi
cintaku.
Lord Shigeru menyatakan pada Shizuka tentang keprihatinannya melihat kondisi
Kaede yang kian lemah. Shizuka mengatakan bahwa gerakan tandu yang memhuat
Kaede tidak nyaman—hanya itu saja—tapi matanya mengedip kepadaku, aku tahu
pesan yang ingin dia sampaikan.
Rombongan kami berjalan dalam keheningan, semua orang sibuk dengan
pikirannya masing-masing. Para pengawal terlihat tegang dan lekas marah. Panas



181
terasa menyengat. Hanya Lord Shigeru yang tenang, bicaranya ringan dan riang,
seakan-akan dia sangat mendambakan pernikahan ini.
Semakin jauh ke timur, semakin sedikit kerusakan akibat badai. Kondisi jalan kian
membaik saat kami mendekati ibukota, dan setiap hari kami menempuh jarak yang
lebih jauh lagi. Pada sore hari kelima, kami akhirnya tiba di Inuyama.
Iida menetapkan kota di daerah timur ini sebagai ibukota setelah perang
Yaegahara, dan membangun sebuah kastil yang kokoh. Kastil ini mendominasi kota
dengan dindingnya yang berwarna hitam dan celah dinding yang bernuansa putih,
atapnya menjulang tinggi hingga seperti menyentuh langit. Saat berkuda ke kastil, aku
mengamati bangunan kastil, mengukur tinggi pintu gerbang dan dinding, mencari
tempat pijakan kaki di permukaan pintu dan dinding... di situ aku akan menghilangkan
diri, di situ aku perlu menggunakan pengait besi...
Aku tidak membayangkan kalau kota ini begitu luas sehingga perlu banyak
pengawal untuk menjaga kastil dan bangunan di sekitar kastil.
Abe memperlambat jalan kudanya sehingga sejajar denganku, akulah korban yang
paling dia sukai. Dia tidak segan mengolok-olok atau mengejekku. "Ini yang namanya
kekuatan, anak muda. Ini dapat kau peroleh bila menjadi ksatria. Ini membuat lukisan
dan kuasmu terlihat sangat lemah, eh?"
Aku tidak keberatan pada anggapan Abe, selama dia tidak mencurigaiku. "Inilah
kastil paling mengesankan yang pernah kulihat, Lord Abe. Aku berharap dapat
mempelajari bangunan ini lebih dekat, termasuk arsitektur dan karya seninya."
"Kuyakin 'keinginanmu bisa terkabul," ucapnya, dia terlihat cukup siap untuk
berlagak seperti pelindung karena dia telah kembali dengan aman di kotanya.
"Nama Sesshu masih hidup hingga kini," aku menjelaskan, "Sedangkan semua
ksatria yang hidup di masanya telah dilupakan."
Abe tertawa, "Tapi kau bukan Sesshu, kan?"
Perkataannya membuatku kesal, tapi tanpa perlawanan aku menyetujuinya. Dia
tidak mengetahui diriku yang sebenarnya, hanya itu yang membuatku tenang.




182
Kami diantar ke sebuah rumah yang letaknya tidak jauh dari parit yang
mengelilingi kastil. Rumah yang sangat megah. Banyaknya pernak-pernik
menunjukkan kesungguhan Iida untuk merayakan pesta pernikahan Shigeru dan
niatnya untuk bersekutu dengan Otori. Berbeda dengan kami, rombongan wanita
dibawa ke rumah Iida yang terletak di dalam kastil. Anak Lady Maruyama juga tinggal
di tempat itu.
Aku tidak bertemu Kaede lagi, tapi saat di tandu, dia membiarkan tangannya
terlihat sejenak dari balik tirai tandu. Ia memegang gulungan kertas yang aku berikan,
lukisan burung kecil yang menurutnya bisa membuat dia memikirkan tentang
kebebasan.
Gerimis di sore hari mulai turun, menyamarkan garis siluet bangunan kastil,
membuat atap dan jalan yang berbatu nampak berkilauan. Dua angsa terbang dengan
kepakan sayap yang teratur, lalu hilang dari pandangan, tapi masih dapat kudengar
teriakan sedih mereka.
Abe datang ke tempat kami menginap dengan membawa hadiah pernikahan dan
pesan selamat datang yang dibumbui puja-puji dari Iida. Aku lantas mengingatkan Abe
akan janjinya untuk menunjukkan kastil, kuganggu dia dan aku ingatkan tentang olokoloknya
tadi siang sampai akhirnya dia setuju untuk memenuhi janjinya esok hari.
Aku dan Kenji mengikuti Abe keesokan harinya, dan dengan penuh perhatian aku
mendengar dan menggambar. Abe, yang mulai jemu, menyuruh salah seorang
pengawalnya untuk menemani kami berkeliling kastil. Selagi menggambar pohon,
taman, dan berbagai pemandangan lain, aku mengamati kastil ini, memperhitungkan
jarak antara gerbang utama dan gerbang kedua (mereka menyebutnya Gerbang Intan),
dari Gerbang Intan ke bailey dalam, dan dari bailey ke rumah Iida. Sungai mengalir di
sepanjang sisi sebelah timur; keempat sisi kastil dikelilingi parit. Sambil menggambar,
aku mendengarkan dan mengira-ngira posisi pengawal, yang terlihat dan yang
tersembunyi, serta menghitung jumlah mereka.
Kastil ini penuh dengan berbagai jenis orang: pasukan perang dan penjaga, pandai




183
besi, pembuat panah dan baju besi, beberapa pengurus kuda, juru masak, dan segala
macam pelayan. Aku ingin tahu ke mana mereka pergi bila hari telah malam.
Pengawal yang menemani kami lebih banyak bicara dibanding Abe, dia sangat
membanggakan Iida, dan dengan lugti dia terkesan pada hasil lukisanku. Kulukis sketsa
dirinya dengan cepat, lalu kuberikan kepadanya. Akhir-akhir ini aku sudah dapat
melukis orang, dan pengawal itu memegang lukisan itu seperti dia sedang memegang
jimat. Setelah itu dia menunjukkan lebih banyak dari yang seharusnya dia tunjukkan,
termasuk ruangan rahasia yang menjadi pos penjaga, jendela pengintai, dan juga rute
yang dilalui oleh penjaga yang berpatroli di malam hari.
Kenji tidak banyak bicara, selain sesekali mengkritik lukisanku dan membetulkan
goresan kuasku. Aku bertanya-tanya apakah dia akan menemaniku ke kastil ini nanti.
Aku sempat merasa tak ada yang dapat kulakukan tanpa dia, tapi kemudian aku sadar
akan keinginanku untuk melakukannya sendiri saja.
Sesampai di menara utama, pengawal Tohan itu mengajak kami masuk. Kami
diperkenalkan pada pimpinan penjaga, dan diijinkan naik melalui anak tangga kayu
yang curam ke lantai yang paling atas. Pilar-pilar kokoh yang menyangga menara
utama ini tingginya kira-kira dua puluh satu meter. Semua pilar di sini ibarat pohon
yang ada di hutan, sungguh tinggi pucuk pohon ini, dan betapa gelap bila berada di
bawahnya. Balok-balok kayu masih terlihat corak aslinya, seolaholah siap tumbuh.
Kastil ini terasa seperti makhluk gaib yang berdiri tegak dan siap menyerang.
Dari puncak menara, di bawah tatapan curiga para pengawal yang sedang berjaga,
kami dapat melihat seluruh kota. Di utara menjulang gunung yang dulu aku dan
Shigeru lewati, dan di balik gunung itulah terbentang dataran Yaegahara. Sedangkan di
sebelah tenggara terhampar tanah kelahiranku, Mino. Udara berkabut dan tenang,
nyaris tanpa hembusan angin. Selain gelap, menara ini terasa panas mencekik. Keringat
di wajah penjaga berkilauan saat terkena sinar matahari, dan mereka nampak tidak
nyaman karena beratnya baju besi yang mereka pakai.
Jendela menara di sebelah selatan menghadap ke menara kedua yang lebih rendah,




184
yaitu rumah Iida. Rumah itu didirikan di atas kubu pertahanan yang luas dan hampir
berbatasan langsung dengan parit. Di sebelah ti ur ada lahan yang luasnya sekitar
seratus meter, dan di sana terdapat sungai besar yang mengalir dengan deras,
gelombangnya semakin besar bila ada angin kencang. Di atas kubu itu berjejer banyak
jendela kecil, pintu rumah Iida menghadap ke barat. Atap yang melandai dengan
anggunnya menaungi beranda, dan dari atas sini terlihat taman kecil yang dikelilingi
dinding bailey kedua. Pemandangan itu tak akan terlihat dari bawah, namun dari sini
kami bisa melihat ke bawall ibarat elang yang sedang terbang mencari mangsa.
Di sisi yang berlawanan dari bailey sisi barat laut terletak dapur dan beberapa
ruangan lainnya.
Mataku terus berjalan dari sudut istana Iida ke tempat lainnya. Sebelah barat kastil
begitu indah dan nyaris menonjolkan kelembutan, tapi di sebelah timur kastil
memperlihatkan kekejaman dan kekuatan, apalagi ada rantai besi di dinding, di bawah
jendela menara. Di situ ada banyak rantai. Menurut penjaga, rantai-rantai besi itu
digunakan untuk menggantung musuh. Penderitaan si korban akan membuat Iida
puas.
Ketika menuruni anak tangga, aku mendengar para penjaga mengolok-olok kami,
dan Otori yang selalu dijadikan korban: menurut mereka, laki-laki Otori lebih suka
anak laki-laki daripada wanita di tempat tidur, lebih suka makan enak daripada
berperang, dan lemah karena lebih suka mandi air panas yang telah dikencingi. Tawa
parau mereka bergema di belakang kami. Merasa malu, pengawal yang menemani kami
meminta maaf.
Setelah meyakinkan dia bahwa kami tidak tersinggung, aku berdiri sejenak di pintu
bagian dalam bailey, berpura-pura mengagumi keindahan bunga morning glory yang
merambat di dinding dapur. Aku mendengar berbagai bunyi yang biasa berasal dari
dapur; desisan air mendidih, gemerincing pisau baja, bunyi tumbukkan dari orang yang
sedang membuat kue nasi, teriakan juru masak dan teriakan melengking dari gadis
yang sedang bercakap-cakap. Selain bunyi-bunyian itu aku juga mendengar sesuatu




185
dari balik dinding taman.
Aku langsung tahu bunyi itu: langkah kaki orang yang melintasi nightingale floor.
"Kau mendengar bunyi yang aneh?" aku bertanya dengan polosnya pada Kenji.
Kenji mengerutkan dahi, "Bunyi apa itu?"
Pengawal itu pun tertawa. "Itu bunyi nightingale floor."
"Nightingale floor?" ujarku dan Kenji bersamaan.
"Ya, lantai yang bisa bernyanyi. Jangankan orang, kucing pun tidak dapat melintasi
lantai itu tanpa menimbulkan bunyi yang mirip burung mencicit."
"Kedengarannya seperti sihir," kataku.
"Seperti itulah," balas si pengawal sambil menertawai kepercayaanku pada sihir. "
Apa pun namanya, lantai itu yang membuat Lord Iida bisa tidur nyenyak."
"Mengagumkan! Aku ingin melihatnya," ujarku.
Dengan wajah yang masih tersenyum, pengawal itu mengajak karni mengitari
bailey menuju sebelah selatan di mana pintu taman terbuka lebar. Pintu itu tidak tinggi
tapi ada lapisan yang amat kokoh, dan anak tangganya sangat curam sehingga dapat
dengan mudah mengalahkan musuh yang masuk. Dari gerbang ini kaml memandang
bangunan di atasnya. Semua daun jendela terbuat dari kayu dan dalam keadaan
terbuka. Dari sini bisa kulihat lantai kokoh berkilauan yang terhampar di sekeliling
rumah Iida.
Tampak iring-iringan para pelayan sedang membawa nampan makanan karena
hari telah siang, mereka melepas sandal, lalu melintasi lantai. Begitu mendengar bunyi
lantai itu, aku langsung putus asa. Lantai ini empat kali lebih besar dari lantai yang ada
di Hagi dan bunyinya pun sangat rumit. Apalagi aku tak sempat berlatih. Hanya ada
satu kesempatan untuk dapat menaklukkan lantai ini.
Aku berdiri cukup lama, berseru kagum sambil berusaha membedakan setiap bunyi
dan juga berusaha mendengar suara Kaede yang menginap di rumah ini, tapi aku tak
mendengar suaranya.
Akhirnya Kenji berkata, "Ayo pulang! Aku sudah lapar. Lord Takeo bisa melihat




186
lantai ini lagi besok saat dia menemani Lord Otori."
"Apa kita akan ke kastil ini besok?"
"Lord Otori akan menjumpai Lord Iida besok sore," ujar Kenji. "Tentu saja Lord
Takeo akan ikut bersamanya."
"Sungguh menyenangkan," balasku, jantungku berdebar mendengar kemung-kinan
itu.
Saat kami kembali ke penginapan, Lord Shigeru sedang mengamati beberapa
kimono pernikahannya. Semuanya berserakan di karpet, mewah, berwarna cerah,
dibordir dengan lambang keberuntungan dan keabadian: buah plum, bangau putih, dan
kura-kura.
"Kedua pamanku yang mengirimkan ini," ucapnya. "Apa pendapatmu tentang
kimono ini, Takeo?"
"Berlebihan," jawabku, muak atas kepura-puraan kedua paman Shigeru.
"Mana yang sebaiknya kupakai?" Dia mengambil kimono dengan bordir buah
plum, dan orang yang membawa kimono ini membantu Shigeru memakainya.
"Yang itu kelihatannya bagus," kata Kenji. "Dan kini waktunya kita makan."
Lord Shigeru tetap berdiri seakan tak mau pergi, lalu dia menyentuh kain yang
indah itu, mengagumi kehalusan bordirnya. Meskipun hanya diam, tapi ada sesuatu di
wajahnya: penyesalan, mungkin, atas pernikahan yang tak akan terjadi, dan mungkin
juga, tentang nasibnya.
"Aku akan memakai yang ini," katanya sambil melepas kimono dan menyerahkan
pada laki-laki pembawa kimono itu.
"Sungguh pilihan yang tepat," ucap orang itu lirih. "Tak banyak orang yang
setampan Lord Otori."
Shigeru tersenyum tulus tanpa menanggapi, dia pun diam selama makan. Kami
semua diam, terlalu tegang untuk membicarakan hal remeh, dan terlalu waspada akan
kemungkinan adanya mata-mata bila kami membicarakan hal lain.
Aku merasa lelah dan gelisah. Panasnya sore memaksaku untuk tetap di rumah.




187
Walaupun semua pintu terbuka lebar ke taman, namun tidak ada angin yang
berhembus ke ruangan ini. Sambil terkantuk aku berusaha mengingat bunyi nightingale
floor tadi. Di saat yang sama, suara-suara di taman, serangga yang berdengung, dan
gemuruh air terjun seakan membasuh sekujur tubuhku, membuatku setengah terjaga,
membuatku berpikir kalau aku sedang berada di Hagi.
Menjelang malam, hujan turun dan udara agak dingin. Kenji dan Shigeru larut
dalam permainan Go*, Kenji memainkan yang hitam. Aku pasti tertidur pulas karena
tiba-tiba terbangun oleh langkah kaki di depan pintu dan aku mendengar pelayan
menyampaikan pesan untuk Kenji.
Kenji mengangguk, lalu pergi. Shigeru menatap kepergian Kenji, lalu kembali
mengamati papan permainan, seakan dia hanya terpaku pada permainan itu saja. Aku
berdiri, dan menatap ke papan permainan. Mereka sering bermain dan selalu saja
Shigeru yang menang, namun sekali ini dia terancam kalah.
Aku pergi ke pancuran untuk membasuh muka dan tanganku. Dan dengan
perasaan terperangkap dan tertekan bila berada di kamar, aku melintasi taman ke arah
pintu utama rumah penginapan dan melangkah ke jalan.
Kenji berdiri di seberang jalan, sedang berbicara dengan seorang pemuda yang
memakai pakaian yang biasa dipakai oleh pembawa pesan. Belum sempat aku
mendengar pembicaraan mereka, Kenji telah melihatku dan dia langsung menyuruh
orang itu pergi. Kenji lalu menyeberang jalan ke arahku, berpura-pura tidak terjadi apaapa.
Dia terlihat seperti seorang guru yang tua dan tidak berbahaya. Dia berjalan tanpa
menoleh padaku. Sebelum dia sempat melihatku tadi, aku dapat merasakan kalau sosok
Muto Kenji yang asli muncul: kejam, sekejam Jato.
Shigeru dan Kenji lalu bermain Go hingga larut malam. Aku tak sanggup melihat
biji putih mulai terdesak, tapi aku tidak bisa tidur, pikiranku penuh dengan kejadian
tadi, dan juga tingkah Kenji yang mencurigakan. Pagi dini hari Kenji telah pergi, dan
pada saat dia pergi, Shizuka datang membawa hadiah pernikahan dari Lady
Maruyama. Di balik bungkusan itu ada dua gulungan kertas. Salah satu surat itu dia


188
diserahkan pada Shigeru.
Lord Shigeru membacanya. Dia nampak tegang dan menonjolkan garis-garis
kelelahan. Kemudian dia melipat dan memasukkan surat itu ke balik lengan
kimononya.
Lalu dia mengambil gulungan kertas yang kedua dan setelah menatap sekilas, dia
serahkan kepadaku. Gambar dalam surat kurang jelas, tapi akhirnya aku tahu. Itu
adalah denah ruangan di rumah Iida, dan dengan jelas ditunjukkan kamar tidur Iida.
"Sebaiknya semua kertas itu langsung dibakar, Lord Otori," bisik Shizuka.
"Tentu saja. Ada kabar lainnya?"
"Boleh aku mendekat?" tanya Shizuka, dan berbisik di telinga Shigeru, hanya aku
dan Shigeru yang bisa mendengarnya. "Arai telah masuk ke barat daya. Dia berhasil
mengalahkan Noguchi dan kini sedang menuju ke Inuyama."
"Iida tahu?"
"Jika dia belum tahu, maka tidak lama lagi dia akan tahu. Iida punya banyak matamata."
"Dan Terayama? Kau mendengar kabar tentang wilayah itu?"
"Mereka yakin bisa merebut Yamagata tanpa perlawanan, begitu Iida..."
Shigeru segera mengangkat tangan, dan Shizuka pun langsung diam.
"Malam. ini, kalau begitu," ucapnya singkat.
"Lord Otori," Shizuka membungkuk hormat.
"Lady Shirakawa baik-baik saja?" tanya Shigeru, kembali dengan suara biasa,
sambil bergerak menjauh dari Shizuka.
"Kuharap dia akan membaik," balas Shizuka perlahan. "Dia tidak makan, juga
tidak tidur."
Detak jantungku sempat berhenti ketika Shigeru berkata malam ini. Tapi setelah
itu, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, mengalirkan darah ke seluruh
pembuluh darahku. Aku perhatikan denah itu sekali lagi, berusaha mengingatnya.
Pikiran tentang Kaede, wajah pucatnya, lengannya yang rapuh, dan rambut hitamnya




189
yang lebat membuatku bimbang. Aku berdiri dan berjalan ke pintu, berusaha
menyembunyikan perasaanku.
"Aku menyesal telah menyeretnya dalam bahaya," ujar Shigeru.
"Justru dia yang cemas karena bisa membawa bencana bagimu," balas Shizuka, dan
menambahkan dengan suara rendah, "kecemasannya pada dirimu adalah salah satu di
antara beberapa kecemasan lain. Kini aku harus kembali padanya. Aku takut
meninggalkan dia sendiri."
"Apa maksudmu?" teriakku sehingga mereka langsung melihat kepadaku.
Shizuka nampak bimbang. "Dia sering bicara tentang mati," jawab Shizuka,
akhirnya.
Ingin rasanya aku mengirim pesan untuk Kaede. Ingin rasanya aku berlari ke kastil
dan menariknya keluar dari sana-membawanya ke tempat di mana kami berdua akan
aman. Tapi, aku tahu kalau tidak ada tempat seperti itu, dan tak akan pernah ada,
sebelum semua ini berakhir....
Sebenarnya aku juga ingin bertanya pada Shizuka tentang Kenji—apa rencananya,
apa yang Tribe pikirkan saat ini-sayangnya, seorang pelayan datang membawa makan
siang sehingga aku tak sempat berbicara dengan Shizuka.
Selama makan, kami membicarakan tentang rencana kunjungan sore ini.
Kemudian, Lord Shigeru menulis surat, sementara aku berusaha mempelajari gambar
kastil yang kubuat kemarin. Aku sadar pada tatapan Lord Shigeru yang sering tertuju
kepadaku dan aku merasakan keinginannya untuk berbicara lebih banyak, namun tak
sepatah kata pun yang dia ucapkan. Aku duduk diam di lantai, memandangi taman di
luar, membiarkan tarikan napasku melambat, masuk ke sisi kelam diriku yang selama
ini bersemayam di tubuhku, membiarkan kegelapan diriku mengambil alih setiap otot,
nadi, dan pembuluh darahku. Kini pendengaranku semakin tajam. Aku dapat
mendengar keriuhan manusia dan hewan, kesenangan, gairah, luka, kesedihan seisi
kota. Tak sabar rasanya aku menanti keheningan, terbebas dari semua ini. Aku
menantikan malam tiba.




190
Kenji kembali tanpa mengatakan ke mana dia pergi. Tanpa banyak bicara, dia
mengawasi kami yang sedang memakai kimono resmi berlambang bangau Otori di
punggung. Dia hanya berbicara sekali saja, menyarankan agar aku jangan ikut ke kastil.
Tapi Lord Shigeru menjelaskan jika aku tidak ikut bersamanya justru akan menarik
perhatian Iida. Lord Shigeru tidak mengatakan bahwa aku perlu melihat kastil itu
sekali lagi. Aku pun ingin melihat Iida lagi. Satu-satunya yang aku ingat tentang Iida
yaitu sosok mengerikan yang kulihat di Mino setahun lalu. Dia dalam balutan baju besi
hitam, penutup kepala berhiaskan tanduk rusa dan pedang yang hampir saja
mengakhiri hidupku. Begitu hebat dan kuatnya bayangan itu di benakku sampaisampai
melihat dia tanpa baju besi pun bisa membuatku gemetar.
Kami berkuda diiringi dua puluh pengawal Otori. Mereka menunggu di bailey
pertama, sedangkan Shigeru dan aku masuk bersama Abe. Kami melepas sandal
sewaktu hendak melangkah di nightingale floor, aku menahan napas sambil
mendengarkan kicau burung di kakiku. Rumah ini dibangun dengan penuh pesona dan
dengan gaya mutakhir, lukisannya begitu menakjubkan hingga nyaris meng-alihkan
perhatianku dari tujuan semula. Sayangnya lukisan di sini tak memberi kesan damai
dan tenang seperti karya Sesshu di Terayama, melainkan meriah dan semarak, penuh
gairah hidup dan kekuatan. Di ruangan itu, tempat kami menunggu, semua kasa pintu
dan jendela dipenuhi lukisan bangau di sela-sela pohon willow bersalju. Shigeru
mengagumi karya itu, dan di bawah tatapan jahat Abe, kami membicarakan lukisan
yang ada di ruangan ini.
"Menurutku, lukisan ini jauh lebih bagus dari karya Sesshu," kata Lord Abe.
"Warnanya lebih kaya dan terang, dan ukurannya pun lebih ambisius."
Shigeru bergumam, tidak jelas apakah dia setuju atau menolak anggapan Abe itu.
Aku tidak memberi komentar. Tak lama kemudian, seorang laki-laki tua datang,
menyembah lalu berkata pada Abe. "Lord Iida siap menerima tamu."
Kami bangkit dan melintasi nightingale floor lagi, mengikuti Abe menuju Aula
Besar. Di ruangan ini, Lord Shigeru duduk berlutut di pintu masuk, dan aku mengKISAH
KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id



191
ikuti apa yang dia lakukan. Abe mengisyaratkan agar kami masuk, dan di dalam, kami
kembali duduk berlutut sambil membungkuk. Sekilas aku menangkap sosok Iida
sedang duduk di singgasana, jauh di ujung aula. Kimononya yang berwarna emas dan
putih gading terhampar di sekeliling tubuhnya, sebuah kipas merah keemasan di
tangan kanannya, topi kecil resmi berwarna hitam menghiasi kepalanya. Dia lebih kecil
dari yang kuingat, tapi bukan berarti tidak mengesankan. Usianya sekitar delapan atau
sepuluh tahun lebih tua dari Lord Shigeru dan tingginya pun hanya sepundak Shigeru.
Sosoknya tidak istimewa, kecuali bentuk matanya yang bagus, bertentangan dengan
kekejamannya. Iida tidaklah tampan, namun dia memiliki penampilan yang kuat dan
dominan. Ketakutan lamaku tiba-tiba muncul kembali.
Ada sekitar dua puluh pengawal yang sedang membungkuk di lantai. Hanya Iida
dan seorang pemuda di samping kirinya yang tetap duduk tegak. Keheningan panjang
melanda ruangan ini. Di saat yang sama, waktu mendekati Waktu Monyet*. Tak ada
pintu yang terbuka, dan panas terasa mencekik. Selain wangi dari balik kimono,
tercium juga aroma kekejaman dari keringat orang-orang di ruangan ini. Dari sudut
mata, aku melihat ada siluet di beberapa ruangan rahasia dan terdengar napas para
pengawal yang bersembunyi.
Iida memecah keheningan dengan berkata, "Selamat datang Lord Otori. Inilah
saat yang membahagiakan: pernikahan sekaligus persekutuan."
Suara Lord Iida yang kasar dan acuh tak acuh membuat sambutan resmi terasa
tidak pantas keluar dari mulutnya.
Shigeru mengangkat kepala dan duduk dengan perlahan. Dia membalas ucapan
Iida dengan nada yang sama resminya, dia menyampaikan salam dari kedua pamannya
dan juga dari seluruh klan Otori. "Aku senang dapat melayani dua klan besar."
Ucapan Lord Shigeru merupakan sindiran halus bagi Iida, menekankan kalau
mereka berdua berasal dari klas dan darah yang sama.
Iida tersenyum tidak senang dan membalas, "Ya, kita memang harus berdamai.
Kami tidak ingin peristiwa Yaegahara terulang."




192
Lord Shigeru menegakkan kepala lalu berkata, "Yang lalu, biarkan berlalu."
Aku bisa melihat raut wajah Shigeru, meskipun aku masih membungkuk.
Pandangannya jernih dan lurus, sikapnya tenang dan riang. Tidak ada yang dapat menebak
apa yang dia pikirkan, selain apa yang dia perlihatkan: calon pengantin yang
senang karena dicarikan istri oleh orang yang lebih tua.
Mereka berbincang sesaat, saling bergurau. Lalu, teh disajikan untuk mereka
berdua.
"Kudengar dia anak angkatmu," kata Iida ketika menuangkan teh. "Maka dia juga
boleh minum bersama kita."
Ini berarti aku harus menegakkan tubuh, walau sebenarnya aku tidak ingin
melakukannya. Aku kembali membungkuk, lalu maju dengan menggunakan lutut,
berusaha agar jariku tidak gemetar ketika mengambil mangkuk teh. Aku bisa
merasakan tatapan Iida, tapi aku tak berani menatapnya, sulit bagiku untuk
mengetahui apakah dia mengenaliku sebagai anak yang menusuk kudanya hingga dia
terjatuh ketika di Mino.
Aku mengamati mangkuk teh yang sedang kupegang. Mangkuk itu terbuat dari
bahan metal abu-abu, dan di bagian dasarnya berwarna kemerahan, belum pernah aku
melihat mangkuk yang seperti ini.
"Dia sepupu jauh mendiang ibuku," Lord Shigeru menjelaskan. "Ibuku ingin
mengangkatnya menjadi keluarga, namun setelah ibuku meninggal baru aku dapat
mewujudkan harapannya."
"Namanya?" Iida terus menatapku sambil menghirup tehnya dengan berisik.
"Dia diberi nama sesuai nama Otori," jawab Lord Shigeru. "Kami memanggilnya
Takeo."
Lord Shigeru tidak mengatakan sesuai nama adikku, tapi nama Takeshi terasa
bergantung di udara, seolaholah arwahnya melayang-layang di ruangan ini.
Lord Iida menggerutu. Selain udara yang panas, suasananya pun kaku dan
mencekam. Aku yakin Lord Shigeru juga menyadari itu. Aku bisa merasakan kalau dia




193
tegang, meskipun dia tetap tersenyum. Di balik semua senda-gurau, tersembunyi
kebencian di antara mereka, diperuncing dengan derita akibat perang Yaegahara, rasa
cemburu Iida, dan rasa sedih Shigeru serta keinginannya untuk membalas dendam.
Aku mencoba berperan sebagai Takeo, seorang seniman yang terpelajar, tertutup
dan juga kikuk.
"Berapa lama dia bersamamu?"
"Sekitar setahun," balas Shigeru.
"Memang ada ciri khas keluargamu pada dirinya," kata Iida. "Ando, kau setuju?"
Dia bertanya pada salah seorang pengawalnya yang duduk berlutut menyamping ke
arah kami. Orang itu mengangkat kepala lalu memandangku. Tatapan mata kami
bertemu, dan aku langsung mengenali wajah dan alis yang mirip serigala serta mata
yang dalam. Tubuh sebelah kanannya tersembunyi dariku, tapi aku tahu kalau lengan
kanannya putus tertebas Jato yang digenggam Lord Shigeru.
"Sangat mirip," jawab Ando. "Aku melihat kemiripan itu ketika pertama kali aku
melihatnya." Dia berhenti, kemudian menambahkan, "di Hagi."
Aku membungkuk, lalu berkata dengan rendah hati. "Maaf, Lord Ando, kurasa
kita belum pernah bertemu."
"Benar, kita memang belum pernah bertemu," dia membenarkan. "Aku melihatmu
sedang bersama Lord Otori, dan aku melihat kemiripanmu... dengan keluarga Otori."
"Dia masih kerabat kami," balas Lord Shigeru, tidak gelisah. Tidak diragukan lagi
kalau Iida dan Ando telah mengetahui diriku yang sebenarnya. Mereka juga tahu kalau
Shigerμ yang menyelamatkanku. Aku berharap mereka segera menahan kami, atau
meminta pengawal membunuh kami sekarang juga, di saat jamuan minum teh ini.
Lord Shigeru menggerakkan badan dengan sangat perlahan. Aku tahu dia sedang
bersiap-siap melompat berdiri, pedang ada di tangannya jika terjadi sesuatu.
Namun aku juga tahu, dia tak akan menghancurkan rencana yang telah dia susun
selama berbulan-bulan. Ruangan ini penuh dengan ketegangan seiring keheningan
yang kian mencekam.




194
Bibir Iida membentuk senyuman. Bisa kurasakan kalau dia senang atas situasi yang
terjadi saat ini. Dia tak akan membunuh kami sekarang, dia akan bermain-main dulu
dengan kami. Bagi kami, tertutup kemungkinan untuk lolos. Kami telah terperangkap
di wilayah Tohan, terus menerus di bawah pengawasannya, dan kami hanya memiliki
dua puluh orang pengawal. Tidak diragukan lagi, Iida hendak menghabisi kami, tapi
dia akan menikmati dulu saat-saat musuh lamanya berada dalam kekuasaannya.
Iida lalu beralih membicarakan pernikahan. Dari nada suaranya aku dapat
merasakan kalau dia memendam rasa benci. dan juga cemburu. "Lady Shirakawa
adalah anak perwalian Noguchi, sekutuku yang terpercaya."
Dia tidak mengatakan soal kekalahan Noguchi atas Arai. Apakah dia tidak tahu,
ataukah dia pikir kami yang belum tahu?
"Lord Iida memberi penghormatan yang sangat besar bagiku," jawab Shigeru.
"Baiklah, memang sudah tiba saatnya untuk berdamai." Iida berhenti sejenak, lalu
melanjutkan, "Lady Shirakawa sangat cantik. Sayang, reputasinya kurang bagus.
Kuharap hal ini tak membuatmu cemas."
Aku mendengar para pengawal menanggapi perkataan Iida dengan pelan—tidak
tertawa, tapi otot-otot muka mereka membentuk senyuman.
"Kurasa reputasinya tidak berdasar," balas Lord Shigeru bijak. "Dan karena aku di
sini sebagai tamu Iida, aku tidak perlu cemas."
Senyuman Iida pun langsung hilang, dan dia memandang dengan marah. Kurasa
dia terbakar oleh rasa cemburu. Seharusnya, sopan santun dan rasa percaya diri bisa
mencegahnya mengatakan hal berikut ini, tapi ternyata tidak. "Ada rumor tentang
dirimu," katanya tanpa basa-basi.
Shigeru mengangkat alis, tidak berkata.
"Tentang ikatan yang telah berlangsung lama, suatu pernikahan rahasia," kata Iida
dengan nada suara tinggi.
"Lord Iida membuatku heran," balas Lord Shigeru dingin. "Aku sudah tidak muda
lagi. Wajar saja bila aku mengenal banyak perempuan."



195
Iida mendapatkan kembali kendali diri dan membalas perkataan Shigeru dengan
gerutuan, tapi matanya terbakar oleh rasa dengki. Kami diusir dengan basa-basi
kesopanan, Iida tak bicara banyak, selain, "Kita bertemu tiga hari lagi di saat upacara
pernikahan."
Saat kami bergabung dengan pengawal Otori, mereka nampak tegang dan tertekan
karena diejek dan diancam pengawal Tohan. Aku dan Shigeru tak bicara sepatah kata
pun saat menuruni anak tangga dan melewati pintu gerbang utama. Aku sibuk
mengingat sebanyak mungkin denah kastil, walaupun rasa benci dan marah pada Iida
selalu muncul dibenakku. Akan kubunuh dia sebagai balas dendam atas masa lalu, dan
juga atas penghinaannya pada Lord Otori tadi sore. Jika aku tidak membunuhnya
malam ini, berarti dia yang akan membunuh kami.
Di perjalanan ke penginapan, jauh di arah barat matahari tampak bulat pucat.
Kenji telah menunggu kami di sana. Tercium samar-samar bau sesuatu terbakar dari
dalam kamar. Dia telah membakar pesan dari Lady Maruyama di saat kami pergi. Dia
mengamati wajah kami.
"Mereka mengenali Takeo?" dia bertanya.
Lord Shigeru melepaskan pakaian resminya. "Aku perlu mandi," dia berkata, dan
tersenyum seakan-akan mandi dapat membuatnya terbebas dari beban yang berat.
"Bisakah kita bicara dengan bebas, Takeo?"
Dari dapur terdengar suara pelayan yang sedang menyiapkan hidangan malam.
Beragam langkah kaki melintas di jalan, namun tidak ada sesuatu yang mencurigakan.
Seorang gadis yang membawa mangkuk berisi nasi dan sop sedang mendekati penjaga
di gerbang utama.
"Bisa saja, jika kita berbisik," balasku.
"Kita harus berbicara cepat. Mendekatlah, Kenji. Ya, benar, dia mengenali Takeo.
Iida curiga dan takut. Dia bisa menyerang kita kapan saja."
Kenji berkata, "Akan kubawa Takeo pergi untuk sementara. Aku bisa
menyembunyikan dia di kota." "Tidak," seruku. "Malam ini aku akan ke kastil."




196
"Hanya malam ini kesempatan kita," Lord Shigeru berbisik. "Kita harus serang dia
lebih dulu."
Kenji menatap kami secara bergantian. Dia menarik napas panjang. "Baiklah, aku
ikut denganmu."
"Kau teman baikku," kata Lord Shigeru perlahan. "Kau tidak perlu membahayakan
dirimu."
"Aku melakukan ini bukan untukmu, Shigeru. Aku lakukan ini untuk menjaga
Takeo," balas Kenji. Lalu dia berkata padaku, "Sebaiknya kau periksa dinding kastil
dan sungai sekali lagi sebelum tiba jam malam. Aku akan menemanimu. Bawa alat
lukismu. Akan ada sandiwara ringan yang menarik di tepi sungai."
Setelah mengumpulkan alat lukis, kami langsung pergi. Baru beberapa langkah,
Kenji membuatku kaget saat dia berbalik dan membungkuk. "Lord Otori," katanya.
Saat itu aku menduga dia hanya bersikap ironis semata; namun kelak aku menyadari
bahwa itu adalah ucapan perpisahan.
Aku tidak mengucapkan selamat tinggal, aku hanya membungkuk seperti yang
biasa kulakukan. Cahaya sore dari arah taman berada di balik punggung Lord Shigeru
sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya.
Lapisan awan menebal, meskipun tidak turun hujan. Udara kini terasa semakin
dingin seiring terbenamnya matahari, narnun tetap saja udara terasa panas dan gerah.
Jalan dipenuhi orang yang ingin memanfaatkan waktu antara matahari terbenam dan
jam malam. Beberapa kali aku bertubrukan sehingga membuatku panik dan gelisah.
Aku melihat mata-mata dan pembunuh di segala tempat. Melihat Iida telah
membuatku lemah, mengubahku menjadi Tomasu, anak penakut yang berhasil lolos
dari pembantian di Mino. Dapatkah aku memanjat dinding kastil Inuyama dan
membunuh bangsa. wan yang baru saja kulihat, yang mengenaliku sebagai satu-satunya
orang yang tersisa di desaku dan berhasil lolos tepat di depan wajahnya? Aku mungkin
bisa berpura-pura menjadi Lord Otori Takeo atau Kikuta, namun aku bukanlah salah
seorang dari mereka. Aku hanyalah orang Hidden, orang yang diburu.




197
Kami berjalan ke barat, menyisir sebelah selatan kastil. Seiring dengan datangnya
malam, aku bersyukur karena malam sangat gelap, tidak ada bulan maupuil bintang.
Obor-obor bercahaya di gerbang, sedangkan kedai-kedai diterangi lampu minyak atau
api lilin. Tercium bau wijen dan kedelai, arak beras dan ikan bakar. Karena merasa
lapar, aku hendak berhenti untuk membeli sesuatu, tapi Kenji menyarankan agar kami
berjalan agak lebih jauh lagi. Jalan semakin gelap dan kosong. Aku mendengar ada
roda gerobak berderu di jalan yang berbatu, dan bunyi seruling. Ada sesuatu yang
mengerikan dari suara itu. Bulu kudukku berdiri.
"Kita pulang saja," kataku, dan pada saat itu pula muncul iring-iringan kecil dari
bukit di depan kami. Kukira mereka penghibur jalanan atau semacamnya. Seorang lakilaki
tua mengendarai gerobak yang dihiasi pernak-pernik. Seorang gadis sedang
meniup seruling di atasnya, dan serulingnya terjatuh ketika melihat kami. Dua orang
laki-laki muncul dari tempat gelap sambil menari. Mereka nampak seperti tersihir dan
dikuasai roh. Aku berhenti. Kenji berdiri tepat di belakangku. Gadis lain mendekati
kami dan berkata, "Kemari dan lihatlah, tuan."
Aku seperti mengenal suara itu, dan perlu beberapa saat untuk dapat
mengingatnya. Dan aku langsung melompat ke belakang, menghindar dari Kenji, dan
meninggalkan sosok keduaku di gerobak. Gadis itu adalah gadis pelayan di penginapan
saat kami di Yamagata. Gadis yang Kenji sebut, "Dia orang kita."
Aku kaget karena ada yang mengejarku tanpa mempedulikan sosok keduaku. Aku
menghilangkan diri, tapi dia dapat menebak keberadaanku. Kini aku yakin kalau semua
ini adalah rencana Tribe, mereka datang mengambilku seperti yang pernah Kenji
bilang. Aku menjatuhkan diri ke tanah, berguling, dan menyelinap ke bawah gerobak,
namun Kenji ada di seberang gerobak. Kugigit tangannya, tapi tangannya yang lain
memegang rahangku, memaksaku untuk melepaskan gigitan. Aku tendang dia, namun
aku terhuyung-huyung dalam genggamannya. Aku berusaha menyelipkan jari jariku,
tapi semua trik yang aku dapat adalah ajaran yang dia berikan.
"Menyerahlah, Takeo," dia berdesis. "Jangan melawan. Tak ada yang akan




198
menyakitimu."
"Baiklah," kataku, dan kembali tenang. Dia melepaskan pegangannya dan aku
langsung menjauh. Aku tarik belati dari sabukku. Tapi, lima orang di sekitarku
langsung menyerang. Salah seorang dari mereka membuat gerakan tipuan sehingga aku
terpojok di gerobak. Aku menebaskan belatiku ke tubuhnya dan kurasa belatiku
mengenai tulangnya. Lalu aku membuat gerakan mengiris pada salah satu gadis.
Sedangkan gadis yang lainnya menghilang, dan ternyata dia melompat seperti monyet
ke atas kepalaku, kedua kakinya melingkari leherku, salah satu tangannya membekap
mulutku, dan tangannya yang satu lagi mencekik leherku. Aku tahu apa yang akan dia
lakukan, dan aku pun berputar kasar sehingga keseimbanganku hilang. Orang yang aku
lukai dengan belati segera memegang pergelangan tanganku dan dia pelintir sehingga
belatiku terlepas. Gadis itu dan aku terjatuh. Tangannya masih mencekik leherku.
Sebelum tidak sadarkan diri, aku sempat melihat Shigeru sedang duduk menunggu
kami di kejauhan. Aku mencoba berteriak dengan marah karena pengkhianatan yang
Kenji lakukan, namun mulutku tersumpal, aku bahkan tak bisa lagi mendengar.*




199
PAGI ini adalah hari ketiga Kaede berada di Inuyama. Karena gerakan tandu yang
bergoyang-goyang saat ke kastil, kondisi Kaede semakin memburuk. Keadaan di
Inuyama begitu menakutkan dan mencekam, jauh lebih buruk dibandingkan di kastil
Noguchi. Para wanitanya nampak lemas dan berkabung, mereka berduka karena
majikan mereka, isteri Iida, meninggal di awal musim panas. Kaede hanya melihat
sekilas tuan mereka, Lord Iida, namun sangat mustahil bagi Kaede untuk tidak
menyadari kehadiran orang itu. Iida begitu mendominasi rumahnya, tak heran semua
penghuni di sini bergerak dengan ketakutan, takut dimarahi tuannya. Tak ada yang
berani bicara terang-terangan. Ucapan selamat hanya disampaikan kepada Kaede
melalui suara yang lemah dan tatapan yang kosong. Wanita-wanita itu juga
menyiapkan kimono pengantin dengan lesu, tidak bergairah. Kaede merasakan suasana
kematian juga melingkupi dirinya.
Lady Maruyama, setelah mengalami masa bahagia karena bertemu anaknya, kini
nampak tegang. Beberapa kali dia seperti ingin mengatakan sesuatu pada Kaede, tapi
jarang sekali mereka bisa berdua dalam waktu yang cukup lama. Kaede menghabiskan
waktu dengan selalu mengingat-ingat kembali semua peristiwa yang terjadi selama
perjalanan, berusaha meraba-raba rahasia yang ada di sekeliling dirinya, tapi ia sadar
kalau ia tidak tahu apa-apa. Semuanya penuh dengan kepura-puraan, ia bahkan tidak
bisa mempercayai seorang pun juga—tidak juga Shizuka, kecuali, tentu saja, beberapa
hal yang sudah Shizuka katakan. Bagi Kaede, keselamatan keluarganya yang membuat
ia kuat menjalani pernikahan dengan Lord Otori: ia tidak curiga bahwa pernikahan ini




200
tak akan berjalan sesuai rencana. Bayangan tentang pernikahan begitu jauh, sama
jauhnya seperti bulan. Tapi, bila ia tidak jadi menikah jika ada lagi yang mati karena
dirinya-maka tak ada jalan lain baginya kecuali mati.
Ia berusaha menghadapi pernikahan ini dengan berani, tapi ia tidak dapat
membohongi dirinya: Ia sudah berusia lima belas tahun, belum mau mati, dan ingin
hidup bersama Takeo.
Hari-hari yang sebelumnya begitu panas mencekik kini perlahan-lahan mulai
berakhir, matahari yang bersinar pucat memancarkan sinar kemerah-merahan di
seluruh pelosok kota. Kaede bosan dan gelisah. Ia tak sabar menantikan saat-saat ia
akan terbebas dari lapisan kimono yang tebal, menunggu datangnya dingin dan
gelapnya malam, walaupun sebenarnya ia takut akan datangnya hari esok.
"Bangsawan Otori akan ke kastil hari ini, kan?" ia bertanya sambil berusaha
menahan emosinya.
"Ya, Lord Iida yang akan menyambut mereka." nada bicara Shizuka terkesan
bimbang. Kaede merasa kalau Shizuka menatapnya dengan iba. Dia berkata pelan,
"Lady..." Dia tak melanjutkan.
"Ada apa?"
Ketika dua orang pelayan lewat di depan pintu, Shizuka pun mulai membicarakan
tentang kimono yang akan dikenakan untuk acara pernikahan nanti. Langkah kaki
kedua pelayan itu membuat lantai bernyanyi. Saat lantai itu berhenti bernyanyi, Kaede
bertanya, "Apa yang ingin kau katakan?"
"Kau masih ingat perkataanku kalau kau bisa saja membunuh hanya dengan
menggunakan jarum? Kini akan kuajari caranya. Mungkin kelak kau perlukan."
Shizuka mengeluarkan benda mirip jarum biasa, tapi saat Kaede memegangnya ia
sadar bahwa jarum itu sangat kuat dan berat, mirip senjata kecil. Shizuka menunjukkan
cara menusuk jarum itu ke mata atau leher seseorang.
"Sembunyikan jarum ini di balik lengan bajumu. Hati-hati, jangan sampai kau
yang tertusuk."




201
Kaede takut, agak ngeri, sekaligus takjub. "Aku tak tahu apakah aku bisa
melakukannya."
"Kau pernah menikam seorang laki-laki dalam keadaan marah," kata Shizuka.
"Kau tahu itu?"
"Arai yang memberitahu. Saat marah atau takui, manusia tak menyadari
kemampuannya. Simpan juga belatimu. Kuharap kita memiliki pedang, tapi
nampaknya sulit untuk disembunyikan. Jadi, di saat berkelahi, kau harus bunuh orang
itu secepat mungkin dan langsung kau ambil pedangnya."
"Ada apa sebenarnya?" tanya Kaede lirih.
"Ingin sekali aku mengatakan, tapi itu justru akan membahayakan dirimu. Aku
hanya ingin agar kau waspada."
Kaede membuka mulut untuk bertanya lebih lanjtii lagi, namun Shizuka
bergumam, "Kau harus diam: tidak boleh bertanya padaku dan tidak boleh berkata apa
pun pada orang lain. Makin sedikit yang kau tahu, makin bagus."
Kamar yang di tempati Kaede tidak begitu besar dan terleiak di ujung rumah Iida,
di sebelahnya ada sebuah kamar yang besar. Kamar itu ditempati oleh penghuni wanita
di rumah Iida, juga Lady Maruyama dan anak gadisnya. Kedua kamar itu menghadap
ke taman yang terhampar di sisi selatan rumah. Kaede bisa mendengar percikan air
sungai dan lambaian dedaunan. Malam itu Kaede melihat Shizuka siaga semalaman. Ia
melihat Shizuka bersila di pintu, hampir tidak terlihat karena berada di bawah langit
gelap yang tidak berbintang. Burung hantu bersahut-sahutan di kegelapan malam, dan
dari permukaan sungai terdengar teriakan unggas air. Hujan pun mulai turun.
Suara-suara alam itu membuat Kaede tertidur, dan paginya ia terjaga karena
mendengar teriakan keras burung gagak. Hujan telah reda dan udara pagi terasa gerah.
Shizuka sedang berpakaian. Saat melihat Kaede bangun, dia lalu duduk berlutut di
sampingnya dan berbisik, "Lady, aku hendak menemui Lord Otori. Maukah kau
menulis surat atau puisi untuknya? Aku perlu alasan agar bisa menemuinya."
"Ada apa?" tanya Kaede dengan cemas ketika melihat wajah Shizuka yang pucat.




202
"Entahlah. Semalam aku mengharapkan sesuatu terjadi... Tapi ternyata tidak
terjadi apa-apa. Aku harus tahu sebabnya."
Dengan suara yang lebih keras, dia berkata, "Aku akan menyediakan tinta
untukmu. Lady tidak perlu tergesa-gesa. Lady punya waktu seharian untuk menulis
puisi yang indah."
"Apa yang harus kutulis?" tanya Kaede berbisik. "Aku belum pernah menulis puisi.
Aku tidak bisa."
"Tidak masalah. Tulis saja sesuatu tentang cinta, tentang sepasang bebek mandarin
atau bunga."
Kaede hampir yakin kalau Shizuka sedang bergurau, jika ia tidak melihat sikap
gadis itu yang bersungguh-sungguh.
"Kalau begitu, bantu aku berpakaian," perintahnya. "Ya, aku tahu ini terlalu pagi,
tapi berhentilah mengeluh. Aku harus menulis surat pada Lord Otori."
Shizuka memaksakan senyuman di wajahnya yang pucat untuk membesarkan hati
Kaede.
Kaede menulis sesuatu lalu dengan suara lantang ia menyuruh Shizuka mengantar
surat itu ke tempat Lord Shigeru. Shizuka melangkah dengan enggan, dan terdengar
dia mengeluh pada penjaga dan mereka menanggapinya dengan tertawa.
Kaede meminta teh pada pelayan, lalu ia minum sambil menatap taman untuk
menenangkan diri dan berusaha mendapatkan keberaniannya. Beberapa kali ia
menyentuh jarum di balik lengan bajunya, atau meraba gagang belati yang dingin di
balik kimononya. Ia memikirkan alasan Lady Maruyama dan Shizuka mengajarinya
cara bertarung. Apa yang akan terjadi? Ia kembali merasa dirinya adalah bidak yang
dimainkan oleh orang di sekitarnya, tapi setidaknya mereka telah menyiapkan dirinya,
memberinya senjata.
Shizuka pulang sambil membawa surat balasan dari Lord Otori: sebuah puisi yang
ditulis dengan ringan dan indah.
Kaede menatapnya. "Apa maksudnya?"




203
"Ini alasan saja. Dia harus menulis sesuatu sebagai balasan."
"Lord Otori baik-baik saja?" tanya Kaede basa-basi. "Ya, bahkan dia
merindukanmu."
"Katakan yang sejujurnya," bisik Kaede. Ia menatap Shizuka, melihat ada keraguan
di mata Shizuka. "Lord Takeo—apakah dia mati?"
"Kami tidak tahu." Shizuka menarik napas dalamdalam. "Dia dan Kenji
menghilang. Lord Otori yakin Tribe telah mengambilnya."
"Apa maksudnya?" Ia merasa teh yang ia minum berputar-putar di perutnya, ia
merasa mual.
"Ayo kita jalan jalan di taman selagi cuaca masih sejuk," kata Shizuka dengan
tenang.
Kaede berdiri dan berpikir, ia merasa seperti hendak pingsan. Butiran keringat
yang dingin dan lembab menggumpal di alisnya. Shizuka menggandeng tangan Kaede
dan mengajaknya ke beranda. Dia lalu berlutut di depan Kaede, membantunya
memakai sandal.
Mereka berjalan lambat di antara pepohonan dan semak belukar, kerasnya bunyi
aliran sungai melindungi suara mereka. Shizuka berbisik pada Kaede.
"Seharusnya semalam Iida terbunuh. Arai dan seluruh pasukannya berjarak tiga
puluh mil dari sini. Sedangkan para biarawan di Terayama telah siap untuk mengambil
alih kota Yamagata. Tohan pasti kalah."
"Apa hubungan semua itu dengan Lord Takeo?"
"Dia yang seharusnya membunuh Iida. Dia yang seharusnya memanjat dinding
kastil semalam. Sayangnya Tribe mengambilnya lebih dulu."
"Takeo? Pembunuh?" Kaede merasa ingin tertawa mendengar ucapan yang
mustahil itu. Lalu ia teringat kekelaman yang Takeo tutup-tutupi selama ini, bagaimana
dia selalu menyembunyikan kehebatannya. Kaede menyadari bila ia tidak tahu
apa yang ada di balik permukaan, meskipun begitu ia tahu ada sesuatu yang lebih dari
apa yang terlihat pada Takeo. Kaede menarik napas panjang, berusaha tetap tenang.




204
"Dia anggota Tribe?"
"Ayah Takeo berasal dari kalangan Tribe, dan dia terlahir dengan bakat istimewa."
"Sepertimu?" tanya Kaede. "Dan pamanmu?"
"Dia jauh lebih hebat dari kami," kata Shizuka.
"Tapi kau benar: kami juga berasal dari Tribe."
"Kau mata-mata? Pembunuh? Itukah alasannya kau berpura-pura menjadi
pelayanku?"
'Aku tidak berpura-pura menjadi temanmu," balas Shizuka dengan cepat. "Sudah
kukatakan bahwa kau dapat mempercayaiku. Sebenarnya, Arai yang menyuruhku
untuk menjagamu."
"Bagaimana aku bisa mempercayaimu setelah sekian lama kau berbohong?" kata
Kaede, sudut matanya terasa mulai panas.
"Aku akan jujur kepadamu," kata Shizuka dengan sangat tenang.
Kaede merasa adanya gelombang kekagetan dalam dirinya, namun berangsurangsur
hilang, dan ia kembali tenang dan pikiran kembali jernih. "Jadi pernikahanku
dengan Lord Otori—hanyalah alasan agar dia bisa ke Inuyama?"
"Bukan dia yang mengatur semua ini. Bagi Lord Otori, pernikahan ini adalah
syarat agar dapat mengangkat Takeo. Tapi saat dia terpaksa menyetujui perjodohan ini,
dia melihat adanya alasan untuk membawa Takeo ke wilayah Tohan yang dijaga ketat,"
Shizuka berhenti bicara, lalu berkata sangat pelan. "Iida dan pernimpin Otori
menggunakan pernikahan ini untuk membunuh Shigeru. Karena itulah aku dikirim
kepadamu, untuk melindungi kalian berdua."
"Mereka memanfaatkan reputasiku," kata Kaede pedih, ia sangat menyadari semua
pengaruh laki-laki, pada dirinya, dan bagaimana mereka memanfaatkan dirinya tanpa
belas kasihan. Kembali, ia merasa lelah yang amat sangat.
"Kau harus duduk sejenak," kata Shizuka. Semak belukar membuat taman lebih
terbuka dengan pemandangan yang mengarah ke sungai di sekitar kastil dan juga
sungai besar di kaki gunung. Sebuah paviliun dibangun melintasi aliran sungai agar




205
terkena hembusan angin. Kaede dan Shizuka berjalan ke paviliun, mereka melangkah
di bebatuan dengan hati-hati. Beberapa alas duduk telah tersedia di lantai, dan mereka
pun duduk. Air yang mengalir memberi kesan sejuk, dan burung pekakak dan burung
layang-layang terbang saling menyambar di atas paviliun. Di kolam, di bawah paviliun,
teratai menyembulkan kelopak yang berwarna merah jambu keungu-unguan. Di tepi
sungai, bunga iris biru gelap sedang mekar, warna daunnya sama seperti alas duduk di
paviliun.
"Apa maksudnya, dibawa oleh Tribe?" tanya Kaede gelisah, jari-jarinya
menggosok-gosok bahan pakaian.
"Keluarga Takeo, Kikuta, menduga usaha membunuh Iida akan gagal. Karena
tidak ingin kehilangan dia maka mereka mengambil langkah pencegahan. Pamanku
berperan dalam hal ini."
"Dan kau?"
"Tidak, aku justru merasa kalau Iida seharusnya dibunuh. Takeo bisa berhasil, dan
lagi tidak ada yang berani memberontak selama Iida masih hidup."
Sungguh tak bisa dipercaya, pikir Kaede. Aku terjebak dalam rencana jahat.
Shizuka mengatakan soal membunuh Iida dengan entengnya, seakan-akan Iida
hanyalah petani atau orang biasa. Bila ada yang mendengar, kami pasti akan disiksa
sampai mati. Meskipun udara panas, tubuhnya menggigil kedinginan.
"Apa yang akan Tribe lakukan pada Takeo?"
"Dia akan menjadi bagian dari mereka, dan hidupnya akan menjadi sebuah
rahasia."
Jadi aku tak akan bertemu dengannya lagi, piker Kaede.
Terdengar suara dari jalan setapak, Lady Maruyama dan anaknya, Mariko, serta
pembantunya, Sachie, melintasi sungai lalu duduk bersama. Lady Maruyama nampak
pucat, sepucat Shizuka tadi pagi. Sikapnya berubah. Dia telah kehilangan kendali
dirinya yang kuat. Dia menyuruh Mariko dan Sachie pergi bermain bulu tangkis yang
mereka bawa.


206
Kaede berusaha berkata dengan normal. "Lady Mariko adalah gadis yang cantik."
"Tidak terlalu cantik, tapi pintar dan baik," balas Lady Maruyama. "Dia lebih
mirip ayahnya. Mungkin dia beruntung. Kecantikan hanya akan membawa bencana
bagi seorang wanita." Dia tersenyum pahit, lalu berbisik kepada Shizuka. "Hanya
tersisa sedikit waktu. Kuharap Lady Shirakawa bisa dipercaya."
"Rahasiamu aman bersamaku," kata Kaede pelan.
"Shizuka, katakan apa yang terjadi." kata Lady Maruyama.
"Takeo diambil oleh Tribe. Hanya itu yang Lord Shigeru tahu."
"Aku tidak menyangka Kenji akan berkhianat. Sungguh menyakitkan."
"Shigeru mengatakan bahwa semua ini adalah pertaruhan yang sia-sia. Dia tidak
menyalahkan siapa pun. Dia mencemaskan keselamatanmu. Kau dan anak itu."
Semula Kaede mengira anak yang dimaksud oleh Shizuka adalah Mariko, tapi
begitu melihat kilasan rona memerah di wajah Lady Maruyama. Ia tak bicara lagi.
"Apa yang harus kita lakukan? Haruskah kita melarikan diri?" Lady Maruyama
memilin-milin lengan kimono dengan jarinya yang putih.
"Jangan melakukan sesuatu yang mencurigakan."
"Shigeru tidak akan melarikan diri?" Suara Lady Maruyama terdengar tipis, setipis
alang-alang.
"Aku telah menyarankan itu, tapi dia menolak. Dia diawasi ketat dan selain itu, dia
merasa hanya bisa bertahan bila dia menunjukkan keberaniannya. Dia bertingkah
seakan-akan dia percaya pada Iida dan menyetujui persekutuan Tohan dengan Otori."
"Dia akan tetap melanjutkan pernikahan?" suara Lady Maruyama meninggi.
"Dia harus lakukan itu, seolah-olah pernikahan itu adalah keinginannya," kata
Shizuka berhati-hati. "Kita juga harus begitu, jika ingin Lord Shigeru tetap hidup."
"Iida telah mengirim pesan, dia memaksaku menerima pinangannya," kata Lady
Maruyama. "Selama inl aku selalu menolak demi Shigeru." Dia menatap gundah wajah
Shizuka.
"Lady," kata Shizuka. "Jangan bicara soal ini lagi. Bersabarlah, kuatkan dirimu.




207
Yang dapat kita lakukan hanyalah menunggu. Kita harus berpura-pura tidak terjadi
apa-apa, dan kita harus menyiapkan pernikahan Lady Kaede."
"Mereka akan gunakan itu untuk membunuhnya," ujar Lady Maruyama. "Kaede
begitu cantik, tapi juga mematikan."
"Aku juga tak ingin laki-laki mana pun mati karenaku," teriak Kaede, "apalagi
Lord Otori." Tiba-tiba air matanya menetes, dan ia membuang muka.
"Sayang sekali kau tidak menikahi Lord Iida dan mendatangkan kematian
baginya!" seru Lady Maruyama.
Kaede tersentak seakan terkena tamparan.
"Maaf," bisik Lady Maruyama. "Aku bukanlah diriku yang sebenarnya. Akhirakhir
ini aku tidak bisa tidur. Aku putus asa—karena Shigeru, karena Mariko, karena
diriku, karena anak kami. Kau tidak pantas menerima kekasaranku. Kau terperangkap
dalam hubungan kami, tak ada kesalahan yang harus ditimpakan kepadamu. Kuharap
kau tidak berpikiran buruk kepadaku."
Dia meraih dan menggenggam tangan Kaede. "Seandainya aku dan anakku mati,
kaulah pewarisku. Aku mempercayakan wilayah dan rakyatku kepadamu. Jagalah
mereka baik-baik." Dia membuang muka, menatap ke seberang sungai, matanya terang
karena air mata.
"Jika pernikahan ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Shigeru, maka
dia harus menikahimu. Tapi, Iida pasti akan membunuhnya setelah itu."
Di ujung taman ada anak tangga yang dibatasi kubu dan dindingnya berada di tepi
parit. Di parit itu ada dua perahu yang terikat. Ada pintu yang terbuka di seberang
anak tangga, Kaede menduga gerbang itu akan ditutup bila malam tiba. Parit dan
sungai terlihat dari pintu gerbang yang terbuka itu. Dua orang penjaga sedang duduk
bermalas-malasan di dekat dinding, terbius oleh panasnya cuaca.
"Udara akan terasa dingin bila berada di atas air," kata Lady Maruyama.
"Pendayung itu mungkin mau dibayar..."
"Sebaiknya jangan, Lady!" kata Shizuka. "Jika kau melarikan diri, Iida akan curiga.




208
Satu-satunya kesempatan kita untuk bisa keluar dari sini yaitu saat Arai mendekat."
"Arai tidak akan mendekati Inuyama selama Iida masih hidup," kata Lady
Maruyama. "Dia tidak akan berani. Kastil ini sangat sulit diserang. Iida hanya bisa
diserang dari dalam kastil."
Dia mengalihkan pandangan ke menara penjaga. "Kita terperangkap di kastil ini,"
katanya. "Kita dalam genggaman bangunan ini, tapi aku harus keluar dari sini."
"Jangan bertindak gegabah," Shizuka memohon.
Mariko datang, dia mengeluhkan cuaca yang terlalu panas untuk bermain. Sachie
ikut dari belakangnya.
"Aku akan mengajaknya ke kamar," kata Lady Maruyama. "Dia juga harus
belajar..." Suaranya tercekat, dan air matanya menetes lagi. "Sungguh malang nasib
anakku," katanya. "Kasihan kedua anakku ini." Tangannya mengelus-ngelus perutnya.
"Lady," kata Sachie. "Kau harus beristirahat."
Kaede meneteskan air mata simpati pada Lady Maruyama. Batu-batu yang
menyusun menara dan dinding serasa menekan tubuhnya. Lengkingan jangkrik
semakin meninggi dan menusuk kepala; hawa panas terasa bergaung dari dalam tanah.
Lady Maruyama benar, pikirnya: mereka telah terperangkap, dan tidak ada jalan untuk
lolos.
"Kau ingin kembali ke kamar?" tanya Shizuka.
"Nanti saja." Ada satu hal yang ingin Kaede tanyakan. "Shizuka, sepertinya kau
bisa datang dan pergi dengan begitu mudah. Penjaga pasti mempercayaimu."
Shizuka mengangguk. "Aku memiliki kemahiran dari Tribe dalam hal ini."
"Dari sekian banyak wanita di sini, hanya kau yang bisa melarikan diri." Kaede
bimbang, ia tidak yakin bisa merangkai kata-kata yang tepat. Akhirnya dia berkata
dengan kesal, "Jika kau ingin pergi, aku tidak melarangmu. Aku tidak ingin kau tetap
di sini karenaku." Lalu ia menggigit bibirnya dan langsung membuang muka, ia tidak
tahu bagaimana ia bisa bertahan tanpa gadis yang telah menjadi tempatnya bergantung.
"Kita akan selamat jika tidak ada yang mencoba pergi," bisik Shizuka. "Tapi jika




209
ada yang mencoba melarikan diri, akan timbul masalah. Aku tak akan pergi kecuali kau
menyuruhku pergi, aku tidak akan meninggalkanmu. Kini hidup kita saling terikat."
Dia menambahkan, seakan berkata pada dirinya sendiri, "Bukan hanya laki-laki yang
memiliki kehormatan."
"Lord Arai yang mengirimmu," ujar Kaede. "Dan kau berasal dari Tribe, pihak
yang telah mengambil Lord Takeo. Apakah kau bebas menentukan pilihan? Dan kau
memilih kehormatan?"
"Untuk orang yang tidak pernah diajarkan apa pun, Lady Shirakawa tahu banyak
hal," kata Shizuka sambil tersenyum, dan untuk sesaat Kaede merasa lega.
Ia di paviliun seharian, ia hanya makan sedikit. Kadang wanita di rumah Iida
menemaninya, dan mereka berbicara tentang keindahan taman juga persiapan
pernikahan. Salah seorang yang pernah ke Hagi menggambarkan kota itu dengan
penuh kekaguman, menceritakan legenda tentang Otori kepada Kaede, dan membisikkan
tentang permusuhan lama antara Otori dengan Tohan. Mereka semua
bergembira karena pernikahan Kaede akan mengakhiri semua permusuhan itu, dan
memberitahukan padanya betapa senangnya Iida atas persekutuan yang telah
disepakati.
Tak tahu bagaimana menanggapi, dan juga karena tahu tentang rencana
pengkhianatan di balik rencana pernikahannya, Kaede lebih memilih untuk berpurapura
malu, tersenyum sampai wajahnya sakit, namun tidak banyak bicara.
Saat memandang ke arah lain, ia melihat Lord Iida sedang melintasi taman,
menuju ke paviliun. Dia ditemani tiga orang pengawal.
Semua langsung diam. Kaede memanggil Shizuka, "Aku mau ke dalam. Kepalaku
sakit."
"Aku akan memijat dan menyisir rambutmu," kata Shizuka, dan Kaede merasa
rambutnya terlalu berat. Badannya terasa lengket dan gerah di balik kimono. Ia
menantikan kesejukan saat malam tiba.
Namun, ketika ia menjauh dari paviliun, Lord Abe segera meninggalkan




210
rombongan laki-laki dan menghampiri mereka. Shizuka segera berlutut, dan Kaede
membungkuk, walaupun tidak terlalu dalam.
"Lady Shirakawa," katanya, "Lord Iida hendak berbicara denganmu."
Dengan berusaha menyembunyikan rasa enggannya, Kaede kembali ke paviliun.
Iida telah menunggu sambil bersila. Para pelayan menarik diri, menyibukkan diri
dengan melihat-lihat sungai.
Kaede duduk lalu berlutut di lantai kayu sambil menunduk, sadar kalau tatapan
Iida yang dalam seperti kolam lelehan besi sedang menatap seluruh tubuhnya.
"Kau boleh duduk," ujarnya singkat. Suaranya kasar dan kalimat sopan tidak
mudah terlontar dari Iidahnya. Kaede merasakan tatapan anak buah Iida. Suasana berubah
hening karena gairah dan rasa kagum mereka padanya. Kaede sudah mulai akrab
dengan situasi seperti ini.
"Shigeru sungguh beruntung," kata Iida, dan Kaede dapat mendengar ancaman
serta kekejaman dalam tawa para laki-laki itu. Ia menduga Iida akan membicarakan
tentang pernikahannya atau tentang ayahnya yang tak bisa hadir karena isterinya sakit.
Tapi kalimat berikutnya membuat Kaede kaget.
"Apakah Arai adalah kenalan lamamu?"
"Aku mengenalnya saat dia melayani Lord Noguchi," jawab Kaede dengan berhatihati.
"Kaulah yang membuat Noguchi mengucilkan dia," kata Iida. "Noguchi telah
membuat kesalahan fatal, dan dia sudah membayar impas kesalahannya itu. Saat ini
tampaknya aku akan berurusan dengan Arai di wilayahku." Dia menarik napas dalamdalam.
"Pernikahanmu dengan Lord Otori berlangsung di saat yang tepat."
Kaede berpikir, Aku gadis dungu, dibesarkan di Noguchi, setia dan bodoh. Aku tidak
tahu apa pun tentang intrik antar klan.
Kaede membuat wajahnya seperti boneka, dan suara yang kekanak-kanakan, "Aku
hanya ingin melaksanakan keinginan Lord Iida dan ayahku."
"Kau tidak mendengar tentang Arai selama perjalanan? Shigeru tidak pernah bicara



211
tentang dia?"
"Aku tidak pernah mendengar kabar tentang Lord Arai sejak dia pergi dari
Noguchi," jawab Kaede.
"Tapi mereka mengatakan kalau Arai selalu membelamu."
Kaede memberanikan diri menatap Iida melalui bulu matanya. "Aku tidak bisa
bertanggung jawab atas semua perasaan laki-laki padaku, Lord."
Mata mereka bertemu sejenak. Tatapan Iida menusuk tajam, ganas. Kaede merasa
kalau Iida juga menyimpan hasrat padanya, dan seperti laki-laki lain, Iida kesal
sekaligus tergoda akan gagasan kematian bila berhubungan dengan dirinya.
Rasa ingin muntah merayap di tenggorokannya. Ia memikirkan jarum yang
disembunyikan di balik lengan kimononya, dan membayangkan benda itu tergelincir
menusuk daging laki-laki ini.
"Tentu saja tidak," Iida menyetujui, "Tapi kami tidak bisa menyalahkan laki-laki
karena mengagumi dirimu." Lalu dia mengatakan pada Abe tanpa menoleh, "Kau
benar. Gadis ini cantik sekali." Seolah-olah dia sedang membicarakan sebuah karya
seni yang tidak bernyawa. "Kau hendak masuk kamar, kan? Jangan biarkan aku
menahanmu. Aku yakin kau kurang sehat."
"Lord Iida." Kaede membungkuk hingga menyentuh lantai lalu mundur hingga ke
tepi paviliun dalam keadaan membrtngkuk. Shizuka membantunya berdiri dan mereka
pun berjalan pergi.
Mereka tidak berbicara hingga sampai di kamar. Kaede berbisik, "Dia tahu semua."
"Tidak," balas Shizuka seraya mengambil sisir, dan mulai menyisiri rambut Kaede.
"Dia memang belum yakin, dan dia tidak mempunyai bukti. Kau melakukan dengan
sangat baik." Kemudian jari-jarinya memijat kulit kepala dan pelipis Kaede. Rasa
tegang Kaede mulai berkurang. Kaede bersandar ke Shizuka. "Ingin sekali aku pergi ke
Hagi. Maukah kau temani aku ke sana?"
"Jika tiba waktunya, kau tak akan membutuhkan aku lagi," balas Shizuka,
tersenyum.




212
"Aku akan selalu membutuhkanmu," balas Kaede. Nada melankolik merambat di
suaranya. "Mungkin aku akan bahagia bersama Lord Shigeru, andai saja aku tidak
bertemu Takeo, andai saja Lord Shigeru tidak mencintai—"
"Shush, shush," Shizuka mendesis, jarinya tetap bergerak dan memijat.
"Mungkin kami akan punya anak," lanjut Kaede, suaranya penuh dengan mimpi.
"Sayang sekali hal itu tak terjadi saat ini, tapi aku harus terus berharap bahwa semua itu
akan terwujud."
"Kita berada di ambang peperangan," bisik Shizuka. "Kita tak tahu apa yang terjadi
esok, biarkan masa depan yang menjawabnya."
"Di mana Lord Takeo? Tahukah kau?"
"Jika masih di kota ini berarti dia ada di salah satu rumah milik anggota Tribe.
Tapi mungkin mereka sudah keluar dari wilayah ini."
"Apakah aku bisa bertemu dengannya lagi?" tanya Kaede tanpa mengharapkan
jawaban, Shizuka pun tidak menjawab. Dia terus memijat. Dari pintu yang terbuka
terlihat taman yang berkilauan terkena cahaya matahati, lengkingan jangkrik terdengar
lebih tajam dari biasanya.
Perlahan-lahan cahaya matahari kian memudar dan bayangan pun mulai
memanjang.*




213
KETIKA siuman, aku berada di ruangan yang gelap, seperti di dalam gerobak.
Setidaknya ada dua orang yang menemaniku. Salah seorang di antaranya, dari caranya
bernapas, adalah Kenji, sedangkan seorang lagi pastilah perempuan karena aroma
wangi keluar dari tubuhnya. Mereka memegang erat kedua tanganku.
Aku merasa kesakitan, seperti ada yang telah memukul kepalaku. Gerakan gerobak
emakin membuatku kesakitan.
"Aku mau muntah," kataku. Kenji lalu melepaskan satu tanganku. Saat mencoba
duduk tegak, muncul rasa mual. Gadis itu juga melepas tanganku. Rasa mualku
langsung hilang begitu sadar kalau aku tak mungkin lolos. Aku melindungi kepalaku
dengan dua lengan, lalu aku terjang tirai gerobak, berusaha keluar dari gerobak.
Ternyata pintunya sangat kokoh. Tanganku seperti robek karena terkena paku. Kenji
dan gadis itu menarik ku kasar, memaksaku berbaring meskipun aku terus meronta dan
memukuli mereka. Dari depan gerobak ada orang yang membentak, memperingatkan
kami agar jangan ribut.
Kenji membentakku. "Diam! Tetap berbaring! Jika kita bertemu orang Tohan
sekarang, kau akan mati!"
Tapi aku telah kehilangan akal. Sewaktu kecil, aku sering membawa hewan liar ke
rumah: anak musang, rase, atau bayi kelinci. Aku tidak pernah bisa menjinakkan
mereka. Mereka selalu ingin melepaskan diri dengan cara membabi-buta dan liar. Kini
aku merasakan hal yang sama seperti yang mereka rasakan. Saat ini tidak ada yang
paling penting bagiku selain hendak meyakinkan Shigeru bahwa aku tidak berkhianat.




214
Aku tak akan pernah tinggal bersama Tribe. Mereka tak akan mampu menahanku.
"Bungkam dia," bisik Kenji pada gadis itu sambil bersusah payah memegangku
agar tak bisa bergerak. Dan di bawah kekuatan tangan gadis itu, duniaku pun mulai
berputar-putar dan kembali gelap.
Ketika sadar untuk yang kedua kalinya, aku yakin sekali kalau aku sudah mati. Aku
tidak dapat melihat maupun mendengar apa pun. Keadaannya sangat gelap dan sunyi.
Lalu aku mulai tenang kembali. Seluruh tubuhku mati rasa. Tenggorokanku lecet,
tanganku sakit berdenyut-denyut, pergelangan tanganku terluka, dan tanganku terikat.
Aku berusaha duduk, namun tanganku yang terikat di belakang membuat gerakanku
tertahan. Aku menggeleng-gelengkan kepala, tapi kain penutup mataku tidak juga
terlepas. Dan yang membuat aku ketakutan adalah aku tak bisa mendengar. Tapi aku
langsung bersyukur begitu tahu bahwa aku tidak biss mendengar karena ada yang
menyumbat telingaku.
Ketika ada yang menyentuh wajahku, aku langsung terloncat kaget. Kain penutup
mataku dibuka dan aku melihat Kenji sedang berlutut di sampingku. Ada lampu
minyak di sebelah Kenji, cahaya lampu itu menerangi wajahnya. Aku menyimpulkan
kalau dia berbahaya. Dia pernah bersumpah untuk melindungiku dengan nyawanya.
Tapi kini aku yang ingin terlindung darinya.
Mulutnya bergerak saat dia berbicara.
"Aku tak bisa mendengar," ujarku, "Cabut dulu sumbatnya."
Kenji mencabut sumbat telingaku, dan duniaku pun kembali. Selama beberapa saat
aku diam, berusaha memulihkan diri. Aku mendengar arus sungai di kejauhan, berarti
aku masih di Inuyama. Rumah ini sunyi senyap, semua orang telah tertidur selain
beberapa penjaga. Aku mendengar mereka berbisik di balik gerbang kastil. Kurasa hari
telah larut malam karena terdengar dentang lonceng malam dari biara yang tidak
begitu jauh.
Aku masih di dalam kastil.
"Maaf telah menyakitimu," kata Kenji. "Kau tidak perlu melawan kami terlalu




215
keras."
Marahku hampir meledak, tapi aku berusaha untuk mengendalikannya. "Di mana
aku?"
"Rumah salah seorang anggota Tribe. Satu atau dua hari lagi kami akan
membawamu keluar dari ibukota." Suaranya yang tenang membuatku semakin marah.
"Saat malam pengangkatanku kau mengatakan tak akan mengkhianati Shigeru.
Ingat?"
Kenji menghela napas. "Malam itu kami berbicara tentang kewajiban yang saling
bertentangan. Shigeru tahu aku akan mendahulukan Tribe. Aku telah mengingatkan
dia kalau Tribe juga berkepentingan padamu dan, cepat atau lambat, mereka akan
mengambilmu."
"Kenapa sekarang?" tanyaku tajam. "Kau kan bisa membiarkan aku satu malam
lagi."
"Secara pribadi aku bisa memberimu kesempatan itu. Namun, kejadian di
Yamagata membuat banyak hal berada di luar kendaliku. Lagi pula, sekarang ini kau
pasti sudah mati dan tidak berguna lagi bagi siapa-siapa bila Tribe tidak segera
mengambilmu."
"Aku bisa membunuh Iida lebih dulu," gerutuku.
"Itu juga telah dipertimbangkan," kata Kenji, "dan itu dianggap tidak ada
untungnya bagi Tribe."
"Banyak dari kalian yang bekerja pada Iida?"
"Kami bekerja pada orang yang bisa membayar dengan lebih baik. Kami
menginginkan masyarakat yang stabil, dan itu sulit terwujud jika terjadi perang. Iida
memang kejam, tapi keadaan tetap stabil. Dia cocok dengan tujuan kami."
"Jadi, selama ini kau telah menipu Shigeru?"
"Dia juga sering menipuku." Setelah diam, Kenji melanjutkan, "Sejak awal Shigeru
sudah ditakdirkan untuk mati. Banyak penguasa yang ingin menyingkirkan dia.
Sungguh luar biasa dia masih bisa bertahan sampai sekarang."




216
Rasa takut menjalari diriku. "Dia tidak boleh mati," bisikku.
"Iida akan melakukan apa saja untuk dapat membunuhnya," ujar Kenji lembut.
"Shigeru terlalu berbahaya bila dibiarkan hidup. Selain telah menyinggung Iida secara
pribadi-karena memiliki hubungan dengan Lady Maruyama dan mengangkatmukejadian
di Yamagata juga membuat Tohan waspada." Lampu di ruangan berkelapkelip
dan berasap. Kenji menambahkan, "Masalah yang ada pada Shigeru adalah
karena semua orang begitu mencintainya."
"Kita tidak boleh meninggalkan dia! Ijinkan aku kembali padanya."
"Aku tak berhak memutuskan," kata Kenji. "Bahkan jika aku yang berhak
memutuskan, aku tak akan melepasmu sekarang. Iida sudah tahu kau berasal dari
Hidden. Dia akan menyerahkanmu pada Ando, seperti yang telah dia janjikan. Shigeru
akan mati secara ksatria, cepat, dan terhormat. Sedangkan kau akan disiksa: kau sudah
tahu apa yang bisa mereka lakukan."
Aku tidak berkata lagi. Kepalaku masih sakit, dan perasaan gagal yang sulit
kutanggung ini merayap ke dalam diriku. Tujuanku hanya satu, ibarat tombak yang
tertuju ke satu sasaran. Tangan yang tadinya memegangku dilepaskan dan aku pun
jatuh, tak berdaya.
"Menyerah sajalah, Takeo," kata Kenji sambil menatapku. "Semuanya telah
berakhir."
Aku mengangguk perlahan, pura-pura setuju, "Aku haus."
"Akan kubuatkan teh. Itu bisa membantumu tertidur. Kau ingin makan sesuatu?"
"Tidak. Bisakah kau lepaskan aku?"
"Tidak malam ini," jawab Kenji.
Aku melayang di antara rasa kantuk dan terjaga, dan aku mencari posisi yang
nyaman untuk berbaring dalam keadaan tangan dan kaki terikat. Aku yakin dia tahu
kalau aku akan kabur bila dilepas. Hanya pikiran itulah yang bisa membuatku tenang,
walaupun tidak lama.
Hujan turun di saat fajar. Aku mendengar aliran air yang membanjiri selokan dan




217
menetes dari tepi atap. Tak lama kemudian ayam mulai berkokok dan kota mulai
terjaga dari tidurnya. Terdengar para pelayan berlalu-lalang di sekitar rumah, dan
tercium bau asap dari dapur. Aku juga mendengar suara dan langkah kaki, berusaha
menghitung jumlah mereka dan mengirangira denah rumah ini, membayangkan
letaknya dari jalan dan apa saja yang ada di kedua sisi rumah ini. Dari bau dan
suaranya, aku menduga tempat ini adalah gudang pembuatan sake, di salah satu rumah
besar di sudut kota kastil. Ruanganku tidak berjendela. Ukurannya sesempit tempat
tidur belut dan tetap gelap, walaupun di luar matahari bersinar terang.
Pernikahan Lord Shigeru akan dilangsungkan dua hari lagi. Apakah Shigeru akan
bertahan setelah pernikahan? Dan jika dia dibunuh sebelum hari pernikahan, apa yang
akan terjadi pada Kaede? Semua pikiran di kepalaku hanya membuatku kian tersiksa.
Bagaimana Lord Shigeru menjalani sisa dua harinya? Apa yang sedang dia lakukan saat
ini? Apakah dia juga memikirkan diriku? Membayangkan kalau Lord Shigeru mengira
aku melarikan diri sangat menyiksaku. Dan bagaimana pendapat pengawal Otori?
Mereka pasti akan membenciku.
Aku memanggil Kenji karena aku perlu ke kamar mandi. Dia melepaskan ikatan
kakiku dan mengantarku ke kamar mandi. Kami berjalan dari ruangan sempit ini ke
ruangan lebih luas, dan menaiki anak tangga ke halaman belakang. Seorang pelayan
datang membawa semangkuk air, lalu mencucikan tanganku. Ada banyak darah di
tubuhku, darah sebanyak itu tidak mungkin berasal dari luka karena terkena paku. Aku
pasti telah melukai seseorang dengan belati. Aku ingin tahu di manakah belatiku saat
ini.
Ketika kembali ke ruangan rahasia, Kenji tak lagi mengikat kakiku.
"Apa yang akan terjadi?" tanyaku.
"Cobalah tidur lebih lama. Tak akan terjadi apa-apa hari ini."
"Tidur! Aku tidak mau tidur lagi!"
Kenji menatapku dengan tatapan menyelidik, lalu berkata, "Semuanya akan segera
berlalu."




218
Jika tanganku tidak terikat, pasti sudah kubunuh dia.
Kuterkam dia dengan mengayunkan tanganku yang masih terikat. Gerakanku
membuatnya kaget, dan kami melayang, tapi secepat ular dia berbalik sehingga aku
yang tertindih badannya. Bila tadinya hanya aku yang marah, maka sekarang dia juga
marah. Aku pernah melihat dia marah, tapi sekarang ini dia murka. Dia memukul
wajahku dua kali, begitu keras pukulannya hingga gigiku bergetar dan kepalaku pusing.
"Menyerah sajalah!" teriaknya. "Akan kuhajar kau bila terpaksa. Itukah yang kau
mau?"
"Ya!" aku balas berteriak. "Pukul dan bunuh saja aku. Hanya itu yang dapat
menahanku di sini!"
Aku melengkungkan punggung dan berguling ke belakang, menjegal tubuhnya,
dan berusaha menendang dan menggigitnya. Dia memukulku lagi, tapi aku berhasil
menghindar dan, sambil menyumpahi dirinya, aku hempaskan tubuhku ke tubuhnya.
Terdengar langkah kaki dari luar, kemudian pintu terbuka. Gadis dari Yamagata
dan seorang pemuda berlari masuk. Akhirnya mereka bertiga menahanku, tapi karena
aku begitu marah sehingga mereka perlu waktu untuk bisa mengikat kakiku.
Darah Kenji mendidih karena murka. Gadis dan pemuda itu menatapku, lalu
menatap Kenji, kemudian menatapku lagi. "Guru," kata gadis itu, "Biar kami yang
mengawasi dia. Kau perlu istirahat." Jelas sekali kalau mereka sangat kaget dan terpana
melihat Kenji kehilangan kendali.
Aku dan Kenji telah bersama selama beberapa bulan sebagai guru dan murid. Dia
telah mengajarkan hampir semua yang dia tahu, dan aku patuh tanpa banyak tanya.
Selama ini aku telah terbiasa dengan sikapnya yang cerewet, kasar, tapi juga sederhana.
Aku telah menyingkirkan rasa curigaku yang ada saat pertama kali berjumpa
dengannya, dan aku mulai mempercayainya. Kini semuanya telah hancur, dan tak akan
bisa diperbaiki lagi.
Dia berlutut di depanku, memegang kepalaku dan memaksaku untuk menatapnya.
"Aku berusaha menyelamatkan nyawamu!" teriaknya. "Bisakah kau pahami itu dalam




219
batok kepalamu yang keras ini?"
Aku meludahinya, dan berusaha menguatkan diri untuk menerima sebuah pukulan
lagi, tapi pemuda itu menahannya.
"Pergilah, guru," pemuda itu mendesaknya.
Kenji lalu melepasku, kemudian berdiri. "Apakah kepala batu dan darah sintingmu
itu kau peroleh dari ibumu?" ujarnya. Sewaktu di pintu dia berbalik dan berkata,
"Awasi terus. Jangan lepas ikatannya."
Setelah kepergiannya, ingin rasanya aku menjerit dan menangis seperti anak kecil
yang marah. Air mata kemarahan dan putus asa menusuk kelopak di mataku. Aku
berbaring di kasur, lalu membalikkan wajah ke dinding.
Gadis itu keluar, kemudian datang membawa air dingin dan sehelai kain. Dia
membantuku duduk, lalu membasuh wajahku. Bibirku robek, dan aku dapat merasakan
memar di sekitar mata dan leherku. Dia membasuh dengan lembut, dan ini
membuatku tahu kalau dia bersimpati padaku, meskipun dia tidak mengatakan apaapa.
Pemuda yang menjagaku hanya diam.
Gadis itu memberiku teh dan makanan. Kuhirup tehnya, tapi menolak untuk
makan.
"Di mana belatiku?" tanyaku.
"Kami simpan," jawabnya.
"Apakah aku melukaimu?"
"Bukan aku, tapi Keiko. Dia dan Akio terluka di tangan, tapi tidak parah."
"Ingin sekali kubunuh kalian semua."
"Aku tahu," balasnya. "Tidak ada yang mengatakan kalau kau tidak bertarung
mati-matian melawan kami. Hanya saja, kau menghadapi lima orang Tribe. Jadi, kau
tidak perlu malu."
Sebaliknya, rasa malu meresap ke dalam diriku, seakan-akan rasa malu telah
menodai tulangku yang putih.


220
Hari yang panjang ini akhirnya berlalu, meskipun terasa lambat dan mencekam.
Lonceng malam baru saja berdentang dari biara di ujung jalan saat Keiko mendekat ke
pintu dan berbisik pada kedua orang yang menjagaku. Sebenarnya, aku bisa mendengar
kata-katanya dengan jelas, tapi di luar kebiasaan, aku seakanakan tidak mendengar.
Orang yang bernama Kikuta, menurutnya, akan datang melihatku.
Tak lama kemudian datang Kenji dan seorang lakilaki kurus yang tidak begitu
tinggi. Mereka mirip, penampilan mereka berubah-ubah sehingga sulit dikenali dengan
pasti. Hanya saja dia berkulit lebih gelap, mirip kulitku. Rambutnya hitam, meskipun
usianya sudah sekitar empat puluh tahun.
Dia menatapku sambil berdiri, lalu mendekat dan berlutut di sampingku. Sama
seperti yang Kenji lakukan ketika pertama kali bertemu denganku, dia meraih kedua
tanganku dan membalikkannya, melihat telapak tanganku.
"Mengapa dia diikat?" tanya orang itu. Suaranya biasa, sulit memastikan asalnya,
meskipun terkesan ada logat daerah utara.
"Dia berusaha kabur, ketua," kata si gadis. "Kini dia lebih tenang, tadi dia sangat
liar."
"Kenapa hendak kabur?" Dia berkata. "Ini kan kerabatmu."
"Kalian bukan kerabatku," balasku. "Sebelum tahu tentang Tribe, aku telah
memberi janji setia kepada Lord Otori. Aku telah resmi diangkat menjadi anggota klan
Otori."
"Uhhh," gerutunya. "Kudengar bangsawan Otori itu memanggilmu Takeo. Itu
nama aslimu?" Aku tidak menjawab.
"Dia dibesarkan di antara kaum Hidden," kata Kenji perlahan. "Nama aslinya
Tomasu."
Kikuta mendesis melalui giginya. "Nama itu memang sebaiknya dilupakan,"
katanya. "dan untuk sementara, kau tetap pakai nama Takeo, meskipun itu bukan
nama Tribe. Kau tahu siapa aku?"
"Tidak," kataku, walaupun aku bisa menebak. "Tidak, ketua." Pemuda yang




221
menjagaku sudah tidak tahan untuk memarahiku.
Kikuta tersenyum. "Apakah kau tidak mengajari dia sopan-santun, Kenji?"
"Sopan santun hanya diberikan pada orang yang pantas menerimanya," jawab
Kenji.
"Kelak dia akan pantas diajari sopan-santun. Aku adalah kepala keluargamu,
Kikuta Kotaro. Aku sepupu pertama ayahmu."
"Aku tidak pernah mengenal ayahku, dan aku tak pernah menggunakan namanya."
"Tapi kau mewarisi semua kelebihan Kikuta: pendengaran yang tajam, kemampuan
seni, dan kemampuan lainnya yang kau miliki. Begitu juga dengan garis di telapak
tanganmu. Itu semua bukan sesuatu yang dapat kau hindari."
Secara samar-samar aku mendengar langkah kaki di pintu toko yang letaknya di
bawah tempat aku disekap. Aku mendengar ada yang menggeser pintu agar terbuka,
lalu bicara, tidak begitu penting, hanya bicara tentang sake. Kikuta berbalik perlahan.
Aku merasakan sesuatu: awal dari suatu pengakuan.
"Kau juga mendengarnya?" tanyaku.
"Tidak sebanyak yang kau dengar. Pendengaranku semakin berkurang seiring
bertambahnya usia. Tetapi masih cukup baik hingga saat ini."
"Ada biarawan muda di Terayama yang mengatakan bahwa pendengaranku
'Seperti anjing'." Aku berkata dengan nada pahit. "'Berguna bagi tuanmu,' begitu yang
dia katakan. Itukah alasannya kau menculikku, karena aku berguna untukmu?"
"Bukan itu alasannya," ujar Kepala Kikuta itu. "Tapi karena kau terlahir sebagai
Tribe. Di sinilah tempatmu. Kau tetap menjadi keluarga kami meskipun kau tidak
mewarisi sifat Tribe. Kalau pun kau memiliki semua kemampuan yang ada di dunia,
tapi kau tidak terlahir sebagai Tribe, maka bukanlah keluarga kami, dan kami pun tak
akan berurusan denganmu. Tapi, karena ayahmu seorang Kikuta, maka kau adalah
Kikuta."
''Aku tidak punya pilihan?"
Dia kembali tersenyum. "Menjadi Tribe bukan sesuatu yang bisa kau pilih, sama




222
halnya dengan memiliki kemampuan pendengaran yang tajam."
Entah mengapa, orang ini membuatku tenang, sama seperti ketika aku
menenangkan kudaku: dia memahami sifatku. Belum pernah aku bertemu orang yang
tahu bagaimana rasanya menjadi Kikuta. Dia membangkitkan ketertarikanku.
"Bila aku menerima; apa yang akan kau lakukan padaku?"
''Akan kucarikan kau tempat yang aman, jauh dari Tohan, agar kau bisa
menuntaskan latihanmu."
"Aku tidak ingin berlatih lagi. Aku sudah muak dengan guru!"
"Muto Kenji dikirim ke Hagi karena dia sahabat Shigeru. Dia telah mengajarimu
banyak hal, tapi Kikuta harus diajarkan oleh Kikuta."
Aku tidak mendengarkan kalimat selanjutnya. "Sahabat? Dia telah menipu
Shigeru!"
Suara Kikuta berubah pelan. "Kau memiliki kemampuan yang luar biasa, Takeo,
dan tak ada orang yang meragukan keberanian dan ketulusanmu. Hanya saja kepalamu
yang perlu kau kuasai. Kau harus belajar mengendalikan emosi."
'Agar aku dapat mengkhianati sahabatku, seperti yang Muto Kenji lakukan?" Saatsaat
tenang segera berlalu. Rasa marahku kembali meledak. Kuserahkan diriku pada
rasa marah karena hanya marah yang bisa menyapu rasa malu yang kini kurasakan.
Kedua penjaga di dekatku bersiap menahanku, namun Kikuta melambaikan tangannya
sehingga mereka tidak jadi menahanku. Dan, dia mengambil tali ikatanku dan
menggenggamnya erat.
"Lihat aku," katanya.
Meskipun enggan, mataku menatap matanya. Aku merasa terhanyut dalam lautan
emosi, dan hanya mata orang itu yang mampu menahanku agar tidak tenggelam ke
dasarnya. Perlahan-lahan marahku reda. Rasa letih mengambil alih diriku. Aku tak
mampu menahan rasa kantuk yang datang seperti gumpalan awan di puncak gunung.
Kikuta terus menatapku, mataku tertutup, dan aku pun ditelan kabut.
Hari beranjak siang sewaktu aku terbangun. Cahaya matahari masuk ke ruangan di




223
atas ruangan tempatku disekap sehingga memantulkan cahaya jingga di tempatku
berbaring. Aku tak percaya bila hari telah siang lagi: aku pasti tertidur seharian. Ada
seorang gadis duduk di lantai, tidak jauh dariku. Aku pun menyadari kalau pintu baru
saja digeser agar tertutup karena bunyi itu yang membuatku terbangun. Orang lain
yang menjagaku pasti baru saja keluar.
"Siapa namamu?" tanyaku. Suaraku tercekat, tenggorokanku masih sakit.
"Yuki."
"Dan pemuda tadi?"
Pemuda itu yang aku lukai tangannya, menurut pengakuan Yuki beberapa waktu
lalu. "Apa yang dia lakukan padaku?"
"Ketua Kikuta? Dia hanya membuatmu tidur. Itu salah satu kemampuan Kikuta."
Aku teringat anjing-anjing yang ada di Hagi. Salah satu kemampuan Kikuta...
"Waktu apa sekarang?" tanyaku.
"Separuh pertama dari Waktu Ayam Jago*."
"Ada kabar lain?"
"Tentang Lord Otori? Tidak ada." Kemudian dia mendekat dan berbisik, "Kau
ingin aku mengantarkan pesan untuknya?"
Aku menatapnya. "Kau bisa?"
"Aku bekerja sebagai pelayan di tempat tinggalnya, seperti yang kulakukan di
Yamagata." Dia melayangkan tatapan yang penuh arti. "Aku akan coba menemuinya
malam ini atau esok pagi."
"Sampaikan bahwa aku dibawa dengan paksa. Sampaikan permintaan maafku..."
Aku sulit menyusun kata-kata. Aku memotong, "Mengapa kau lakukan ini?"
Dia menggelengkan kepala, tersenyum, dan menunjukkan kalau kami jangan
berbicara lagi. Akio kembali masuk ke ruangan. Salah satu tangannya dibalut dan dia
memperlakukan aku dengan dingin.
Mereka membuka ikatan kakiku dan membawaku ke kamar mandi, melepas
bajuku, dan membantuku masuk ke bak yang berisi air panas. Aku bergerak seperti




224
orang lumpuh, semua ototku sakit.
"Itulah yang kau lakukan saat kau marah," kata Yuki. "Kau telah menyakiti dirimu
dengan kekuatan yang kau miliki."
"Itu alasannya kau harus belajar menahan diri," Akio menambahkan. "Jika tidak,
kau akan membahayakan orang lain, sama seperti yang kau lakukan pada dirimu."
Saat membawaku kembali ke ruangan, Akio berkata, "Kau telah melanggar semua
aturan Tribe dengan ketidakpatuhanmu. Semoga rasa sakitmu bisa menjadi hukuman
buatmu."
Ternyata Akio bukan hanya marah karena kulukai: dia juga benci dan cemburu
padaku. Namun, aku tak peduli. Sakit kepalaku semakin menusuk, dan meskipun
marahku telah reda, tapi kini rasa duka yang menggantikannya.
Menganggap aku sudah tenang, mereka biarkan aku tidak terikat. Kondisikulah
yang rnembuat aku tak bisa pergi ke mana-mana. Aku hampir tak bisa berjalan, apalagi
memanjat dinding dan atap. Aku hanya makan sedikit, inilah pertama kalinya aku
makan sejak dua hari di sini. Yuki dan Akio pergi, dan digantikan oleh Keiko dan
pemuda yang bernama Yoshinori. Tangan Keiko juga dibalut. Mereka berdua, sama
seperti Akio, memperlakukanku dengan tidak bersahabat. Kami semua bungkam.
Aku teringat Lord Shigeru, dan berharap Yuki berhasil menyampaikan pesanku.
Dan tanpa sadar aku berdoa dengan cara kaum Hidden, semua kata-kata keluar begitu
saja dari mulutku. Aku telah menyerap semua doa itu sejak bayi. Layaknya anak-anak,
aku membisikkan kata-kata itu pada diriku dan sepertinya doaku itu membuatku
tenang karena tak lama kemudian aku tertidur pulas.
Tidur membuatku segar. Ketika terbangun, hari telah berganti pagi. Tubuhku
mulai pulih dan aku dapat bergerak tanpa terasa sakit. Yuki sudah datang, dan ketika
melihatku bangun, dia meminta Akio melakukan sesuatu. Sepertinya dia lebih tua dan
juga mempunyai wewenang atas mereka.
Dia langsung mengatakan berita yang selama ini kutunggu. "Semalam aku sempat
berbicara dengan Lord Otori. Dia sangat lega mendengar kau dalam keadaan baik-baik




225
saja. Dia takut kau tertangkap atau dibunuh orang Tohan. Dia menitipkan surat dan
berharap kau dapat membalasnya."
"Kau membawanya?"
Yuki mengangguk. "Dia juga membawakan sesuatu untukmu, aku
menyembunyikannya di lemari."
Dia menggeser pintu lemari tempat menyimpan alas tidurku, dan dari balik
selimut, dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang panjang. Aku mengenali kain
pembungkusnya: itu adalah baju yang Lord Shigeru pakai ketika menyelamatkanku di
Mino. Yuki meletakkan bungkusan itu di tanganku dan kuangkat ke depan wajahku.
Ada sesuatu yang keras di dalamnya. Aku tahu isi bungkusan ini. Aku membentangkan
pakaian itu dan mengangkat Jato.
Serasa mati dalam duka yang mendalam, air mataku berlinang: aku tak kuasa
menahannya.
Yuki berkata dengan lembut, "Dia akan pergi menikah tanpa membawa senjata.
Shigeru tak ingin pedang ini hilang jika dia tidak kembali dari sana."
"Dia tak akan pernah kembali," kataku, air mata mengalir deras di pipiku seperti
arus sungai.
Yuki mengambil Jato dari tanganku dan membungkusnya. Dia menyimpannya ke
dalam lemari.
"Mengapa kau lakukan ini?" kataku. "Kau telah melanggar aturan Tribe?"
"Aku berasal dari Yamagata," balasnya. "Aku di sana saat Takeshi dibunuh.
Keluarga kekasihnya yang mati bersamanya-anak mereka adalah teman bermainku. Ketika
di Yamagata, kau bisa melihat betapa besar cinta orang-orang di sana pada
Shigeru. Aku juga salah seorang di antara mereka. Dan aku yakin Kenji, ketua Muto,
salah menilai kalian." Ada nada menantang dalam suaranya, dia mirip anak yang
sedang marah dan memberontak. Aku tak bertanya lagi. Aku hanya bersyukur atas apa
yang telah dia lakukan untukku.
"Berikan suratnya," kataku setelah itu.




226
Shigeru belajar menulis langsung dari Ichiro dan tulisannya sangat rapi, sesuatu
yang sulit kupelajari: Takeo, akulah orang yang paling bahagia mendengar kau selamat.
Tak ada yang perlu disesalkan. Aku tahu kau tak akan mengkhianatiku, dan aku pun tahu
Tribe akan berusaha mengambilmu. Ingatlah aku kelak.
Lalu isi suratnya...
Takeo, karena beberapa alasan kita tidak bisa meneruskan rencana kita. Aku sangat
menyesal, tapi juga lega karena tidak jadi mengirimmu ke kematian. Aku percaya kau harus
bersama Tribe, maka takdirmu di luar kuasaku. Namun, kau juga anakku dan satu-satunya
pewarisku. Kuharap kelak kau menjadi penerus klan Otori. Jika aku mati di tangan Iida,
kuminta kau membalaskan kematianku, tapi jangan berduka karena aku akan mendapatkan
lebih banyak bila aku mati. Bersabarlah. Aku juga memintamu untuk menjaga Lady
Shirakawa.
Ikatan di masa lalu pasti akan memperkuat perasaan kita. Aku senang kita bertemu di
Mino. Salam peluk.
Ayah angkatmu, Shigeru.
Surat ini dibubuhi cap.
"Para pengawal Otori yakin kalau kau dan guru Muto dibunuh," kata Yuki.
"Mereka tak percaya kau meninggalkan Shigeru dengan begitu saja. Kurasa kau perlu
tahu itu."
Aku mengenang mereka, orang-orang yang selalu mengganggu sekaligus
memanjakanku, mengajarkan dan menjagaku. Mereka sangat bangga padaku, dan
masih tetap berpikir yang terbaik tentangku. Mereka pasti akan mati, dan ini
membuatku iri karena mereka akan mati bersama Shigeru, sedangkan aku dihukum
untuk tetap hidup, dan dimulai dengan hari yang buruk.
Setiap ada suara di luar membuatku terjaga. Suatu ketika, tak lama setelah tengah
hari, aku mendengar bunyi pedang beradu dan teriakan beberapa orang, tapi tidak ada
yang memberitahukan tentang kejadian itu. Kesunyian yang mencekam dan tidak biasa
melanda seluruh kota.




227
Satu-satunya yang membuatku tenang adalah Jato yang diletakkan tersembunyi,
tak jauh dariku. Aku sering berpikir untuk mengambilnya dan berusaha keluar dari sini,
namun pesan terakhir Lord Shigeru memintaku bersabar. Kemarahan telah
membuatku bersedih, tapi kini, saat air mataku mengering, rasa sedih memperkuat
tekadku. Iida harus mati lebih dulu dariku.
Sekitar Waktu Monyet, aku mendengar suara Yuki di bawah. Jantungku berhenti
berdetak, sadar kalau aku akan mendapat kabar mengenai peristiwa di kastil. Aku
sedang di ruangan bersama Keiko dan Yoshinori ketika Yuki datang dan menyuruh
mereka pergi.
Dia berlutut di sampingku, lalu dia menggenggam kedua tanganku. "Muto
Shizuka mengirim pesan dari kastil, dan tak lama lagi ketua akan menemuimu."
"Shigeru mati?"
"Tidak, lebih buruk: dia ditangkap. Nanti mereka yang akan mengatakan
kepadamu."
"Dia bunuh diri?"
Yuki bimbang. Dia berkata tanpa menoleh padaku. "Iida menuduh Shigeru adalah
anggota Hidden—dan juga menyembunyikan orang Hidden. Ando menuntut agar dia
dihukum. Lord Iida mencabut hak-hak istimewa Lord Shigeru sebagai ksatria dan
memperlakukan dia seperti penjahat biasa."
"Iida tak akan berani," kataku.
"Dia telah melakukannya."
Ketika mendengar ada langkah kaki mendekat dari luar, kemarahan dan shock
mengirimkan energi yang membanjiri tubuhku. Aku meloncat ke lemari untuk
mengambil Jato, dan menariknya dari sarung. Kupegang Jato dengan erat. Kuangkat
Jato ke atas kepalaku.
Kenji dan Kikuta masuk. Mereka berjalan perlahan ketika melihat Jato ada di
tanganku. Kikuta langsung meraih belati dari balik kimononya, Kenji diam tak
bergerak.




228
"Aku tak akan menyerangmu," kataku pada Kenji. "Meskipun kau layak mati. Aku
akan bunuh diri..."
Kenji memutar bola matanya ke atas. Kikuta berkata lembut, "Kami harap kau
tidak mengambil jalan itu." Dan tak berapa lama dia melanjutkan dengan nada tidak
sabar. "Duduklah Takeo. Kau sudah menjelaskan maksudmu."
Kami semua berlutut di lantai. Aku meletakkan Jato di sampingku.
"Kulihat Jato menemukanmu," kata Kenji. "Seharusnya aku sudah bisa
menduganya."
"Aku yang membawanya, guru," kata Yuki.
"Bukan kau, pedang itu yang memanfaatkanmu. Pedang itu yang berpindah dari
tangan ke tangan hingga sampai ke dia. Seharusnya aku tahu: pedang itu yang
membuatku mencari Shigeru setelah perang Yaegahara."
"Di mana Shizuka?" tanyaku.
"Di kastil. Dia tidak bisa datang. Terlalu berbahaya bila dia datang hanya untuk
menyampaikan pesan, tapi dia ingin kami tahu apa yang terjadi, dan menanyakan apa
yang akan kita lakukan."
"Katakan."
"Kemarin Lady Maruyama, anak serta pelayannya, berusaha melarikan diri dari
kastil." Suara Kikuta datar, tidak semangat. "Dia menyuap pemilik perahu untuk
membawa mereka ke seberang sungai. Sayangnya dia dikhianati dan dihadang. Ketiga
wanita itu menceburkan diri ke sungai, dan hanya si pelayan yang selamat. Padahal
lebih baik seandainya dia tenggelam karena dia akhirnya disiksa. Dia lalu
membocorkan hubungan Lady Maruyama dengan Shigeru, dan persekutuan mereka
dengan Arai, serta hubungan Lady Maruyama dengan kaum Hidden."
"Pernikahan tetap dilangsungkan sampai Shigeru tiba di kastil," ujar Kenji.
"Setelah pengawal Otori di dalam kastil, mereka lalu dibunuh dan Shigeru dituduh
berkhianat." Dia diam sejenak, lalu melanjutkan dengan lirih. "Saat ini Shigeru
digantung di dinding kastil."




229
"Disalib?" bisikku. '
"Kedua lengannya digantung."
Aku menutup mata, membayangkan rasa sakit, bahu yang terlepas dari sendinya,
mati secara perlahan. Ini adalah penghinaan yang sangat dahsyat.
"Kematian secara ksatria, cepat dan terhormat, ya?" kataku, menyindir pada Kenji.
Dia tidak membalas. Wajahnya, yang biasanya bergerak-gerak, kini tegang,
kulitnya pucat, putih.
Kusentuh Jato. Aku berkata pada Kikuta, "Aku mempunyai syarat sebelum
bergabung dengan Tribe. Aku yakin kalian bekerja pada orang yang mau membayar
paling tinggi. Dan aku akan membayar kalian dengan sesuatu yang kalian inginkan,
jiwa dan ragaku. Ijinkan aku menurunkan Shigeru malam ini. Jika kembali dengan
selamat, aku akan melepas nama Otori dan bergabung dengan Tribe. Jika kalian tidak
setuju, aku akan bunuh diri saat ini juga. Aku tak akan keluar dari sini hidup-hidup."
Dua ketua saling bertukar pandang. Kenji mengangguk. Kikuta berkata, "Aku
terima syaratmu karena situasinya telah berubah, dan kelihatannya kita menemui jalan
buntu."
Tiba-tiba, terdengar keriuhan dari jalan, orang-orang berlarian dan suara-suara
teriakan. Kami berdua mendengarkan sebagaimana yang Kikuta selalu lakukan. Suarasuara
tadi menghilang, lalu dia melanjutkan, "Kuijinkan kau pergi ke kastil malam ini."
"Aku akan ikut bersamanya," kata Yuki, "aku akan menyediakan semua keperluan."
"Jika guru Muto setuju," lanjutnya lagi.
"Boleh," kata Kenji, "Aku juga akan ikut bersama kalian."
"Kau tidak perlu ikut," kataku.
"Aku akan tetap ikut."
"Kalian tahu di mana Arai sekarang?" tanyaku.
Kenji berkata, "Sekali pun berjalan semalaman, dia tidak akan tiba sebelum fajar."
"Tapi dia dalam perjalanan?"
"Shizuka yakin dia tidak akan menyerang kastil. Satu-satunya harapan yaitu




230
memancing Iida berperang di perbatasan."
"Dan Terayama?"
"Mereka akan bangkit jika mendengar perlakuan biadab Iida," kata Yuki. "Begitu
juga Yamagata."
"Pemberontakan tak akan berhasil bila Iida masih hidup, tapi ini bukan urusan
kita," kata Kikuta dengan marah. "Kau boleh mengeluarkan Shigeru, hanya itu
kesepakatan kita, tidak lebih."
Aku tidak bicara lagi. Bila Iida masih hidup...
Hujan turun lagi, suara-suara lembut menyelimuti kota ini, membasuh atap dan
jalan berbatu, menyegarkan udara yang pengap.
"Bagaimana keadaan Lady Shirakawa?" tanyaku.
"Menurut Shizuka, dia masih shock, tapi dia tetap tenang. Mereka tidak
mencurigai dia, selain dituduh membawa sial. Semua orang mengatakan kalau dirinya
dikutuk, tapi dia dianggap tidak terlibat dalam rencana pemberontakan. Sachie ternyata
lebih lemah dari yang Tohan duga, dia mati tanpa sempat mengungkap keterlibatan
Shizuka."
"Dia mengatakan tentang aku?"
Kenji menghela napas, "Dia hanya tahu bahwa kau adalah orang Hidden yang
ditolong oleh Shigeru, sama seperti yang telah Iida tahu. Iida dan Ando menganggap
pengangkatanmu murni hanyalah untuk menghina mereka. Mereka tidak curiga kalau
kau adalah anggota Tribe, dan mereka juga tidak tahu kemampuan yang kau miliki."
Ini menguntungkan. Apalagi malam ini begitu gelap. Hujan yang reda telah
berganti dengan kabut disertai gerimis, awan mendung menggumpal, dan bulan serta
bintang tidak menampakkan diri. Tidurku yang pulas karena pengaruh Kikuta telah
membakar habis sifat lembutku dan yang tertinggal hanyalah sepotong baja dalam
diriku. Diriku kini persis seperti apa yang kulihat pada diri Kenji yang sebenarnya,
kejam seperti Jato.
Setelah kami menyiapkan semua perlengkapan dan juga pakaian, aku berlatih




231
untuk melemaskan ototku. Ototku masih kaku, walaupun sudah berkurang sakitnya.
Pergelangan tangan kananku masih terasa mengganggu. Saat mengangkat Jato,
sakitnya terasa hingga ke sikut. Akhirnya Yuki melilitkan pelindung tangan yang
terbuat dari kulit.
Saat paruh kedua Waktu Anjing*, setelah makan, kami lalu duduk diam untuk
mengatur napas dan aliran darah. Kami mematikan lampu kamar agar ketajaman
penglihatan di malam hari dapat meningkat. Jam malam mulai diberlakukan, para
pengawal berkuda berkeliling mengawasi setiap ruas jalan, memerintahkan penduduk
masuk ke rumah, dan jalan jalan pun sunyi. Rumah mulai melantunkan lagunya di
malam hari: bunyi piring yang dicuci, anjing diberi makan, beberapa penjaga yang
sedang duduk mengawasi. Aku mendengar langkah pelayan ketika membentangkan
alas tidur, bunyi sempoa dari ruang depan saat si pemilik rumah menghitung
penghasilannya hari ini. Alunan malam mulai berkurang dan nadanya menjadi teratur:
tarikan napas orang yang tidur, umumnya dengkuran, dan kadang desahan. Suara-suara
orang dalam keseharian sangat menyentuh jiwaku. Aku memikirkan keinginan ayahku
untuk hidup seperti orang biasa. Menangiskah dia saat aku lahir?
Setelah menyuruh Yuki meninggalkan kami berdua, Kenji lalu duduk di
sampingku. Dia berkata dalam nada rendah, "Shigeru dituduh memiliki kaitan dengan
Hidden—seberapa jauh keterlibatannya?"
"Dia tidak pernah mengatakannya, selain mengganti namaku, dan
memperingatkanku agar tidak berdoa."
"Rumor mengatakan kalau dia tidak menyangkal keterlibatannya; dia juga menolak
untuk menjelek-jelekkan Hidden," suara Kenji bingung, nyaris kesal.
"Saat pertama kali bertemu, Lady Maruyama menggambar simbol Hidden di
tanganku," kataku perlahan.
"Banyak sekali yang Shigeru sembunyikan," kata Kenji, "Kupikir aku
mengenalnya!"
"Dia tahu Lady Maruyama sudah meninggal?"




232
"Iida pasti sudah mengatakan padanya dengan senang."
Aku memikirkan hal ini selama beberapa saat. Aku tahu Shigeru akan menolak
untuk menyangkal kepercayaan yang selama ini dianut Lady Maruyama. Terlepas
Shigeru percaya atau tidak, dia tak akan mau digertak Iida. Dan hingga saat ini dia
tetap memegang janjinya pada Lady Maruyama sewaktu di Chigawa. Dia tidak akan
menikahi wanita lain dan dia tak akan hidup tanpa Lady Maruyama.
"Tak kusangka Iida akan memperlakukan dia seperti itu," kata Kenji. Kurasa dia
berusaha memaafkan dirinya, tapi pengkhianatannya terlalu sulit untuk dimaafkan.
Walaupun senang dan bersyukur dia akan menyertaiku malam ini, tapi setelah ini aku
tidak mau lagi bertemu dengannya.
"Ayo kita lepaskan Shigeru," kataku. Aku berdiri dan memanggil Yuki dengan
pelan. Dia datang, dan kami pun segera mengenakan pakaian malam Tribe yang
berwarna gelap, lalu menutup wajah dan tangan karrrl sehingga tak seinci pun kulit
yang terlihat. Kami mengambil garrotte, tali dan pengait besi, belati panjang dan
pendek, dan juga kapsul racun yang mematikan.
Ketika aku mengambil Jato. Kenji berkata, "Tinggalkan saja benda itu. Kau tidak
akan dapat memanjat dinding dengan pedang panjang itu."
Aku tidak mengacuhkan perintahnya. Aku tahu apo yang kuperlukan.
Rumah tempatku disekap terletak di sebelah barat kastil, di antara rumah-rumah
pedagang di sisi utara sungai. Di daerah ini banyak gang sempit dan jalan setapak
sehingga memudahkan kami bergerak tanpa terlihat. Di ujung jalan kami melewati
sebuah biara yang lampunya masih menyala dan ada beberapa biarawan sedang bersiap
melakukan ritual tengah malam. Seekor kucing yang duduk di sisi lentera batu hanya
diam saat kami lewat di depannya.
Di dekat sungai aku mendengar dentingan baja dan langkah kaki berderap. Begitu
sampai di pintu gerbang, Kenji menghilangkan diri. Yuki dan aku melompat ke atas
tembok dan merapatkan diri ke atap.
Ada patroli yang terdiri dari seorang berkuda dan enam orang berjalan kaki. Dua




233
orang membawa obor. Mereka bergerak maju di sepanjang jalan dan berlari di tepi
sungai, menerangi setiap gang dan memperhatikan sungai. Mereka begitu ribut
sehingga kami tidak perlu terlalu waspada.
Atap yang tepat di bawah wajahku basah dan licin. Hujan gerimis masih berlanjut,
membungkam semua suara.
Hujan akan membasahi wajah Shigeru....
Setelah patroli lewat, kami menjatuhkan diri dari atap lalu berjalan ke arah sungai.
Ada kanal kecil terbentang di bawah jalan setapak. Yuki memimpin kami masuk ke
gorong-gorong yang ada di bawah jalan. Kami merayap ke dalam saluran air itu, dan
muncul di tepi sungai. Air menutupi jejak kami.
Bayangan gelap kastil berada di depan. Lapisan awan begitu rendah sehingga aku
hampir tidak bisa melihat ' menara kastil yang tinggi. Antara kami dan tembok kubu
terbentang sungai, lalu tanah kosong, dan setelah itu ada parit yang menyerupai sungai
kecil.
"Di mana dia?" aku berbisik pada Kenji.
"Di timur, tepat di bawah rumah Iida. Dinding yang ada rantai-rantai besi."
Empedu serasa melompat ke tenggorokanku. Sambil melawannya, aku bertanya,
"Penjaga?"
"Di koridor tepat di atasnya. Mereka berjaga di situ, Sedangkan di bawahnya ada
patroli."
Seperti yang pernah kulakukan di Yamagata, aku duduk dan menatap kastil
beberapa saat. Kami bertixa diam. Aku merasakan darah Kikuta menjalar di sekujur
tubuhku, mengalir dalam nadi dan otot-ototku. Aku pun akan mengalir seperti air ke
kastil dan memaksa kastil untuk menyerahkan apa yang ada dalam genggamannya.
Kuambil Jato dari sabuk dan kusembunyikan di tepi sungai, di rumput. "Tunggu di
sini," bisikku. "Aku akan membawa tuanmu kemari."
Kami turun ke sungai dan menyelam ke seberang. Ketika muncul, aku mendengar
ada patroli yang melintas di taman, tepat di seberang parit. Kami bersembunyi di




234
alang-alang sampai mereka lewat, setelah itu kami lalu berlari melintasi rawa kemudian
berenang menyeberangi parit.
Dinding kubu pertama terletak di tepi parit. Di atasnya ada tembok kecil beratap
yang mengelilingi taman di depan rumah Iida. Di antara dinding rumah dan dinding
kubu terdapat rawa-rawa. Kenji melompat ke tanah untuk mengawasi patroli,
sementara aku dan Yuki merayap menyusuri atap genteng ke sudut tenggara. Dua kali
aku mendengar Kenji memperingatkan kami dengan cara menirukan suara jangkrik,
dan kami pun bersembunyi di bagian atas tembok ketika patroli lewat di bawah.
Aku duduk berlutut dan memandang ke atas. Di atasku berderet jendela koridor
yang terletak tepat di belakang rumah Iida. Semua jendela tertutup dan dipalang,
kecuali satu jendela yang jaraknya paling dekat dengan rantai besi tempat Shigeru
digantung. Pergelangan tangannya diikat dengan tali. Kepalanya terkulai. Aku mengira
dia sudah mati, tapi kemudian aku melihat kakinya bergerak perlahan di tembok,
berusaha mencari pijakan. Aku mendengar desah napasnya yang lambat. Dia masih
hidup.
Nightingale floor tiba-tiba bernyanyi. Aku langsung tiarap kembali di atap. Aku
mendengar jendela dibuka, lalu jerit kesakitan Shigeru ketika rantai disentakkan dan
kakinya tergelincir.
"Menarilah Shigeru, ini hari pernikahanmu!" seorang penjaga mencemoohnya.
Kemarahanku memuncak. Yuki lalu menyentuh tanganku untuk menenangkan.
Kemarahanku pun mereda dan berubah menjadi kekuatan.
Kami menunggu selama beberapa saat. Tidak ada lagi yang berpatroli di bawah
kami. Apakah Kenji telah membungkam mereka semua? Lampu di jendela berkelapkelip
dan berasap. Dalam jeda waktu yang tidak lama, selalu saja ada penjaga yang
datang. Setiap kali Lord Shigeru, yang menderita di ujung tali itu, mendapat tempat
berpijak di dinding, ada saja penjaga yang datang dan menggoyangkan talinya sehingga
dia hilang keseimbangan.
Jendela itu tetap terbuka. Aku berbisik pada Yuki. "Kita harus memanjat dinding.




235
Kau bunuh orang yang muncul di jendela, sedangkan aku turun menggunakan tali
untuk meraih tubuh Shigeru. Kau potong tali yang mengikat pergelangan tangannya
yang ada di dekat jendela itu bila kau mendengar suara kijang. Saat itulah aku akan
menurunkan tubuh Shigeru."
"Kita bertemu di kanal," kata Yuki.
Segera setelah para penyiksa itu pergi, kami menjatuhkan diri ke tanah, melintasi
lahan sempit, dan mulai memanjat dinding kastil. Yuki memanjat ke arah jendela,
sementara aku berpegangan pada tepi bawah jendela, mengambil tali dari pinggangku
dan mengikatkannya pada salah satu rantai besi.
Lantai kembali berbunyi. Aku menghilangkan diri dengan merapat ke tembok.
Aku mendengar ada yang keluar dari jendela tepat di atasku, lalu terdengar sentakan
perlahan, suara kaki menendang tidak berdaya melawan garrotte, kemudian sunyi.
Yuki berbisik, "Cepat."
Aku lalu menuruni dinding ke arah Shigeru, tali terulur saat aku merayap. Hampir
saja aku dapat meraih tubuhnya ketika aku mendengar bunyi jangkrik. Sekali lagi aku
menghilangkan diri, sambil berdoa semoga kabut bisa menyembunyikan tali yang
terulur. Patroli lewat di bawahku. Ada bunyi percikan air dari arah parit. Perhatian
mereka langsung tertuju ke sana. Salah seorang penjaga berjalan ke sudut tembok,
menerangi air dengan obor. Cahaya yang berpindah membuat warna dinding yang
putih menjadi pudar.
"Tikus air," teriaknya. Rombongan patroli itu pun pergi dan langkah kaki mereka
lambat-laun tak terdengar lagi.
Kini saatnya bagiku untuk bergerak cepat. Aku tahu kalau penjaga yang lain tak
lama lagi akan muncul dari jendela di atasku. Berapa lama lagi Yuki dapat membunuh
mereka satu demi satu? Temboknya licin, tapi taliku lebih licin lagi. Aku merayap
turun hingga sejajar dengan Shigeru.
Matanya tertutup, tapi dia bisa mendengar dan merasakan kehadiranku. Dia
membuka mata, membisikkan namaku tanpa ada nada kaget, dan memberi senyuman




236
yang tulus, hatiku kembali hancur.
Aku berkata, "Ini akan terasa sakit. Tapi jangan bersuara."
Dia menutup mata dan menempelkan kakinya ke dinding.
Setelah mengikat erat tubuhnya ke tubuhku, aku lalu menirukan suara kijang. Yuki
memotong tali yang menggantung Shigeru. Terdengar napas lega Shigeru karena
lengannya kini bebas, meskipun dia belum bebas. Tambahan beban tubuh Shigeru
membuatku hilang keseimbangan di permukaan dinding yang licin ini, dan ketika kami
berdua jatuh, aku berdoa agar tali ini mampu menahan berat kami. Akhirnya tali ini
membawa kami turun hingga beberapa depa di atas tanah dengan sentakan yang benarbenar
sakit.
Kenji muncul dari gelap, dan bersama-sama, kami melepaskan ikatan Shigeru dan
membawanya ke dinding.
Setelah Kenji melemparkan pengait, kami lalu menarik tubuh Shigeru. Kami
ikatkan tali ke tubuhnya lagi, lalu Kenji menurunkan dia ke bawah sementara aku turun
melalui dinding sambil memeganginya, berusaha mengurangi rasa sakitnya.
Tanpa berhenti saat melewati rawa, kami bawa dia berenang melintasi parit yang
mengelilingi kastil, menutupi wajahnya dengan kain hitam. Bila cuaca tidak berkabut,
kami pasti akan terlihat karena kami tidak mungkin membawa Shigeru menyelam.
Kemudian kami bawa dia melintasi sebidang tanah yang masih berada di kastil ke tepi
sungai. Shigeru hampir pingsan, berkeringat karena rasa sakit, bibirnya pecah-pecah
karena dia gigit agar tidak bersuara. Kedua bahunya terkilir, seperti yang kucemaskan,
dan dia juga muntah darah karena luka dalam.
Hujan kian deras. Kijang berlarian melihat kehadiran kami; namun tak ada
kegaduhan di kastil. Kami lalu membawa Lord Shigeru ke sungai dan berenang secara
perlahan ke seberang. Hujan menjadi anugrah karena menutupi kami, menyamarkan
setiap bunyi, tapi itu juga berarti aku tidak bisa melihat Yuki waktu aku menoleh ke
kastil.
Ketika sampai di tepi sungai, kami membaringkan Shigeru di rerumputan. Kenji




237
lalu membukakan kain penutup kepala dan menyeka air di wajah Shigeru.
"Maafkan aku, Shigeru," kata Kenji.
Lord Shigeru hanya tersenyum, tidak bicara. Setelah mengumpulkan kekuatan, dia
membisikkan namaku.
"Aku di sini."
"Kau menyimpan Jato?"
"Ya, Lord Shigeru."
"Gunakan Jato sekarang. Bawalah kepalaku ke Terayama dan kuburkan aku di sisi
makam Takeshi." Dia berhenti bicara saat getaran rasa sakit menyapu seluruh
tubuhnya, kemudian dia berkata, "Dan bawa kepala Iida kepadaku di sana."
Saat Kenji membantunya duduk, Shigeru berkata lirih, "Takeo tak pernah
membuatku kecewa." Aku menarik Jato dari sarung. Shigeru meregangkan lehernya
dan menggumamkan beberapa kata: doa orang Hidden menjelang ajal, lalu dia
menyebut nama Sang Pencerah. Aku pun berdoa semoga aku tak membuatnya kecewa.
Malam ini jauh lebih gelap dibanding saat Jato ada di tangannya ketika menyelamatkan
diriku di Mino.
Kuangkat Jato, pergelangan tanganku terasa sakit, dan memohon maaf pada
Shigeru. Pedang ular ini melompat dan menggigit saat terakhir kali mengabdi pada
tuannya, dia membebaskan tuannya ke dunia yang berikutnya.
Malam begitu hening. Semburan darahnya begitu dahsyat. Kami mencuci kepala
Shigeru di sungai, lalu membungkusnya, di matanya tidak nampak rasa sedih atau pun
menyesal.
Ada bunyi percikan air, dan tidak lama kemudian Yuki muncul seperti berangberang.
Dengan kemampuan penglihatannya yang tajam, dia mengawasi situasi di
depannya, lalu berlutut di samping tubuh Shigeru, berdoa. Kuangkat kepala Shigeru
dan kuletakkan di atas tangan gadis itu.
"Bawalah ini ke Terayama," kataku. "Kita akan bertemu di sana."
Dia mengangguk, dan kulihat cahaya dari giginya yang putih saat dia tersenyum.




238
"Kita harus pergi," bisik Kenji. "Kita telah bekerja dengan sangat baik, dan kini
semua telah berakhir."
"Aku harus mempersembahkan tubuhnya pada sungai." Aku tidak tega
meninggalkan tubuh Shigeru tergeletak begitu saja di tepi sungai. Kuambil batu dari
mulut kanal lalu kuikat di pinggang Shigeru karena hanya bagian itu yang tersisa dari
pakaiannya. Kenji dan Yuki membantuku mengangkat tubuh Shigeru ke sungai.
Aku berenang ke dasar sungai yang paling dalam dan melepaskan tubuhnya. Aku
merasa terseret arus dan melayang-layang bersama jasad Shigeru. Darah menyembul ke
permukaan air, kegelapan bertemu dengan putihnya kabut, dan sungai segera
membawanya.
Aku terkenang rumah kami di Hagi, di mana setiap sore selalu ada bangau yang
datang ke kolam di depan pintu. Kini Lord Otori Shigeru telah tiada. Air mataku
berlinang dan arus sungai membawa linangan air mataku.
Bagiku, semua ini belum berakhir. Aku kembali ke tepi sungai untuk mengambil
Jato. Ada noda darah di mata pedang. Aku membersihkan bekas darah itu lalu
memasukkan ke sarung. Kenji benar-Jato akan merintangiku memanjat tembok-namun
aku memerlukannya saat ini. Aku tak berkata apa-apa pada Kenji dan Yuki, selain,
"Kita akan bertemu di Terayama."
Kenji berbisik, "Takeo," dengan nada tidak yakin, tapi dia tahu aku tidak bisa
dihalangi. Dia merangkul Yuki. Saat itulah aku sadar kalau Yuki adalah anaknya.
Setelah itu, Kenji mengikutiku kembali ke sungai.*




239
KAEDE menunggu datangnya malam. Ia sadar kalau tidak mempunyai pilihan lain
kecuali bunuh diri. ia memikirkan tentang bunuh diri sama seperti ia memikul semua
bebannya. Kehormatan keluarganya bergantung pada perkawinan ini—begitulah
yang ayahnya katakan. Kini, dalam keadaan bingung dan situasi yang kacau, ia
sampai pada keyakinan bahwa bunuh diri merupakan satu-satunya cara untuk
melindungi nama dan kehormatan keluarganya.
Kaede seharusnya menikah malam ini. Saat ini ia masih memakai pakaian
pengantin buatan para wanita Tohan. Kimono ini lebih mewah dan anggun dari pakaian
mana pun yang pernah ia pakai, namun di balik baju ini ia merasa begitu kecil
dan rapuh seperti boneka. Mata para pelayan nampak merah karena menangisi
kematian Lady Maruyama, namun Kaede baru mengetahui kejadian itu setelah
semua pengawal Otori dibantai. Kemudian kengerian demi kengerian diungkapkan
padanya sehingga Kaede merasa seperti akan gila karena marah sekaligus sedih.
Rumah dengan kamar yang anggun, yang penuh dengan karya seni dan taman
yang begitu indah, berubah menjadi tempat penyiksaan dan kekerasan. Dinding luar,
di seberang nightingale floor, tergantung orang yang seharusnya ia nikahi. Sepanjang
sore ia selalu mendengar para penjaga mencemooh dan tertawa. Hatinya hancur, dan
ia pun menangis tiada henti. Kadang ada yang menyebut namanya, dan ia sadar kalau
reputasinya semakin buruk. Ia merasa bersalah atas semua kejadian ini. Ia menangis
karena penghinaan Iida pada Lord Shigeru. ia juga menangis karena rasa malu kedua
orangtuanya akibat dirinya.




240
Saat ia mengira air matanya telah habis karena menangis, air mata menetes lagi
hingga membasahi wajahnya. Lady Maruyama, Mariko, Sachie... telah pergi, hanyut
oleh arus kekejaman Tohan. Semua orang yang ia sayangi mati atau hilang.
Dan ia pun menangisi dirinya karena baru berumur lima belas tahun tapi
hidupnya telah berakhir. Ia berduka atas suami yang tidak pernah ia nikahi, anakanak
yang belum ia lahirkan, dan masa depan yang akan segera berakhir pada sebilah
belati. Hanya satu yang membuat ia tenang: lukisan pemberian Takeo. Ia menggenggam
dan menatap lukisan itu lekat-lekat. Tak lama lagi ia akan bebas, sebebas
burung dalam lukisan itu.
Shizuka pergi ke dapur untuk mengambil makanan, dan di saat melewati
penjaga, ia bersenda-gurau tanpa menunjukkan rasa duka. Tapi, saat ia kembali ke
kamar, topeng yang dia pakai dilepas. Di wajahnya nampak kesedihan yang
mendalam.
"Lady," dia berkata dengan ceria, berpura-pura ceria. "Akan kusisir rambutmu.
Rambutmu kusut. Dan kau juga harus mengganti pakaian."
Shizuka membantu Kaede melepas pakaian dan memanggil pelayan untuk
membawa pergi berlapis-lapis kimono yang berat itu.
"Aku ingin memakai pakaian tidur," kata Kaede. "Aku tak mau bertemu siapasiapa
lagi hari ini."
Dalam balutan pakaian dari bahan katun ringan, Kaede duduk di lantai dekat
jendela yang terbuka. Air hujan menetes dengan lembut dan dingin. Taman yang
diselimuti kabut seakan-akan turut berduka-cita.
Shizuka lalu duduk berlutut, mengangkat rambut Kaede yang berat dan
mengelusnya hingga ke ujung rambut. Dia berbisik, "Aku telah mengirim pesan ke
rumah Muto di kota. Aku sudah menerima balasannya. Takeo memang
disembunyikan di sana, seperti yang kuduga. Takeo diijinkan untuk mengambil
tubuh Lord Otori."
"Lord Otori sudah mati?"




241
"Tidak, belum." Suara Shizuka tersendat karena luapan emosi. "Perbuatan biadab
itu," gumamnya, "Penghinaan padanya. Dia tidak boleh dibiarkan seperti itu. Takeo
harus menjemputnya."
Kaede berkata, "Kalau begitu, Takeo juga akan mati hari ini."
"Orang suruhanku juga sedang ke tempat Arai," bisik Shizuka. "Tapi aku tidak
tahu apakah dia bisa datang menolong kita tepat pada waktunya."
"Aku tidak yakin ada orang yang mampu menantang Tohan," kata Kaede. "Lord
Iida tak mungkin dikalahkan. Kekejamannya yang telah membuat dia kuat." Kaede
menatap keluar jendela, di luar hujan gerimis, kabut menutupi gunung. "Mengapa
kaum lelaki selalu membuat dunia menjadi keras?" ia bertanya dengan nada rendah.
Sepasang angsa yang terbang menjerit dengan nada duka. Di kejauhan, di dekat
dinding, terdengar teriakan seekor kijang.
Kaede mengelus rambutnya. Rambutnya basah oleh air mata Shizuka. "Kapan
Takeo datang?"
"Jika jadi, tengah malam ini." Keduanya terdiam beberapa saat. Kemudian
Shizuka melanjutkan, "Tapi jangan terlalu berharap."
Kaede diam tidak membalas. Aku akan menunggunya, ia berjanji pada dirinya.
Aku akan melihatnya sekali lagi.
Ia menyentuh gagang belati yang dingin di balik kimononya. Shizuka yang
memperhatikan gerakkannya, mendekat, lalu memeluknya. "Jangan takut. Apa pun
yang kau lakukan, aku akan selalu bersamamu. Aku akan ikut denganmu ke dunia
berikutnya."
Mereka berpegangan tangan cukup lama. Letih karena emosi, Kaede menjadi
bingung dan sedih. Ia merasa seakan sedang bermimpi dan masuk ke dunia lain,
dunia di mana ia berbaring dalam pelukan Takeo, tanpa ada rasa takut. Hanya dia
yang bisa menyelamatkanku, pikirnya. Hanya dia yang bisa membawa kembali
kehidupan padaku.
Kemudian ia mengatakan ingin mandi, dan meminta Shizuka mencabut alis serta




242
menggosok telapak dan tungkai kakinya. Setelah itu Kaede makan sedikit kemudian
duduk menghadap keluar untuk menenangkan diri, bermeditasi seperti yang pernah
diajarkan saat ia masih kanak-kanak, sambil mengingat wajah damai Sang Pencerah
di Terayama.
"Kasihanilah diriku," doanya. "Bantulah aku untuk mendapatkan keberanian."
Seorang pelayan datang membentangkan alas tidur. Kaede bersiap merebahkan
diri dan meletakkan belatinya di bawah kasur. Malam mendekati Waktu Tikus*, dan
penghuni rumah pun telah tertidur, selain tawa penjaga di kejauhan saat terdengar
nightingale floor bernyanyi. Ada yang mengetuk pintu. Shizuka membuka pintu dan
langsung bersujud. Kaede mendengar suare Lord Abe.
Dia datang menangkap Shizuka, pikir Kaede ketakutan.
Shizuka berkata, "Hari telah larut malam, tuan, Lady Shirakawa ingin
beristirahat," tapi suara Abe memaksa. Abe melangkah mundur. Shizuka menoleh
pada Kaede dan berbisik, "Lord Iida ingin bertemu," sebelum lantai kembali
bernyanyi.
Iida masuk ke kamar, diikuti Abe dan orang bertangan satu, orang yang ia tahu
bernama Ando.
Kaede melihat wajah mereka, ada rona merah karena minuman sake dan rasa
senang karena telah membalas dendam. Kaede segera menyembah hingga kepalanya
menyentuh lantai, jantungnya berpacu cepat.
Iida duduk bersila. "Duduk tegak, Lady Shirakawa."
Kaede mengangkat kepala dengan enggan. Iida memakai pakaian malam, tapi
ada pedang di sabuknya. Kedua orang yang duduk di belakangnya juga membawa
pedang. Mereka duduk tegak sambil mengamati Kaede dengan rasa ingin tahu.
"Maaf telah mengganggumu di larut malam ini," kata Iida, "Tapi aku merasa
hariku belum berakhir tanpa menyampaikan rasa penyesalanku karena telah menempatkan
dirimu dalam posisi yang tidak menguntungkan." Dia tersenyum,
menunjukkan giginya yang besar-besar. Dari balik bahu, dia memberi perintah pada




243
Shizuka, "Pergilah."
Mata Kaede membelalak dan deru napasnya semakin kencang, namun ia tak
berani untuk melihat ke arah Shizuka. Ia mendengar pintu ditutup dan yakin
Shizuka akan tetap berada di dekatnya, di ruangan sebelah. Kaede duduk tanpa
bergerak, menunduk, menunggu Iida melanjutkan perkataannya.
"Pernikahanmu yang kupikir dapat mempererat persekutuanku dengan Otori
malah dijadikan alasan bagi ular berbisa untuk menggigitku. Tapi, kurasa, sarangnya
telah musnah." Mata Iida tetap terpaku pada wajah Kaede. "Kau telah menghabiskan
waktu bersama Otori Shigeru dan Maruyama Naomi. Apakah menurutmu mereka
merencanakan sesuatu untuk melawanku?"
"Aku tidak tahu apa-apa, Lord," kata Kaede dan menambahkan perlahan. "Jika
ada, rencana itu hanya akan berhasil bila aku tidak tahu."
"Uhhh," gerutunya, dan setelah keheningan yang panjang, dia berkata, "Di mana
pemuda itu?"
Kaede tak menyangka kalau jantungnya bisa berdetak lebih cepat lagi,
debarannya mampu membuat pelipisnya berdenyut dan ia seperti akan pingsan.
"Pemuda yang mana, Lord Iida?"
"Anak angkat Shigeru yang bernama Takeo."
"Aku tidak tahu apa-apa tentang dia," balasnya, seakan-akan bingung. "Kenapa
aku harus tahu?"
"Apa pendapatmu tentang dia?"
"Dia masih muda, sangat pendiam. Tampaknya dia juga kutu buku; dia senang
melukis." Kaede memaksakan diri untuk tersenyum. "Dia agak kikuk dan.. mungkin
kurang berani."
"Lord Abe juga menganggap seperti itu. Kami baru tahu kalau dia itu orang
Hidden. Dia berhasil lolos dari hukumannya setahun lalu. Apakah ada alasan lain,
selain untuk menghina dan mengejekku, sampai Shigeru berani menyembunyikan,
dan bahkan mengangkat dia sebagai anak?"


244
Kaede tidak menjawab. Jaringan intrik tampak sulit dia mengerti.
"Lord Abe yakin anak itu melarikan diri ketika Ando mengenalinya.
Kelihatannya anak itu penakut. Cepat atau lambat kami akan menangkapnya dan
akan aku gantung dia di samping ayah angkatnya." Mata Iida mengerling ke arahnya,
tapi Kaede tidak menanggapi. "Sehingga semua dendamku pada Shigeru lunas."
Giginya bersinar ketika dia menyeringai. "Tapi, ada pertanyaan yang lebih penting
lagi: bagaimana denganmu? Mendekatlah!"
Kaede bergerak maju sambil membungkuk. Detak jantungnya melambat, bahkan
seperti hendak berhenti. Waktu pun berjalan lambat. Malam semakin senyap. Hujan
berbisik lembut. Seekor jangkrik sedang bernyanyi riuh.
Iida mencondongkan badan ke depan dan mengamati Kaede. Cahaya lampu
jatuh tepat di wajah Iida, dan ketika Kaede mengangkat mata, ia melihat wajah Iida
penuh dengan nafsu.
"Aku turut berduka, Lady Shirakawa. Peristiwa ini telah membuat namamu
semakin tercemar, tapi karena ayahmu setia padaku, maka aku merasa bertanggung
jawab padamu. Apa yang harus kulakukan?"
"Aku hanya ingin mati," balas Kaede. "Biarkan aku mati dengan terhormat.
Ayahku akan lega."
"Namun itu akan menimbulkan masalah tentang penerus klan Maruyama,"
katanya. "Mungkin aku yang akan menikahimu. Dengan begitu, masalah wilayah kekuasaan
akan selesai, dan akan mengakhiri rumor tentang dirimu yang
mendatangkan bahaya pada laki-laki."
"Kehormatan itu terlalu besar bagiku," ujar Kaede.
Iida tersenyum dan kukunya yang panjang menyentuh gigi depannya. "Aku tahu
kau mempunyai dua adik perempuan. Aku akan menikahi adikmu yang tertua. Dan
kurasa, sebaiknya kau yang mencabut nyawamu sendiri."
"Lord Iida." Kaede membungkuk.
"Dia gadis yang luar biasa, bukan?" kata Iida tanpa menoleh pada orang di




245
belakangnya. "Cantik, pintar, dan berani. Tapi semua itu akan sia-sia."
Kaede kembali duduk tegak, memalingkan wajahnya dari Iida, dan bertekad
untuk tidak memperlihatkan wajahnya pada laki-laki itu.
"Aku yakin kau masih perawan," kata Iida sambil mengulurkan tangan untuk
menyentuh rambut Kaede. Kini Kaede sadar bahwa Iida ternyata jauh lebih mabuk
dari yang ia duga. Kaede mencium bau sake dari napasnya saat orang itu
mencondongkan badan untuk mendekat. Sentuhan Iida membuat ia gemetar
ketakutan. Iida tertawa melihat Kaede gemetar. "Menyedihkan Nla kau mati
perawan. Setidaknya kau harus alami satu malam bercinta."
Kaede merasa tidak percaya atas perkataan Iida, Kini ia bisa membuktikan semua
kebejatan moral orang ini, seberapa jauh dia telah terperosok ke dalam lubang nafsu
dan kekejaman. Kekuasaan yang besar telah membuatnya sombong dan kejam. Kaede
merasa seakan sedang bermimpi, ia dapat melihat apa yang akan terjadi, tapi ia tidak
mampu mencegahnya. Ia tidak bisa mempercayai apa yang akan orang ini lakukan.
Iida memegang kepala Kaede dengan kedua tangannya lalu membungkuk untuk
menciumnya. Kaede segera memalingkan wajah sehingga bibir Iida hanya menyentuh
lehernya.
"Jangan," katanya. "Jangan, Lord. Jangan permalukan diriku. Biarkan saja aku
mati!"
"Bukanlah sesuatu yang memalukan untuk membuatku senang," katanya.
"Kumohon, tidak di depan orang-orang ini," pinta Kaede sambil menangis,
seolah ia akan menyerahkan diri. Rambutnya terurai ke depan hingga menutupi wajahnya.
"Tinggalkan kami," kata Iida dengan kasar pada kedua pengawalnya itu. "Tak
ada yang boleh menggangguku hingga fajar."
Kaede mendengar langkah kedua orang itu menjauh dari kamar. Ia mendengar
Shizuka menyapa mereka, ingin rasanya ia berteriak, namun ia tak berani. Iida
berlutut di sampingnya, menggendong, dan membawanya ke alas tidur. Iida lalu




246
melepas korset dan kimono Kaede. Kemudian Iida membuka pakaiannya, lalu berbaring
di samping Kaede. Kulit Kaede bergidik oleh rasa takut dan jijik.
"Malam ini milik kita," adalah kata-kata terakhir yang Iida ucapkan. Ketika
tubuh Iida menekan tubuhnya, Kaede teringat pada penjaga di kastil Noguchi. Mulut
Iida yang menyentuh mulutnya membuat Kaede marah dan jijik. Kedua tangan
Kaede menjangkau ke belakang kepala, gerakan ini membuat Iida mengerang senang
karena tubuh Kaede melengkung di tubuhnya. Dan dengan tangan kiri Kaede
memegang jarum di balik lengan kiri kimononya. Kaede langsung menusuk mata
Iida ketika wajah orang itu mendekat ke wajahnya. Iida berteriak, jeritannya tak jauh
berbeda dengan jeritan nafsunya. Kaede menarik belati dari bawah kasur dengan
tangan kanannya, lalu ia tikam ke tubuh Iida. Iida jatuh dengan belati tertusuk
dijantungnya.*




247
AIR di rambut dan bulu mataku menetes berdesakkan seperti pohon willow dan
bambu. Aku pun basah dengan darah, walaupun darah tidak meninggalkan noda di
pakaianku yang berwarna gelap. Kabut kian tebal. Kenji dan aku bergerak dalam
dunia hantu, tidak nyata dan tidak dapat dilihat dengan mata. Aku bertanya-tanya,
apakah aku sudah mati, dan muncul sebagai malaikat pembalas dendam. Saat
tugasku malam ini selesai, aku akan menghilang, kembali ke nirwana. Kesedihan
mulai melantunkan lagi nyanyian kepedihan di hatiku, namun aku belum boleh
mendengarnya.
Kami muncul dari parit dan memanjat dinding. Aku merasakan beratnya Jato di
panggulku, seakan aku sedang membawa Shigeru. Aku merasa seakan-akan roh
Shigeru telah masuk ke tubuhku dan mengukirkan dirinya di tulang-tulangku. Dari
atas dinding taman aku mendengar langkah kaki patroli. Mereka panik; mereka
mencurigai adanya penyelusup, dan saat mereka melihat tali gantungan Shigeru
terpotong, mereka langsung berhenti, berseru kaget, dan menatap tajam ke atas, ke
rantai besi tempat Shigeru digantung.
Aku dan Kenji masing-masing membunuh dua penjaga. Mereka mati dalam
empat tusukan sebelum sempat melihat ke bawah lagi. Shigeru benar. Pedang
melompat dari tanganku seakan bergerak atas kemauannya sendiri. Rasa kasihanku
tidak mampu menghalanginya.
Jendela di atasku masih terbuka, lampunya bersinar remang-remang. Istana Iida




248
sunyi, diselimuti oleh nyenyaknya Waktu Kerbau*. Ketika kami memanjat dan masuk
melalui jendela yang terbuka itu, kami jatuh di atas beberapa mayat penjaga yang
telah dibunuh Yuki. Kenji mengeluarkan suara pujian dengan pelan. Aku berjalan ke
pintu yang berada di antara koridor dan ruang penjaga. Aku tahu ada empat ruangan
yang terletak di sepanjang koridor. Ruangan pertama terbuka dan mengarah ke ruang
tunggu, ruangan tempat aku dan Shigeru pernah menunggu sambil melihat lukisan
bangau. Tiga ruangan lainnya tersembunyi di balik kamar Iida.
Nightingale floor mengitari seluruh rumah dan juga di bagian tengah yang
menjadi batas antara ruangan laki-laki dan ruangan wanita. Lantai itu kini ada di
depanku, berkilauan di sinari lampu, sunyi senyap.
Aku merunduk dalam gelap. Dari jauh, di ujung bangunan, aku mendengar ada
suara: dua orang laki-laki dan seorang perempuan.
Shizuka.
Beberapa saat kemudian baru aku tahu kalau kedua orang itu adalah Abe dan
Ando; tapi aku tak yakin berapa banyak jumlah penjaga: Mungkin ada dua orang
bersama mereka, dan sepuluh orang atau lebih yang berada di ruangan rahasia. Aku
mengenal suara yang berasal dari ujung ruangan, suara Iida. Mungkin Abe dan Ando
sedang menunggu Iida di sana—tapi di mana Iida, dan mengapa Shizuka bersama
mereka?
Shizuka bersuara ringan, nyaris genit, sedangkan suara kedua orang itu terdengar
letih, mengantuk, dan agak mabuk.
"Aku akan mengambil sake lagi," aku mendengar suara Shizuka.
"Ya, nampaknya malam ini akan menjadi malam yang panjang," balas Abe.
"Malam terakhir akan selalu terasa pendek," balas Shizuka, ada maksud tertentu
di balik nada suaranya.
"Malam ini tidak perlu menjadi malam terakhir, andai kau mau bertindak cepat,"
kata Abe dengan nada berat. "Kau menarik dan tahu bagaimana memanfaatkannya.
Kujamin kau akan aman."




249
"Lord Abe!" Shizuka tertawa pelan. "Bisakah aku mempercayaimu?"
"Ambilkan lagi sake dan akan kutunjukkan seberapa banyak kau bisa
mempercayaiku."
Lantai bernyanyi saat Shizuka melangkah keluar ruangan dan menapaki lantai
itu. Langkah lebih berat mengikutinya, dan Ando berkata, "Aku ingin melihat
Shigeru menari lagi. Sudah setahun aku menantikan peristiwa ini."
Begitu mereka berjalan ke tengah ruangan, aku lalu berlari mengelilingi tepi
lantai dan meringkuk di dekat ' pintu ruang tunggu. Lantai tetap hening di bawah telapak
kakiku. Ketika Shizuka berjalan melewatiku, Kenji menirukan suara jangkrik.
Shizuka melangkah ke tempat yang gelap.
Ando masuk ke ruangan tunggu, lalu berjalan ke ruang penjaga. Dengan marah
dia berteriak membangunkan penjaga yang kelihatan seperti tertidur, dan di saat
itulah Kenji mengait Ando dengan pengait besi. Aku masuk ke dalam, lalu membuka
penutup kepalaku sambil memegang lampu agar dia dapat melihat wajahku.
"Kau ingat aku?" bisikku. "Kau tahu siapa aku? Aku adalah pemuda dari Mino.
Ini untuk orang-orang di desaku. Dan untuk Lord Otori."
Matanya menunjukkan rasa tidak percaya dan juga marah. Aku tidak
menggunakan Jato. Kupakai garrotte untuk membunuhnya, sementara Kenji
memegangnya sedangkan Shizuka hanya menyaksikan.
Aku berbisik pada Shizuka, "Di mana Iida?"
Dia menjawab, "Dengan Kaede. Di kamar paling ujung. Aku akan menjaga Abe
agar dia tidak keluar ruangan saat kau ke sana. Iida hanya berdua dengan Kaede. Jika
ada masalah di sini, aku dan Kenji yang akan mengurusnya."
Aku tidak memperhatikan apa yang dia katakan.
Darahku yang semula terasa dingin, kini membeku. Aku menghela napas dalamdalam,
membiarkan kegelapan Kikuta masuk dan mengambil alih seluruh tubuhku,
lalu aku berlari di atas nightingale floor.
Di taman, hujan mendesis dengan lembut. Kodok-kodok bernyanyi di kolam.




250
Aku mendengar napas para penghuni wanita yang masih tertidur lelap. Aku mencium
wangi bunga, kayu pinus, dan juga bau sengit dari kamar mandi. Aku melayang
melintasi lantai tanpa menggunakan berat tubuh, seperti hantu. Ada bayangan kastil
di belakangku, di depanku ada sungai mengalir. Iida sedang menungguku.
Ada lampu menyala di ruang kecil di kamar paling ujung. Jendela kayunya
terbuka, tapi tirai dari kertas tertutup. Dari pantulan sinar jingga lampu, aku melihat
seorang wanita sedang duduk tidak bergerak, rambutnya terurai.
Dengan Jato di tangan, aku dorong jendela hingga terbuka lalu meloncat masuk
ke dalam kamar.
Kaede sedang berdiri dengan pedang di tangannya, penuh darah.
Iida terbaring menelungkup di atas kasur. Kaede berkata. "Cara terbaik untuk
membunuh laki-laki yaitu dengan menggunakan pedangnya. Itulah yang Shizuka
ajarkan."
Matanya terbelalak, tubuhnya menggigil. Pemandangan ini hampir tak dapat
dipercaya: seorang gadis muda dan lemah berdiri di samping seorang laki-laki kuat
dan berkuasa yang tergeletak tanpa nyawa.
Aku letakkan Jato ke lantai. Kaede menurunkan pedang Iida dan mendekatiku.
"Takeo," ucapnya, seakan-akan baru terjaga dari mimpi. "Dia mencoba... Aku
membunuhnya..."
Kemudian ia berada dalam pelukanku. Kupeluk dia hingga gemetarnya berhenti.
"Kau basah," bisiknya. "Kau tidak kedinginan?"
Sebelumnya aku tidak merasa kedinginan, namun kini aku kedinginan, gemetar
seperti dia. Iida sudah mati, tapi bukan aku yang membunuhnya. Aku merasa seperti
telah mengkhianati pembalasan dendamku, tapi takdir tidak bisa diperdebatkan,
takdir telah menentukan kematian Iida di tangan Kaede. Aku kecewa tapi juga lega.
Kini aku dapat memeluk Kaede seperti yang selama ini kuimpikan.
"Aku berharap mati malam ini," kata Kaede. "Kurasa kita berdua akan mati,"
kataku.




251
"Tapi, kita akan mati bersama," dia bernapas di telingaku. "Tak akan ada yang
datang ke kamar ini sebelum fajar."
Suara dan sentuhannya membuatku sakit karena cinta dan gairah.
"Kau menginginkan diriku?" katanya.
"Kau tahu aku menginginkanmu." Kami jatuh berlutut, tetap berpelukan.
"Kau tidak takut padaku? Bagaimana dengan apa yang terjadi pada laki-laki
karenaku?"
"Tidak. Kau tak berbahaya bagiku. Kau takut?"
"Tidak," Kaede berkata dengan ragu. "Aku ingin bersamamu sebelum mati."
Mulutnya bertemu dengan mulutku. Dia melepaskan korsetnya, dan kimononya pun
jatuh terbuka. Aku melepas pakaianku yang basah dan menyentuh kulitnya yang
selama ini sangat kurindukan. Tubuh kami bersentuhan, diliputi gairah dan kegilaan.
Aku bisa mati bahagia setelah ini, namun ibarat sungai, hidup menyeret kami ke
depan. Nampaknya keabadian segera berlalu karena beberapa saat kemudian aku
mendengar lantai bernyanyi dan suara Shizuka berkata kepada Abe. Di kamar
sebelah, seorang pelayan mengigau, diikuti tawa yang membuatku merinding.
"Apa yang Ando lakukan?" tanya Abe.
"Dia tertidur," jawab Shizuka terkekeh-kekeh. "Dia tidak bisa bertahan seperti
Lord Abe."
Terdengar cairan bergelegak saat dituang dari botol ke mangkuk. Aku
mendengar Abe meneguk. Aku mencium kelopak mata dan rambut Kaede. "Aku
harus kembali ke Kenji," bisikku. "Aku tidak bisa meninggalkan dia dan Shizuka
begitu saja."
"Kenapa kita tidak mati bersama?" balasku, "Di saat kita bahagia?"
"Kenji kemari karenaku," balasku. "Jika bisa menyelamatkan dia, maka aku harus
melakukannya."
"Aku ikut." Dia segera berdiri, memakai kimono, lalu mengambil pedang.
Lampu meredup, nyaris padam. Di kejauhan, ayam mulai berkokok.




252
"Jangan. Kau tunggu di sini. Aku akan menjemputmu kernari lalu kita keluar
melalui taman. Kau bisa berenang?"
Dia menggelengkan kepala. "Aku tak bisa berenang. Tapi, ada perahu di parit.
Mungkin bisa kita gunakan."
Kemudian aku mengenakan pakaian, merasa ngilu saat pakaian yang lembab
menyentuh kulitku. Ketika aku mengambil Jato, pergelangan tanganku terasa sakit,
pasti akibat salah satu pukulan tadi. Teringat untuk mengambil kepala Iida, aku lalu
meminta Kaede untuk meregangkan leher Iida dengan menarik rambutnya. Dia
melakukan apa yang aku pinta dengan sedikit tersentak.
"Ini untuk Lord Shigeru," bisikku saat Jato menebas lehernya. Iida telah
mengeluarkan banyak darah sehingga tidak ada darah yang menyembur. Kupotong
kimono Iida untuk membungkus kepalanya, beratnya sama seperti berat kepala
Shigeru saat aku serahkan pada Yuki. Aku seperti tidak percaya semua ini terjadi
dalam semalam. Aku meletakkan bungkusan kepala di lantai, merangkul Kaede sekali
lagi, lalu kembali berjalan di jalan yang sama waktu aku datang.
Kenji masih di ruang penjaga, dan aku mendengar Shizuka tertawa-tawa kecil
dengan Abe. Kenji berbisik, "Patroli sebentar lagi datang. Mereka akan menemukan
mayat-mayat ini."
"Sudah selesai," kataku. "Iida sudah mati."
"Kalau begitu, ayo pergi. Aku akan membuat perhitungan dengan Abe."
"Biarkan saja dia dengan Shizuka."
"Kita juga harus membawa Kaede."
Kenji menatapku tajam. "Lady Shirakawa? Apa kau sudah gila?"
Hampir gila, kurasa. Aku tak menjawab. Sebaliknya, aku sengaja melangkah di
atas nightingale floor dengan menginjak keras-keras.
Lantai langsung menjerit. Abe berteriak, "Siapa di sana?"
Dia bergegas keluar ruangan tanpa kimono, dan pedang ada di tangannya. Dari
belakang, datang dua orang penjaga, salah seorang membawa obor. Diterangi cahaya




253
obor, Abe melihatku. Semula dia menatapku heran, tapi kemudian berubah menjadi
tatapan menghina. Dia mendatangiku dengan cepat sehingga lantai bersuara keras
sekali. Shizuka yang berada di belakangnya melompat dan menggorok seorang
penjaga. Seorang penjaga lain kaget dan berusaha menarik pedangnya dengan gugup
sehingga obor yang dia pegang terjatuh.
Sambil berteriak meminta bantuan, Abe mendekat, pedang besar di tangannya.
Dia menebas ke arahku. Aku mengelak. Dia sangat kuat sedangkan lenganku lemah
karena sakit. Aku menghindar dari tebasannya yang kedua dan segera menghilang.
Dia sungguh kuat dan buas.
Kenji berada di sampingku, dan penjaga mulai berdatangan. Shizuka berhasil
mengatasi dua dari mereka; Kenji meninggalkan sosok keduanya yang berada dalam
ancaman pedang seorang penjaga, lalu menusuk dengan belatinya dari belakang.
Perhatianku tercurah pada Abe yang telah mendesakku hingga di ujung bangunan.
Para pelayan wanita terbangun dan berlari sambil menjerit, mengganggu Abe karena
mereka berhamburan melewatinya. Ini memberiku kesempatan untuk memulihkan
napas. Aku yakin kami bisa mengatasi para penjaga, asalkan Abe telah dilumpuhkan.
Tapi ternyata Abe lebih mahir dan juga lebih berpengalaman dariku.
Dia memojokkanku sampai ke sudut bangunan di mana tidak ada tempat lagi
untuk mengelak. Aku kembali menghilangkan diri, tapi dia tahu kalau tak ada ruang
bagiku untuk menghindar. Meskipun aku menghilang, pedangnya tetap saja dapat
membelah tubuhku di sudut yang sempit itu.
Namun ketika dia tampak telah menguasaiku, dia terhuyung-huyung dengan
mulut menganga. Dia melotot, wajahnya menampakkan rasa sakit yang tak terkira.
Saat itu pedangku sedang menebas ke bawah, dan tanpa bisa kutahan, mengenai
kepala Abe yang merosot ke bawah. Otak menyembur dari kepalanya yang terbelah
dua oleh Jato. Di depanku berdiri Kaede. Satu tangannya menggenggam pedang Iida,
dan di tangan lainnya kepala Iida.
Kami bertarung secara berdampingan saat melintasi nightingale floor. Setiap kali




254
menebas, aku langsung terhuyung kesakitan. Tanpa Kaede di samping kiriku, aku
pasti sudah mati.
Semua yang ada di depanku nampak kabur dan samar-samar. Aku mengira kabut
dari arah sungai telah masuk rumah ini, tapi kemudian aku mencium bau asap. Obor
penjaga yang jatuh saat ia menarik pedang telah membakar jendela yang terbuat dari
kertas.
Terdengar tangis dan jerit ketakutan di mana-mana.
Para pelayan berlarian menghindari kobaran api, keluar dari rumah Iida menuju
pintu kastil, sedangkan para penjaga justru datang dari arah yang berlawanan. Dalam
bingung dan asap yang menutupi pandangan, kami pergi ke taman.
Kobaran api telah melalap rumah Iida. Tak ada yang tahu di mana Iida berada
atau apakah dia hidup atau sudah mati. Tak seorang pun tahu siapa penyerang kastil
yang dianggap mustahil untuk diserang ini. Apakah penyerangnya manusia atau
setan? Shigeru juga telah hilang. Apakah dia dibawa oleh manusia atau malaikat?
Kini hujan mulai reda, tapi kabut semakin tebal seiring fajar yang kian mendekat.
Shizuka memimpin kami melalui taman ke gerbang dan menuruni anak tangga ke
parit. Para penjaga berdatangan. Dalam keadaan kacau dan bingung, di antara
mereka sendiri hampir terjadi perkelahian. Dari dalam kastil kami mencapai gerbang
dengan mudah lalu naik ke salah satu perahu, dan melepas talinya.
Parit terhubung dengan sungai melalui rawa yang kami lintasi sebelumnya. Di
belakang kami, kastil telah dilalap api. Kertas-kertas jendela yang telah menghitam
karena terbakar, berterbangan dan berjatuhan di rambut kami. Sungai bergelombang,
dan ombak membentur perahu kayu saat arus membawa kami ke sungai itu. Perahu
yang kami naiki hanyalah perahu biasa, dan aku cemas perahu ini akan terbalik jika
arus semakin liar. Di depan terlihat tiang jembatan. Aku sempat berpikir perahu akan
menabrak tiang-tiang itu, tapi untungnya perahu berlayar melewatinya, dan sungai
pun membawa kami melaju melalui kota.
Tak seorang pun di antara kami yang bersuara. Kami masih tegang, terbebani




255
oleh konfrontasi yang baru saja terjadi, dan ditaklukkan oleh ingatan tentang mereka
yang telah kami kirim ke alam lain, tapi kami juga gembira karena bukan kami yang
menjadi korban. Setidaknya, itu yang kurasakan.
Aku mendekat ke buritan dan berusaha mendayung, tapi arus terlalu deras untuk
menggerakkan perahu. Kami terpaksa pasrah ke mana pun arus membawa kami.
Kabut berubah putih seiring datangnya fajar, tapi pandangan kami masih terbatas.
Selain kobaran api dari arah kastil, yang lainnya tidak terlihat.
Aku mendengar bunyi aneh, bukan bunyi sungai. Bunyi itu seperti -gemuruh,
seolah berasal dari kerumunan serangga yang terbang merendah di atas kota.
"Kau dengar itu?" tanyaku pada Shizuka.
Dia mengerutkan dahi. "Bunyi apa itu?"
"Aku tidak tahu."
Cahaya mentari yang cerah menghapus kabut. Dengungan dan dentuman dari
tepi sungai kian keras, sampai akhirnya bunyi itu berubah menjadi bunyi yang aku
kenal: derap kaki ribuan orang dan kuda, serta gemerincing besi yang bersentuhan.
Nampak warnawarni berkilauan di hadapan kami melalui sela-sela kabut, lambang
dan umbul-umbul klan Barat.
"Arai sudah di sini!" teriak Shizuka.
Ada beberapa kejadian pada saat Inuyama direbut, tapi aku tidak mengambil bagian
lebih jauh di dalamnya sehingga aku tidak tahu detailnya.
Aku tidak menyangka masih hidup. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Telah kuserahkan hidupku pada Tribe, tapi masih ada kewajiban yang harus kulakukan
demi Shigeru.
Kaede tidak mengetahui perjanjianku dengan Kikuta. Karena aku adalah Otori,
pewaris Shigeru, maka sudah menjadi kewajibanku untuk menikahinya, dan memang
itulah yang paling kuinginkan. Sedangkan bila aku menjadi bagian Kikuta, Lady
Shirakawa akan menjadi sulit dijangkau, sama jauhnya seperti jarak ke bulan. Apa


256
yang terjadi pada kami berdua bagai mimpi. Jika aku mengenangnya, aku merasa
malu sehingga, seperti seorang pengecut, aku membuang jauh pikiran itu.
Setelah perahu menepi, kami langsung pergi ke rumah Muto, tempatku disekap,
untuk mengganti pakaian dan mengambil sedikit bekal. Shizuka segera pergi
menemui Arai, meninggalkan Kaede dengan seorang wanita di rumah ini.
Aku tak ingin bicara dengan Kenji atau siapa pun juga. Aku ingin ke Terayama
dan meletakkan kepala Iida di makam Shigeru. Aku harus melakukan dengan cepat,
sebelum Kikuta menjemputku. Aku sadar telah melanggar janjiku pada ketua dari
keluargaku saat kembali lagi ke kastil setelah membawa Shigeru. Dan meskipun bukan
aku yang membunuh Iida, tapi semua orang akan menganggap bahwa aku yang
melakukannya, dan itu tidak sesuai dengan keinginan Tribe. Aku tidak bisa
mengabaikan bahaya besar yang mengancam Kaede. Aku tak bermaksud untuk
melanggar selamanya. Aku hanya perlu tambahan waktu sedikit lagi.
Cukup mudah bagiku untuk menyelinap di saat keadaan sedang kacau. Aku ke
penginapan, tempat aku dan Lord Shigeru menginap. Pemiliknya telah kabur dengan
membawa semua barang mereka, tapi masih banyak barang kami yang tertinggal di
kamar itu, termasuk beberapa sketsa yang kubuat saat di Terayama dan kotak tulis
yang Lord Shigeru gunakan untuk menulis surat terakhirnya untukku. Aku pandangi
semua itu dengan sedih. Jeritan kesedihan semakin keras di hatiku. Aku seperti dapat
merasakan kehadiran Lord Shigeru di kamar ini, melihat dia sedang duduk menungguku
di depan pintu, tapi aku tidak juga datang.
Tak banyak yang kubawa, hanya beberapa pakaian, sedikit uang, dan kudaku,
Raku. Kuda Shigeru, Kyu, telah hilang seperti juga sebagian besar kuda pengawal
Otori lain, tapi Raku masih di sana, gelisah karena asap telah menyelimuti seluruh
kota. Dia lega melihatku. Aku memasang pelana, lalu berkuda keluar dari kota, bergabung
dengan gelombang manusia yang berusaha lari dari pasukan bersenjata yang
mendekat.
Aku hanya tidur sebentar di malam hari. Cuaca cerah, dan kering diiringi tandaKISAH
KLAN OTORI Created by syauqy_arr@yahoo.co.id



257
tanda musim gugur. Gunung memperlihatkan puncaknya dengan latar belakang
langit yang berwarna biru cemerlang. Beberapa pohon memperlihatkan daunnya yang
keemasan, dan rumput liar mulai berbunga. Mungkin pemandangan saat ini cukup
indah, tapi aku tak menikmati keindahannya. Aku sedang berduka, aku seakan tak
mampu berjalan. Aku hanya ingin kembali ke Hagi, kembali ke waktu di mana
Shigeru masih hidup, sebelum kami pergi ke Inuyama.
Di sore hari keempat, ketika aku baru saja melewati Kushimoto, aku menjadi
waspada karena berbondong-bondong orang datang dari arah yang berlawanan. Aku
bertanya pada petani yang sedang menuntun kuda beban, "Ada apa?"
"Biarawan! Pasukan!" Dia berteriak membalas. "Yamagata sudah jatuh ke tangan
mereka. Pasukan Tohan melarikan diri. Mereka mengatakan Lord Iida sudah mati!"
Aku menyeringai, membayangkan apa yang dia lakukan bila melihat apa yang
kubawa. Aku sedang memakai pakaian perjalanan, tak ada simbol mana pun.
Tak ada yang tahu siapa aku, dan aku pun tak tahu kalau namaku sudah terkenal.
Mendengar ada suara-suara orang bersenjata yang berada jauh di depan, aku
menghindar dengan membawa Raku ke dalam hutan. Aku tak ingin kehilangan
kudaku atau terlibat perang kecil dengan pasukan Tohan yang mundur. Mereka
bergerak cepat, tentu saja, sambil berharap bisa mencapai Inuyama sebelum terkejar
pasukan biarawan, tapi kurasa mereka akan berhenti di Kushimoto dan bertahan di
sana.
Pasukan Tohan berlalu-lalang selama sisa hari itu. Aku melanjutkan perjalanan
ke utara melalui hutan, menghindari mereka sebisa mungkin, walaupun dua kali aku
harus mengeluarkan Jato untuk membela diri. Pergelangan tanganku masih terasa
sakit bila digerakkan. Saat matahari terbenam, aku kian gelisah—aku takut misiku
tidak berhasil. Aku takut tidur karena keadaan masih berbahaya. Aku berkuda
semalaman dan hanya ditemani bulan purnama, Raku berjalan dengan santai, satu
telinga ke depan, satu telinga ke belakang.
Fajar telah menyingsing dan aku melihat siluet gunung yang mengelilingi




258
Terayama. Aku akan tiba di sana sebelum malam tiba. Melihat ada kolam di tepi
jalan, aku berhenti untuk memberi kesempatan pada Raku untuk minum. Matahari
kian meninggi, kehangatannya membuatku mengantuk. Kuikat Raku ke pohon dan
aku melepas pelana untuk dijadikan bantal. Aku berbaring dan langsung tertidur.
Aku terbangun karena tanah bergetar. Aku berbaring sejenak sambil melihat
cahaya jatuh ke kolam, mendengarkan gemericik air serta langkah kaki ratusan orang
mendekat. Aku berdiri untuk membawa Raku lebih jauh ke dalam hutan untuk
bersembunyi, namun di saat aku mendongak, aku tahu kalau itu bukan pasukan
Tohan. Pasukan ini memakai baju besi, membawa senjata, dan membawa umbulumbul
lambang Otori dan biara Terayama. Ada beberapa orang gundul, orang yang
tidak memakai pelindung kepala, dan di barisan paling depan aku mengenali
biarawan muda yang pernah menunjukkan lukisan Sesshu kepada kami.
"Makoto!" aku memanggil, mendaki tepi sungai ke arahnya. Dia berbalik,
pandangan gembira dan heran terlihat di wajahnya.
"Lord Otori? Itukah kau? Kami takut kau juga mati. Kami hendak membalas
dendam atas kematian Lord Shigeru."
"Aku hendak ke Terayama," kataku. "Aku membawa kepala Iida untuk Shigeru,
seperti yang dia minta."
Matanya sedikit membesar. "Iida mati?"
"Ya, dan Inuyama telah jatuh ke tangan Arai. Kau akan bertemu pasukan Tohan
di Kushimoto."
"Maukah kau ikut bersama kami?"
Tugasku hampir selesai. Aku harus segera menunaikan wasiat Lord Shigeru, lalu
menghilang ke dunia rahasia Tribe.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya. "Kau tidak terluka?"
Aku menggelengkan kepala. "Aku hendak meletakkan kepala Iida di atas makam
Shigeru."
Mata Makoto nampak bersinar. "Ayo tunjukkan!"




259
Kuambil keranjang itu dan membukanya. Baunya sangat menyengat dan banyak
lalat di sekitar darah.
Makoto mengambil kepala itu dengan menggenggam rambutnya, lalu melompat
ke atas batu besar di sisi jalan, dan mengangkat tinggi-tinggi ke arah para biarawan
yang berkumpul melingkar. "Lihatlah apa yang dibawa Lord Otori!" teriaknya, dan
semua orang membalas dengan bersorak. Gelombang emosi melanda mereka.
Namaku disebut berulang-kali, dan seolah pikiran mereka menyatu, mereka
menyembah di depanku.
Kenji benar: Semua orang mencintai Shigeru—para biarawan, petani, klan
Otori—dan karena aku sudah membalaskan dendamnya, maka cinta itu dialihkan
kepadaku.
Perlakuan mereka semakin menambah bebanku. Aku tak ingin dipuja
berlebihan. Aku tidak layak mendapatkan semua itu, dan aku sedang tidak
menikmatinya. Kuucapkan salam perpisahan kepada semua biarawan, mendoakan
keberhasilan mereka, lalu aku melanjutkan perjalanan. Kepala Iida telah kumasukkan
lagi ke dalam keranjang.
Tak ingin aku pergi sendiri, mereka meminta Makoto menemaniku. Dia
menceritakan kedatangan Yuki di Terayama dengan membawa kepala Shigeru, dan
mereka telah menyiapkan upacara pemakaman. Yuki pasti telah berjalan siang dan
malam agar bisa sampai di Terayama secepatnya. Aku sangat berterima kasih
padanya.
Menjelang malam kami tiba di biara. Dipimpin oleh biarawan tua, biarawan yang
tak ikut berperang membacakan doa untuk Shigeru, dan ada batu nisan di
makamnya. Aku berlutut di dekat batu nisan itu, lalu kuletakkan kepala Iida di atas
makam Lord Shigeru. Dalam keremangan, batu-batu di taman Sesshu nampak
seperti sekumpulan orang yang sedang berdoa. Gemuruh air terjun tampak lebih
keras dari biasanya. Di balik bunyi gemuruh itu, aku mendengar bunyi dari pepohonan
cedar saat angin sepoi-sepoi menggerakkan mereka. Jangkrik melengking dan




260
kodok mengorek dari kolam di bawah air terjun. Aku mendengar kepakan sayap, dan
melihat seekor burung hantu menukik melintasi taman pemakaman. Tidak lama lagi
burung itu akan berimigrasi; tidak lama lagi musim semi akan berakhir.
Di sinilah tempat yang indah untuk roh Shigeru beristirahat. Aku berlutut di
makam, air mataku mengalir. Aku teringat dia pernah mengatakan bahwa hanya
anak-anak yang menangis. Laki-laki dewasa akan tabah, katanya, namun yang tidak
dapat kuterima yaitu aku harus menjadi dewasa dan menggantikan tempatnya. Aku
dihantui perasaan bersalah karena memenggal kepalanya, apalagi dengan pedang
miliknya. Aku bukan pewarisnya: akulah yang membunuhnya.
Aku sangat merindukan rumahku, aku merindukan alunan nyanyian sungai dan
alam di Hagi. Aku ingin melantunkan nyanyian itu pada anak-anakku. Aku ingin
mereka tumbuh dalam naungan lembut rumah itu. Aku bermimpi Kaede akan
menyiapkan teh di ruangan yang Shigeru bangun, dan anak-anak kami akan berusaha
menaklukkan nightingale floor. Di malam hari kami bisa melihat bangau yang datang
ke taman, siluetnya yang berwarna abu-abu berdiri sabar di kolam.
Dari taman terdengar alunan seruling. Nadanya menusuk hatiku. Rasanya aku
akan selalu bersedih.
Hari-hari berlalu, namun aku tak mampu meninggalkan biara ini. Setiap hari aku
merasa harus segera pergi, namun setiap hari pula aku menangguhkan. Aku sadar
bahwa biarawan tua dan Makoto mencemaskan keadaanku, tapi mereka membiarkan
aku sendiri, kecuali saat mengingatkan aku untuk makan, mandi, atau tidur.
Setiap hari orang-orang datang untuk berdoa di makam Shigeru. Awalnya hanya
segelintir orang, kemudian membanjir, pasukan yang telah kembali, para biarawan,
petani, dan pedagang yang dengan hikmat mengelilingi batu nisan, bersujud di depan
makamnya dengan wajah yang dibasahi air mata. Shigeru benar: dia bahkan lebih
kuat dan lebih dicintai saat dia telah tiada.
"Dia akan menjadi dewa," biarawan tua itu meramalkan. "Dia akan bergabung
dengan yang lainnya di surga."




261
Malam demi malam aku selalu bermimpi tentang Shigeru, seperti saat terakhir
aku melihatnya, sosoknya yang coreng-moreng karena air dan darah, lalu aku terjaga,
jantungku berdebar. Di saat terbangun aku mendengar alunan seruling, aku mencari
nada memilukan itu karena aku berbaring tanpa bisa tidur. Alunan musik itu
membuatku pedih sekaligus terhibur.
Bulan nampak pucat; malam kian gelap. Kami mendengar kemenangan pasukan
biarawan di Kushimoto dari mereka yang pulang. Kehidupan di biara kembali
normal, upacara ritual dilakukan untuk mendoakan mereka yang gugur dalam
perang. Lalu ada kabar bahwa Lord Arai, yang kini menjadi penguasa di sebagian
besar Tiga Wilayah, akan datang ke Terayama untuk memberi penghormatan di
makam Shigeru.
Malam itu, sewaktu mendengar alunan seruling, aku berjalan untuk berbicara
dengan si peniup. Dia adalah, seperti yang kuduga, Makoto. Aku sangat tersentuh
karena dia telah menemaniku disaat aku sedang berduka.
Dia duduk dekat kolam, di tempat ini kadang aku melihat dia sedang memberi
makan ikan. Dia terus meniup suling hingga nada terakhir lalu meletakkan
serulingnya.
"Kau sudah harus mengambil keputusan sebelum Arai tiba," katanya. "Apa
rencanamu?"
Aku duduk di sampingnya. Embun membasahi bebatuan dan tanaman. "Apa
yang harus kulakukan?"
"Kaulah pewaris Shigeru. Kau harus meneruskan apa yang telah dia tinggalkan."
Dia berhenti, kemudian dia berkata. "Tapi itu tidak mudah, kan? Ada sesuatu yang
memanggilmu."
"Bukan memanggil. Tapi memaksa. Aku dalam suatu kewajiban... aku sulit
menjelaskannya."
"Coba saja," katanya.
"Kau tahu aku memiliki pendengaran yang tajam. Seperti anjing, kau pernah




262
mengatakannya."
"Tidak seharusnya aku berkata seperti itu. Kata-kataku telah menyinggungmu.
Maaf."
"Tidak, kau memang benar. Berguna bagi tuanmu, katamu. Aku memang
berguna bagi tuanku, dan mereka itu bukanlah Otori."
"Tribe?"
"Kau tahu mereka?"
"Hanya sedikit," ujarnya. "Kepala biara pernah menyebut tentang mereka."
Saat itu aku merasa Makoto seperti sedang menungguku untuk bertanya. Tapi,
aku tidak tahu apa yang akan kutanyakan karena aku larut dalam pikiran dan
keinginan untuk menjelaskannya.
"Ayahku anggota Tribe, dan bakat yang kumiliki adalah warisannya. Mereka
merasa berhak atas diriku. Aku membuat kesepakatan dengan mereka: aku diijinkan
menyelamatkan Lord Shigeru, dan imbalannya aku harus bergabung dengan
mereka."
"Apa hak mereka menuntut imbalan karena kau adalah pewaris sah Shigeru?" dia
berkata, kesal.
"Jika aku lari, mereka akan membunuhku," balasku. "Mereka yakin kalau mereka
memiliki hak itu, dan karena aku telah membuat penawaran, berarti aku juga
mempercayainya. Kini hidupku menjadi milik mereka."
"Kau membuat kesepakatan dalam keadaan yang terpaksa," katanya. "Tak ada
kewajiban bagimu untuk menepatinya. Kau adalah Otori, Takeo. Kurasa kau tak
sadar betapa terkenalnya kau kini, betapa besar arti namamu."
"Akulah yang membunuhnya," kataku, dan karena malu, air mataku mengalir
lagi. "Aku tidak bisa memaafkan diriku. Aku tak mampu menyandang namanya. Dia
mati ditanganku."
"Kau memberinya kematian yang terhormat," kata Makoto berbisik. "Kau telah
memenuhi semua kewajiban seorang anak kepada ayahnya. Itu sebabnya orang-orang




263
sangat mengagumi dan memujamu. Dan juga karena kau telah membunuh Iida. Kini
kau sudah menjadi legenda."
"Belum semua kewajiban kupenuhi," balasku. "Kedua pamannya, yang
merencanakan semua ini bersama Iida, lolos dari hukuman. Dan permintaan Lord
Shigeru untuk menjaga Lady Shirakawa, yang menderita atas kesalahan yang tidak
dia lakukan, tidak bisa kupenuhi."
"Itu bukanlah suatu beban yang besar," katanya sambil menatapku ironis, dan
aku merasa darah menjalar di wajahku. "Aku melihat tangan kalian saling
bersentuhan," katanya, dan setelah diam, dia melanjutkan "Aku memperhatikan."
"Ingin rasanya kupenuhi harapan Shigeru, tapi aku merasa tidak pantas. Dan,
aku terikat oleh janjiku pada Tribe."
"Janji bisa dilanggar, jika kau mau."
Makoto mungkin benar. Namun Tribe tidak akan membiarkan aku hidup. Selain
itu, aku tidak bisa menyembunyikan satu hal dari diriku: sesuatu dalam diri ini
menyeretku ke mereka. Aku selalu teringat bagaimana Kikuta memahami sifatku.
Aku tahu sisi terdalam diriku. Ingin kuungkapkan isi hatiku, tapi itu berarti aku
harus menceritakan semuanya, sedangkan aku tak boleh mengatakan kalau aku lahir
dalam kaum Hidden pada biarawan yang menjadi pengikut Sang Pencerah. Aku
telah melanggar semua ajarannya. Aku sudah banyak membunuh.
Taman begitu hening sehingga obrolan kami bisa terganggu hanya oleh percikan
air akibat gerakan ikan. Makoto memelukku. "Apa pun keputusanmu, kau harus
membuang semua dukamu," katanya. "Kau telah melakukan yang terbaik. Lord
Shigeru pasti bangga padamu. Ini saatnya kau harus memaafkan dan bangga pada
dirimu!"
Perkataan serta sentuhannya membuat air mataku berlinang. Dalam
rangkulannya, aku merasa hidup kembali. Dia telah menarikku dari jurang dan
membuatku ingin hidup lagi. Sejak itu, aku bisa tidur nyenyak tanpa bermimpi buruk
lagi.




264
Arai datang hanya diiringi beberapa pengawal dan lebih dari dua puluh orang.
Sebagian besar pasukannya dia tinggalkan untuk menjaga keamanan di Timur. Dia
bermaksud melanjutkan perjalanan dan menentukan perbatasan sebelum musim
dingin tiba. Arai bukan orang yang sabar; saat ini dia sangat bersemangat. Dia lebih
muda dari Lord Shigeru, sekitar dua puluh enam tahun, dan dia sedang berada pada
masa puncak sebagai seorang laki-laki, laki-laki besar yang pemarah dan berkemauan
baja. Dia tidak menyembunyikan keinginannya untuk menjadikanku sebagai
sekutunya untuk melawan klan Otori yang dipimpin oleh kedua paman Lord Shigeru.
Dia bahkan telah memutuskan untuk menikahkan aku dengan Kaede.
Kaede datang bersamanya, karena adat-istiadat memaksa dia untuk berziarah ke
makam Shigeru. Arai mengharuskan aku dan Kaede tetap di biara saat dia menyusun
rencana pernikahan kami. Shizuka yang selalu menemani Kaede sempat berbicara
denganku secara pribadi.
"Aku tahu kita akan bertemu di sini," katanya. "Kikuta marah sekali, namun
pamanku memintanya untuk memberimu waktu. Dan waktumu kini sudah habis."
"Aku akan segera menemui mereka," balasku.
"Mereka akan menjemputmu malam ini."
"Lady Shirakawa tahu?"
"Aku telah mengatakan padanya dan aku juga telah mengingatkan Arai," suara
Shizuka terdengar berat karena frustasi.
Arai memiliki rencana yang berbeda. "Kaulah pewaris Shigeru yang sah,"
katanya, saat aku dan dia duduk di ruang tamu biara setelah dia menyambangi
makam Shigeru. "Tepat sekali bila kau menikahi Lady Shirakawa. Kita amankan
Maruyama untuknya, lalu kita alihkan perhatian pada Otori saat musim semi. Aku
perlu sekutu di Hagi." Dia mengamati wajahku. "Aku tidak keberatan mengatakan
bahwa reputasimu yang membuatku ingin bersekutu denganmu."
"Lord Arai sungguh dermawan," balasku. "Tapi, ada pertimbangan lain yang




265
membuatku tidak mampu memenuhi keinginanmu itu."
"Jangan bodoh," katanya singkat. "Aku yakin sekali keinginanku dan
keinginanmu sama."
Kepalaku kosong: Pikiranku melayang seperti burung dalam lukisan Sesshu. Aku
tahu Shizuka mendengar dari luar. Arai adalah sekutu Shigeru; dia telah melindungi
Kaede; dan kini dia berhasil menaklukkan sebagian besar Tiga Wilayah. Jika aku
berhutang kesetiaan pada seseorang, maka orang itu adalah Arai. Sulit rasanya
menghilang tanpa memberinya penjelasan.
"Semua yang aku lakukan berkat bantuan Tribe," kataku pelan.
Wajahnya merona, tapi dia diam.
"Aku telah berjanji pada mereka untuk meninggalkan nama Otori dan pergi
bersama mereka."
"Memangnya siapa Tribe itu?" Dia meledak. "Ke mana pun aku berpaling, aku
selalu berlari ke arah mereka. Mereka seperti tikus-tikus di lumbung padi. Bahkan
mereka begitu dekat...!"
"Kami tak akan mampu mengalahkan Iida tanpa bantuan mereka," kataku.
Dia menggelengkan kepala dan menarik napas. "Aku tak ingin mendengar
omong kosong ini lagi. Kau diangkat anak oleh Shigeru, kau adalah Otori, kau harus
menikahi Lady Shirakawa. Ini perintah."
"Lord Arai." Aku menyembah, sadar kalau aku tak bisa memenuhi
permintaannya.
Kaede langsung ke rumah tamu khusus untuk wanita setelah menyambangi
makam sehingga aku tidak sempat berbicara dengannya. Sebenarnya ingin sekali aku
bertemu dengannya, tapi aku takut. Aku takut akan menyakitinya dan, lebih buruk
lagi, aku tak sanggup menyakitinya. Malam itu, karena tidak bisa tidur, aku keluar
dan duduk di taman. Aku ingin menyendiri. Aku akan ikut dengan Kikuta saat dia
datang malam ini, tapi aku tak sanggup menyingkirkan kenanganku bersama Kaede,
melihat dia di sisi mayat Iida, perasaan saat kami saling bersentuhan, dan kondisinya




266
yang rapuh. Membayangkan kalau aku tak akan dapat merasakan perasaan seperti itu
sangatlah menyakitkan, membuatku sulit bernapas.
Aku tersadar dari lamunan saat mendengar ada langkah kaki. Shizuka
menyentuh bahuku dan berbisik, "Lady Shirakawa ingin bertemu."
"Aku tak mau," balasku.
"Mereka akan datang sebelum fajar," kata Shizuka. "Aku telah mengatakan pada
Kaede bahwa Tribe tak akan menarik pengakuan mereka padamu. Bahkan, karena
ketidakpatuhan-mu di Inuyama, ketua sudah memutuskan jika kau menolak ikut
bersama mereka malam ini, kau akan mati. Kaede hanya ingin mengucapkan salam
perpisahan."
Aku mengikutinya. Kaede sedang duduk di ujung beranda, tubuhnya bersinar
remang-remang dilatarbelakangi cahaya bulan. Aku dapat mengenali siluetnya di
mana pun juga, bentuk kepala, bahu, cara bergeraknya saat dia melirik kepadaku.
Sinar rembulan berkilauan di matanya, membuat sepasang matanya terlihat
seperti kolam air di pegunungan saat salju melapisi seluruh dataran, dan dunia
hanyalah putih dan abu-abu. Aku berlutut di depannya. Dari kayu yang berwarna
keperakan tercium bau hutan dan kuil, getah dan dupa.
"Shizuka mengatakan kau akan pergi, dan tak mau menikahiku." Dia berkata
dengan suara yang rendah dan bingung.
"Tribe tidak mengijinkan aku melakukan itu. Aku tidak—tidak akan bisa—
menjadi ketua klan Otori."
"Tapi, Arai akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menghalangi kita."
"Aku telah membuat kesepakatan dengan ketua dalam keluargaku," kataku. "Kini
hidupku menjadi milik mereka."
Aku teringat pada ayahku yang berusaha lari dari takdir darahnya sehingga mati
terbunuh. Aku tidak memikirkan kesedihanku bisa lebih dalam lagi, tapi pikiran itu
menyeretku ke suatu tingkat kesedihan baru.
Kaede berkata, "Selama delapan tahun menjadi tawanan, aku tidak pernah



267
memohon sesuatu pada seseorang. Ketika Iida Sadamu menyuruhku bunuh diri: aku
tidak membantah. Saat dia hendak membunuhku: aku tidak meminta belas
kasihannya. Tapi kini aku memohon padamu: jangan tinggalkan aku. Kumohon kau
nikahi aku. Aku berjanji tak akan pernah lagi meminta apa pun pada siapa pun juga."
Dia menyembah di hadapanku, kimono dan rambutnya menyentuh lantai
dengan satu desisan lembut. Dapat kucium harum rambutnya. Rambutnya begitu
dekat hingga mampu membelai tanganku.
"Aku takut," bisiknya. "Aku hanya aman bila bersamamu."
Kejadian ini lebih menyakitkan dari yang pernah kubayangkan. Dan yang lebih
buruk lagi, aku tahu bila kami bersamanya, maka semua rasa sakit kami akan sirna.
"Tribe akan membunuhku," kataku.
"Ada yang lebih buruk dari mati! Bila mereka membunuhmu, aku akan bunuh
diri dan ikut bersamamu." Dia meraih tanganku dan mencondongkan tubuhnya ke
arahku. Matanya berkaca-kaca, tangannya kering dan panas, tulangnya serapuh
tulang burung. Darahku mengalir cepat. "Jika tidak bisa hidup bersama, maka kita
bila mati bersama."
Suaranya bersemangat. Udara malam terasa membeku. Dalam lagu dan kisah
cinta, banyak diceritakan tentang sepasang kekasih yang mati bersama demi cinta.
Aku teringat kata-kata Kenji pada Shigeru: Kau jatuh cinta pada kematian, seperti yang
biasa dilakukan oleh orang dari kalanganmu. Kaede berasal dari klas dan latar belakang
yang sama dengan Lord Shigeru, berbeda denganku. Aku belum mau mati. Umurku
belum delapan belas tahun.
Diamku sudah menjadi jawaban baginya. Dia menatapku. "Aku tak akan
mencintai orang lain selain dirimu," katanya.
Kami belum pernah saling memandang secara langsung, biasanya kami hanya
mencuri pandang. Kini kami hanya berdua, dan kami bisa melihat ke dalam mata
masing-masing tanpa rasa sungkan atau malu. Aku bisa merasakan rasa sakit dan rasa
putus asanya. Ingin kulepas penderitaannya, namun aku tak kuasa memenuhi




268
permintaannya. Selain bimbang, aku pun merasakan sesuatu kekuatan mengalir saat
aku menggenggam erat kedua tangannya dan menatap matanya dalam-dalam.
Pandanganku seakan membuat dia tenggelam. Dia menarik napas dan matanya
menutup. Kaede terhuyung-huyung. Shizuka langsung melompat dari tempat gelap
dan menangkap tubuhnya saat dia terjatuh. Kami membaringkan Kaede di lantai
dengan hati-hati. Kaede tertidur pulas, sama seperti ketika Kikuta menatapku.
Aku menggigil, tiba-tiba aku kedinginan.
"Tidak pantas kau lakukan itu padanya," bisik Shizuka.
Shizuka benar. "Aku tak berniat melakukan itu," kataku. "Belum pernah aku
melakukan hal seperti itu pada orang. Hanya pada anjing."
Dia menepuk lenganku. "Pergilah dengan Kikuta. Belajarlah mengendalikan
kemampuanmu. Mungkin kau akan tumbuh dewasa di sana."
"Apakah dia akan baik-baik saja?"
"Aku belum tahu kemampuan Kikuta yang satu ini," kata Shizuka.
"Aku pernah tertidur sehari semalam."
"Siapa pun yang membuatmu tertidur, setidaknya dia tahu apa yang dia lakukan,"
balas Shizuka.
Di kejauhan, di kaki gunung, aku mendengar ada orang berjalan mendekat: dua
orang sedang berjalan perlahan, tapi tidak cukup perlahan bagiku. "Mereka datang,"
kataku.
Shizuka mengangkat Kaede. "Selamat jalan, sepupu," ujarnya, masih ada
kemarahan dalam suaranya.
"Shizuka," aku memanggil ketika dia berjalan ke kamar. Dia berhenti sejenak,
tanpa menoleh.
"Kudaku, Raku—maukah kau usahakan agar Lady Shirakawa membawanya?"
Hanya itu yang dapat kuberikan pada Kaede.
Shizuka mengangguk, kemudian berjalan ke tempat gelap, hilang dari
pandanganku. Aku mendengar pintu digeser, langkahnya di alas lantai, bunyi lantai




269
saat dia membaringkan Kaede.
Aku kembali ke kamar dan mengumpulkan semua barang-barangku. Tidak ada
barang yang berarti: hanya surat dari Shigeru, belati, dan Jato. Lalu aku berjalan ke
biara, ke tempat Makoto bermeditasi. Aku menyentuh bahunya, dia bangkit dan
berjalan keluar bersamaku.
"Aku akan pergi," bisikku. "Jangan memberitahukan pada siapa pun sebelum
fajar tiba."
"Kau bisa tinggal di sini."
"Mustahil."
"Kalau begitu, datanglah kapan pun kau mau. Kau bisa bersembunyi di sini. Ada
banyak tempat rahasia di gunung ini. Tak akan ada yang bisa menemukanmu."
"Mungkin kelak aku akan membutuhkannya," kataku. "Aku ingin kau menjaga
pedang ini untukku."
Dia mengambil Jato. "Kini aku tahu kau akan kembali." Dia mengulurkan
tangan dan menyentuh bahuku.
Kepalaku ringan karena kurang tidur, sedih dan gairah. Ingin rasanya aku
berbaring di pelukan seseorang, tapi langkah kaki yang sedang melintasi batu kerikil
semakin dekat.
"Siapa di sana?" Makoto berbalik, pedang siaga di tangannya. "Perlukah
kubangunkan penghuni biara?"
"Jangan! Mereka datang menjemputku. Lord Arai tidak boleh tahu."
Mereka, mantan guruku Muto Kenji dan ketua Kikuta, menungguku di bawah
cahaya rembulan. Mereka memakai pakaian perjalanan, tidak menonjol, bahkan
terlihat miskin. Mereka lebih mirip dua bersaudara dari kalangan orang terpelajar
atau golongan pedagang yang kurang berhasil. Mereka berdiri dengan waspada, otot
mereka menunjukkan kekuatan fisik yang luar biasa, telinga dan mata yang tidak
luput dari apa pun juga, kecerdasan yang membuat bangsawan seperti Iida dan Arai
kikuk.




270
Aku menyembah di hadapan ketua Kikuta hingga menyentuh debu tanah.
"Berdirilah, Takeo," kata Kikuta dan, dengan mengejutkan, mereka
merangkulku.
Makoto menggenggam erat tanganku. "Selamat jalan. Aku tahu kita akan
bertemu lagi. Hidup kita terikat bersama."
"Tunjukkan makam Lord Shigeru," kata Kikuta dengan lembut.
Jika bukan karena ulahmu, dia tak akan dikubur, pikirku tanpa pernah
mengucapkannya. Malam yang tenang membuatku bisa menerima kalau takdir
menentukan Lord Shigeru harus mati, sama seperti takdirnya bahwa kini dia telah
menjadi dewa dan pahlawan bagi banyak orang. Akan banyak orang yang datang berziarah
untuk mendoakannya, untuk memohon bantuan darinya, selama ratusan tahun
ke depan-selama Terayama berdiri, mungkin untuk selamanya.
Kami membungkuk hormat di depan batu nisan yang baru saja diukir. Apa yang
ada di hati Kenji dan Kikuta? Aku memohon ampunan Shigeru, dan berterima kasih
karena telah menyelamatkanku di Mino, serta mengucapkan salam perpisahan. Aku
seperti mendengar suaranya dan melihat senyumnya yang tulus.
Ranting dan dedaunan pohon cedar bergoyang diterpa angin, dan serangga
malam terus menjaga irama nyanyiannya. Semua akan tetap seperti ini, musim panas
demi musim panas, musim dingin demi musim dingin, bulan menghilang di barat,
memberi kesempatan kepada bintang untuk menampakkan diri, dan tak lama kemudian
bintang akan pasrah digantikan oleh terangnya sinar mentari.
Matahari akan melewati puncak gunung, mendorong bayang-bayang pohon
cedar, lalu menghilang lagi di balik bukit. Itulah dunia, dan manusia hidup di antara
semua itu, antara gelap dan terang.***




271
Catatan kaki:
* Garrote : Seutas kawat dengan gagang kayu di kedua ujungnya sebagai pegangan oleh pelaku eksekusi.
* Bailey : Tempat yang dilindungi dinding kastil dan beberapa menara. Bailey digunakan untuk menanam
buah-buahan, memelihara ternak dan juga tempat berlindung di saat ada bahaya.
* Festival of the Dead (atau dalam bahasa Jepang: Obon) dirayakan antara tanggal 13 sampai 15 Agustus.
Masyarakat Jepang percaya bahwa pada tanggal tersebut roh para leluhur datang ke bumi untuk mengunjungi
keluarganya. Keluarga berziarah ke makam untuk mendoakan serta menyediakan makanan bagi roh
keluarganya.
* Star festival (atau Tanabata dalam bahasa Jepang) dirayakan setiap tanggal 7 Juli. Menurut legenda, pada
malam itu bintang Altair dan Vega (yang dianggap mewakili sepasang kekasih) akan bertemu atas seijin
dewa.
* Parapet adalah dinding rendah yang berguna untuk melindungi dari bahaya apabila jatuh, seperti dinding di
pinggiran balkon, atap, atau jembatan.
* Go adalah permainan yang dimainkan oleh 2 orang yang saling memperebutkan wilayah permainan. Satu
pemain menggunakan biji permainan hitam dan satunya lagi menggunakan biji putih untuk menandai
wilayah masing-masing. Pemenangnya adalah pemain yang berhasil menguasai lebih banyak wilayah di akhir
permainan.
* Waktu Monyet : Berkisar antara jam 15.00 s/d jam 17.00.
* Waktu Ayam Jago : Berkisar antara jam 17.00 s/d jam 19.00.
* Waktu Anjing : Berkisar antara jam 19.00 s/d jam 21.00.
* Waktu Tikus : Berkisar antara jam 23.00 s/d jam 01.00.
* Waktu Kerbau : Berkisar antara jam 01.00 s/d jam 03.00.